SUBJEKTIVITAS KRITIK(US) SASTRA NTT

November 14, 2012 0 Comments A+ a-

Oleh: Djho Izmail*

Akhir-akhir ini geliat sastra di Bumi Flobamora makin menunjukan keseriusannya. Beberapa anak muda NTT berkesempatan mengikuti kegiatan sastra di tingkat nasional bahkan bertaraf internasional. Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 10 Oktober 2012, Komunitas Sastra Dusun Flobamora di kupang mengadakan Diskusi Sastra Internasional. Kegiatan ini bekerjasama dengan Ubud Writers and Riders Festival (UWRF). Sebuah ajang untuk membuktikan keseriusan anak muda NTT untuk mengangkat sastra di NTT ke kancah yang lebih tinggi. “Memperkuat Jejaring Sastra Lintas Budaya” sebuah tema yang diangkat untuk menunjukan kepedulian mereka terhadap budaya, khususnya budaya Nusa Tenggara Timur.
Terlepas dari itu, beberapa bulan sebelumnya, para peminat sastra di bumi flobamora ini, tentu pernah mendengar, melihat bahkan membaca sebuah buku yang ditulis tentang sastra dan satrawan NTT. Kehadiran buku ini dinilai sebagai sebuah langkah maju yang diambil untuk menelisik dan menelusuri sastra dan sastrawan di NTT. Disamping itu Masyarakat NTT patut berbangga karena munculnya kritikus untuk menilai sejauh mana perjalanan sastra di NTT. Namun, selanjutnya dalam isi buku tersebut, saya merasa bahwa penulis terkesan terlalu subjektif dalam meramu setiap pendapat dan perihal tentang sastra dan sastrawan di NTT.

Subjektifitas yang didapat
Dari keseluruhan isi buku tersebut, beberapa hal yang dinilai terkesan berdasarkan pendapat penulis semata, tanpa melihat  keberadaan teori sastra yang mumpuni.
Yang pertama, penulis masih merumuskan definisi sastra dan sastrawan NTT dalam ruang lingkup yang masih sempit dan terbatas. Seyogyanya, sastra itu universal. Untuk itu alangkah baiknya bila ingin mendefinisikan ini
Yang kedua, keterbatasan media dan sumber rujukan untuk menampung semua penulis yang dilahirkan maupun berasal dari NTT, juga tentang orang lain yang menulis tentang NTT. Keterbatasan ini penulis lemah dalam menelusuri penulis NTT.
Yang ketiga. Penulis cenderung memaksakan kehendak untuk mengambil tema lokalitas, padahal esensi dari menulis adalah hati. Orang yang menulis dengan hati semestinya tidak perlu dipengaruhi oleh pihak lain yang bisa mengganggu kebebasan dalam berproses kreatif.
Yang keempat, kebangkitan sastra di NTT lebih dinilai secara kuantitas, tanpa melihat dan mepertimbangkan sejauh mana karya tersebut memenuhi kriteria estetika sastra yang berlaku umum atau tidak.
Kelima, amat disayangkan karena hampir semua isi buku tersebut sudah ada pada beberapa surat kabar harian di NTT. Serasa penulis kehabisan kreatifitas.

*) penulis adalah mahasiswa jurusan Gizi Kesmas-FKM Undana dan juga penikmat sastra.

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...