DUNIA MERANA BERTABUR PUISI

Desember 01, 2011 0 Comments A+ a-

Aku terhempas oleh terik siang. Tidur yang tak nyaman disiram peluh yang bergulir tak henti dari berbagai sumber. Kumeradang pada masa yang tak pernah memahami dan berkompromi denganku. Lelah yang mendera tidak mampu mengantar raga untuk sejenak beristirahat siang. Tak tahu harus berbuat apa, aku meraih ponsel dari atas meja. kubaca saja pesan singkat yang belum sempat kuhapus kemarin senja.
Hari kemarin adalah sebuah kisah yang tak dapat terulang kembali. Hari ini aku jalani kisah yang baru dengan aroma nuansa penuh tanya. Akankah kisah ini kan terus terpatri indah ataukah terasa cuma sesaat? aku tak bisa memastikan akan apa yang terjadi di hari esok. Soalnya aku bukan siapa-siapa yang mampu membaca takdir akan sesuatu yang belum pasti.

Jumat tanggal 6 mei 2011 pada pukul 18:28:31 aku mendapat sebait puisi dalam rupa pesan singkat. Senyum mengembang di bibir antara lucu dan tak memahami sedikit arti darinya. Suatu bentuk pengadonan kata yang menawan sehingga lezat terasa.
Hari yang berlalu tak pernah mengerti dengan keadaan insan yang mungkin sebentar lagi akan terkulai lemas oleh himpitan era yang mendera. Hari yang berawal dari pagi, aku mendapat serentet kata lagi. Ya, 10 mei 2011 pada pukul 05:59:38 bibirku komat-kamit dengan smsnya
Cinta ibarat sebuah buku, yang halaman pertamanya dibuka dengan puisi dan halaman berikutnya berisi prosa.
Rupanya cinta yang menjadi latar setiap cerita insan muda saat ini. Aku menyeruak pergi. Pada tapak pilu yang terus melekat di pundak. Semua orang omong cinta, sedang hakikat cinta itu sendiri tak pernah orang hiraukan. Lihat saja berbagai kecelakaan di jalanan orang mati tanpa cinta, kecelakaan di rumah tangga menghasilkan aborsi, married by accident menanamkan KDRT. Rupa cinta dan penghayatan yang membingungkan dengan berbagai aplikasi dan pengamalan terhadap cinta itu sendiri.
Aku menyudahi saja. Menutup kembali handphone. Membiarkan tergeletak di atas tempat tidur. Menghilang di balik pintu. Diluar sana aku bergurau bersama kawan. Bercerita dari yang gokil, porno, politik bahkan mengganggu cewek yang berlalu di jalanan. Semua menjadi nuansa indah pada lakon humanis. Melewati hari-hari berat dengan seabrek tugas perkuliahan. Haripun terus berlalu.
11 mei 2011 jam 05:13:15 pesan itu datang lagi, kali ini nada lain.
Bagaimana kita bisa mengampuni orang yang sudah tanam duri dalam hati dan pikiran? takala duri itu semakin menusuk hingga luka yang dihasilkan begitu perih terasa. Memaafkan dengan gampang kita utarakan, tetapi mengampuni begitu sulit terungkap.
Merenung diri. Apakah dia sedang melacur (melakukan curhat.pen). atau sakit hatinya membuat dia tak bisa untuk menanggung sendiri setiap terpaan prahara kehidupan yang terus menggerogoti raga. Sungguh, butuh penafsiran yang cemerlang dengan pikiran yang sehat dan matang untuk memahami goresan huruf pada kata dan kalimat pesan singkatnya.
Rutinitas hari-hariku kulalui seperti biasanya. Tak ada yang istimewah. Hanya setiap goresan senyum yang mengukir bibir memberi arti masing-masing. Silakan tafsirkan. Biar sakit hati, GR dan apalagi. Rutinitas pun berlalu membawa hari baru.
12 mei 2011 13:41:10
Aku melangkah gontai. Pulang menuju rumah kamarku. Ada yang berpapasan, tersenyum menyapa dan berlalu begitu saja. Tak ada pertanyaan apa kabar atau sekedar basa-basi untuk mempererat ikatan emosional. Siang yang agak menghasilkan keringat. Kuraih handphone yang tengah berdering. Pesan kembali hadir.
Kata orang, tak kala kita mengharapkan sesuatu yang berlebihan terjadi pada kita, niscaya harapan itu akan pudar dengan percuma. Berhenti berharap untuk mendapatkan sesuatu yang belum tentu pastinya. Sedikit pertanyaan, apakah harapan kita akan sesuatu harus dibatasi?
Hmmmm… harapan. Terbatasnya harapan atau sebatas harapan. Mungkin harapan itu harus diimbangi dengan usaha menuju harapan tersebut. Aku terus berlalu dan mentari menitipkan satu hari baru lagi pada dunia.
