KONFLIK PUISI

Januari 18, 2012 0 Comments A+ a-

Bertanyalah sunyi pada bulan: mengapa engkau rela tuk ditinggalkan matahari dan menemani sang malam yang dingin? Jawab bulan: karena matahariku sedang menyinari insan lain yang membutuhkan dan dalam diamnya malam, aku akan member cahaya dan penghangat pada malam.(*)
Sebuah puisi yang dikirim oleh seseorang lewat pesan singkat ke padaku. Jelas ini bukan merupakan sebuah pesan apalagi yang singkat. Kata yang kurang menyentuh hati dan hanya bualan kalimat tentang malam yang sesungguhnya tak indah. Ini cuma toleransi alam yang tidak akan mungkin menjadi sebuah keajaiban dunia. Yang lebih penting lagi, ini adalah hasil modifikasi samar yang dilakukan oleh orang tersebut terhadap sebuah puisi yang sama yang pernah aku terima dari teman cewekku di suatu pagi pada pertengahan November.
Dunia, lelaki berambut kucir itu selesai bercerita. Lebih tepatnya adalah sebuah pengkajian dangkal tentang realitas sastra saat ini.
Betul kawan. Lihat saja saat ini sastra telah tergeser oleh berbagai macam bualan iklan. Lihat saja di koran. Satu halaman yang diperuntukan bagi halaman sastra dilabrak dengan setengah barisan iklan, yang katanya menjual itu. Padahal itu hanya sekali seminggu. Radio yang sering membacakan puisi dan cerita pendeknya tiap malam selasa dan kamis tidak ada lagi. Telah hangus karena acara curhat atau pun sejenisnya yang disponsori oleh perusahaan produk tertentu. Bahkan mau bergabung pun harus menyebutkan password. Dan banyak lagi realita yang ada. Karena……
Belum selesai lelaki berkucir itu bicara, seorang temannya menyerobot tanpa permisi.
Hey.. jangan cepat menghakimi kawan. Bukankah semua manusia yang hidup di muka bumi ini berorientasi pada uang. Uang adalah segalanya. Di surat kabar ada uang. Di radio, televisi semuanya ada uang dan karena uang. Bahkan kita yang sedang berbicara sekarang karena dan… pokoknya uang. Uang adalah segala-galanya. Uang membuat apa yang dimaksud menjadi tidak dimaksud dan apa yang tidak dimaksud menjadi dimaksud. Uang adalah momok yang menakutkan sekaligus sebuah kebahagiaan tak ternilai bagi orang yang memilikinya.
Siapa yang tak mau uang? Munafik. Bukankah uang menjadi segalanya demi kehidupan kita di dunia yang fana ini. Uang bisa membeli status, jabatan cinta dan masih banyak lagi. Uang itu raja. Penguasa dunia yang tak mengenakan tiara. Ia bersemayam indah di tengah kemunafikan dunia. Dunia berpikir mulia, tapi ujung-ujungnya tetap. Uang dan uang.
Lelaki lain yang berambut keriting menimpali. Ia berargumentasi lain. Berbeda dengan teman sebelumnya. Tak memahami akan semuanya. Semua berhenti. Tertunduk. Terdiam. Seolah pikiran mereka dihantui oleh uang. Tak keluar kata untuk beberapa saat dari mulut mereka. Seorang melirik yang lain dan saling melirik. Hanya tatapan kosong, seolah mencari kata di antara lekukan wajah orang dihadapannya.
Lelaki krempeng di sebelah lelaki berkucir seolah gelisah. Dirogohnya saku celana kiri dan kanan serta belakang. Ia mengangkat kepala dengan secarik kertas yang baru keluar dari saku celana belakang bagian kirinya. Suaranya mulai meretas. Pilu tapi berintonasi. Ia membacakan sebuah puisi dalam secarik kertas yang berada di tangan kanannya.
Ku terpuruk dalam keheningan.
Ingin teriak namun ku tak kuasa.
Hanya harap yang mampu terucap
Biarkan saat ini kutenggelam di samudera mimpi.
Merasakan hadirnya, meski maya temani siang. (**)
Penggalan patah hati. Buat apa didengar? Epenkah?? Itu lukisan patah hati dari seseorang yang tak terbendung. Tak terima akan keadaan yang membuat hatinya menjerit. Ia tak tahu harus berbagi penderitaan dengan siapa.
Seorang lelaki yang dari tadi terus melap keringatnya buka suara.
Jangan cepat memvonis kawan. Kesimpulan yang salah bisa mencelakakan banyak orang. Orang lain akan menjadi korban kesimpulan kita. Tidak semua yang ditulis atau pun didengar murni berasal dari orang tersebut. Bisa jadi itu karena inspirasi dari berbagai media atau kejadian saat ini, bisa juga karena fiksi belaka yang dibuat karena keliaran ide yang tak terbendung di batok kepalanya.
Kayaknya ramai juga setiap hari kita begini.mempermasalahkan masalah dan tidak pernah didengar oleh orang lain. Kita cenderung berorasi bebas dan tanpa ada tujuan yang jelas esbenarnya apa.kadang kita berpikir terlalu idealis, tapi sebenarnya penempatan pada porsi yang salah. Lebih baik kita makan, minum mabuk, isap rokok atau bersenang-senang dengan perempuan di tempat lokalisasi sana. Atau kalian takut AIDS. Penyakit itu tidak ada kawan. Itu hanya bentuk politik rasis dari Amerika untuk menghilangkan kaum afro-amerika. Karena mereka malu dengan warna kulit. Atau kalian dengar saja puisiku ini.
Hari ini berlalu tanpa pengenalan
Menyeruak dengan luapan cinta
Menghilang bagai hantu
Cinta mati karenanya pergi
Kembali lagi
Penantian yang tak sia-sia
Berharap selamanya cinta(***)
Semua mematung sepi, begitu puisi itu dibacakan oleh lelaki yang berambut awut-awutan. Mereka lelah mau bicara apa lagi, bahkan untuk sekedar berkata lapar. Mereka lelah melihat ketimpangan sosial yang terjadi dewasa ini. Masalah kecil selalu dibesarkan untuk diperdebatkan dan menuai kontroversi. Maling sandal jepit lebih besarhukuman dan dosanya ketimbang maling uang negara bermilyaran rupiah.
Dunia terlalu aneh untuk dimengerti sekarang. Ketimpangan sosial justru disorot pada kaum marginal, yang nota bene kelas bawah, sedangkan kaum elite yang sering berselingkuh dan berkomplot untuk melakukan kejahatan besar justru dilindungi dan ditutu-tutupi agar tidak terlihat untuk dibicarakan dan didengar. Sekarang mereka lelah berbicara sampai semua mebacakan sebuah pesan singkat dari handphone mereka masing-masing.
…Malam berkata : “izinkan aku meminjam mataharimu”…(****)


(*) : puisi oleh Riven BT
(**) : puisi oleh Sani M
(***) : puisi oleh Djho Izmail
(****) : puisi oleh Uchy B

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...