Hari baru datang lagi dengan janjinya tentang semburat sinar mentari pagi yang tidak pernah ia ingkari. Aku bangun pagi, menelusuri hidup yang penuh dengan warna-warni kehidupan. Meretas semua tugas untuk hari ini. Sampai hari menitipkan mentari tepat di atas ubun-ubun. Sms kembali hadir. Kali ini tidak lagi dengan ketergesaan paginya. Ia hadir di tengah hari. Meramaikannya bersama panas yang sepi. Mengantar kicauan tak indah burung liar yang sibuk mencari dahan tempat bertengger untuk istirahat siang.
12 mei 2011 pukul 14:08:15
Terkadang hidup ini penuh dengan pilihan. Pilihan tuk menemukan serta menentukan mana yang terbaik yang akan dijadikan sebagai panutan. Hati pun turut bertanya, akankah dia bersedia posisinya ditukar dengan dia yang lain, yang kemudian datang dari padanya?? Di sisi lain ada hati yang menanti balasan pantun tak berirama. Namun masih ada duri yang mengitarinya.
Kelegaan untuk mencari pengganti dan mengharapkan duri yang mengitari perlahan menghilang. Biarkan luka tersembuhkan tinggalkan bekas. Walau tersisa tapi takan ada rasanya lagi.
Senja yang berlalu. Malam pun pamit. Membiarkan manusia bercerita tentang mimpi indah dan bunga tidur yang seram nan tragis pada insan lain. Cerita manusia kepada manusia lain di sekitarnya.
14 mei 2011 pukul 06:42:32 ketika pagi menguning syahdu
Ketika kamu bangun pagi ini kamu punya dua pilihan sederhana.
Pilihan pertama : kembali tidur dan bermimpi.
Pilihan kedua : bangun dan mengejar mimpimu.
Ia merumuskan tentang pilihan akan hidup ketika bangun pagi. Dan siangnya dititipkannya lagi. Kali ini puisinya sendiri.
14 mei 2011 jam 12:07:12
Ku terpuruk dalam keheningan.
Ingin teriak namun ku tak kuasa.
Hanya harap yang mampu terucap
Biarkan saat ini kutenggelam di samudera mimpi.
Merasakan hadirnya, meski maya temani siang.
(kpg, 05032011)
Nona, ale kenapa?? Lagu ambon dari tetangga menemaniku membacanya. Menyayat hati. Ia pupus harapan. Menyimpan duka setiap katanya menetas. Sampai paginya selalu terbangun awal. Mungkin malamnya tidak pernah tidur. Pagi menguak lagi.
15 mei 2011 pukul 04:39:38 saat aku terbangun karena deringan hp.
Masa ku telah usai. Dan kini di awal hari yang baru ini, ingin kurangkai asa di atas impian. Tabir kegelapan yang menyelimuti langit kan sirna disapa sang mentari.
17 mei 2011 pada jam 08:47:02
Semua mata teman kuliah mengarah padaku. Dosen yang sedang berceramah menghentikannya sedikit. Menatap ke arahku sambil senyum paksa. “matikan” katanya tegas lalu kembali menerangkan ilmu ke setiap mahasiswa yang memenuhi kelas. Aku gugup sedikit malu. Kuraih hp lalu mematikannya. Seorang teman yang di sampingku tersenyum sinis melihat nokia 1200 nongol. Setelah kuliah aku pun membacanya.
Dan kini fajar telah tiba dan sang dara terkulai dalam pelukan lelap, berharap berharap mendapatkan mimpi-mimpi yang lebih manis dan indah daripada kenyataan yang ia jumpai saat terjaga.
Pada tanggal 18 mei 2011 jam digital di layar hp-ku menunjukan pukul 06:25:49
Aku bersama segala mimpi yang kumiliki menjadi korban persembahan di atas altar emas yang sebenarnya tak bernilai. hanyalah sebatas mimpi dan harap.aku menjadi mangsa yang mengigil dalam cengkraman kemunafikan.
Aku tergeletak sepi. Dunia ini penuh syair dan puisi, tapi sepi. Dunia merana. Tak ada keindahan yang sempurna selain kata-katanya. Semua sekedar kata. Dunia ini menjadi begini hanya karena kata-kata. Lihat saja. Temanku bisa mendapatkan anak seorang wakil gubernur hanya karena kata-kata. “saya pintar gombal” katanya suatu pagi. Anggota dewan dan para eksekutif serta yudikatif menjadi begini karena kata-katanya. Mereka berjanji di panggung-panggung kampanye. Sampai beratus batalion halaman koran sesak dengan iklan yang memuakan. Hakekat surat kabar untuk memuat berita hilang. Sirna karena uang dan janji. Lihat saja banyak kata maki di kota ini, padahal tak ada sehuruf pun kata minta maaf atau terima kasih dalam bahasa daerah. Kataku hancur. Bahasaku lebih pada makna konotasi. Pada kalimat bermuatan arti negatif. Dunia merana bertabur puisi.

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...