Perjalanan Natal

Januari 22, 2013 0 Comments A+ a-


Minggu, 23 Desember 2012
Haukoto
Hati yang utama
Sekitar pukul tujuh Romo Amanche menelpon saya. Beliau sudah berjanji akan menjemput saya untuk mengikuti misa di stasi St. Petrus Haukoto. Sebuah stasi kecil yang termasuk salah satu wilayah paroki Sta. Familia Sikumana, yang berada di jalan menuju Naioni jalur 40. Tak ada yang berbeda dari semua stasi di daratan Timor yang pernah saya kunjungi. Memiliki kapela kecil. Dengan umat yang sedikit pula. Rata-rata umat di situ adalah penduduk asli pulau timor. Antoin meto.
Sebelum pukul delapan, Saya, Eko dan Romo Amanche tiba di kapela. Nampak beberapa umat sudah menunggu di gereja. Mereka belum bisa masuk ke dalam kapela karena pintu kapela tersebut masih dikunci. Seorang ibu mengomel, lantaran seseorang yang bertugas memegang kunci tak kunjung tiba untuk membukakan pintu kapela. “ini, ana OMK tadi malam yang pegang kunci. Mereka habis buat kandang natal tadi malam”. Kata ibu tersebut tidak puas.
Kami menunggu. Dan menunggu. Untuk menghindari panas matahari. Kami beralih untuk berdiri di sudut gereja, di bawah naungan pohon gamal. Seorang ibu mulai bertanya-tanya. Membuat kami bercerita. Ia nampak kesal juga dengan keadaan di mana pintu Kapela sama sekali belum dibuka. “orang dong ni, Romo su datang tapi dorang belum datang ju” kesalnya sambil tersenyum ke arahku.
Beberapa saat kemudian orang yang memegang kunci tersebut datang. Membukakan pintu dan kami semua masuk memenuhi gereja. Kemudian perayaan ekaristi dimulai. Dalam kotbahnya, Romo Amanche berbicara mengenai arti kegembiraan menyambut kedatangan Sang Mesias. “jangan kita hanya siapkan, kue natal, baju natal, sepatu natal, celana natal, tapi jika kita tidak menyiapkan hati kita, maka kita belum utuh menyambut kedatangan Yesus”. Begitulah sentilan akhir dari Romo. “terkadang sudah ada pergeseran memaknai natal untuk anak-anak maupun orang muda saat ini. Terkadang mereka berpikir natal itu adalah dengan bermain petasan.itu yang keliru. Yang utama adalah menyiapkan hati kita. Jadi bapa mama harus memahami itu. Agar bisa menasehati anak-anak” lanjut Romo sebelu mengakhiri homilinya.
Setelah misa. Kami saling memberikan salam. Sebagai salah satu wujud perkenalan, sebagai wujud saling menyapa, sebagaiwujud saling mengasihi, dan sebagai wujud perdamaian. Apalagi menjelang natal. Satu hal yang membuat saya terkejut adalah seorang mama berusia sekitar 70-an, menyalami saya sambil mencium tangan saya. Hal yang pertama yang saya dapatkan sekaligus membikin bingung. Dalam hati saya bergumam. “mungkin mamatua kira saya frater, yang datang dengan Romo”. Ternyata semua yang ia salami setelah saya dilakukan sama. Mencium tangan. Saya mulai merenung, ternyata kesahajaan berasal dari hati. Yang murni, tulus dan berani berbuat yang dianggap sepele oleh orang lain, tetapi memiliki nilai luhur dan mulia. Terima kasih mama.
Hal mencium tangan ini juga, memberikan saya sebuah refleksi panjang tentang hidup saya. Sudah sejauh mana saya berbuat kasih tanpa pamrih terhadap orang lain. Saya bahkan sungkan dan malu mencium tangan orang tua saya sendiri. Sungguh, sebuah pelajaran yang sangat berarti.

Sepanjang perjalanan Kupang-Nikiniki
Perjalan tetap menjadi perjalanan. Dengan penuh gemuruh dalam dada agar segera sampai ke tempat tujuan. Suatu hal lumrah yang dialami semua orang. Apalagi ke suatau tempat yang sangat diinginkan dan kali pertama.
Tak ada yang banyak dikutip dari perjalanan ini. Selain karena mengantuk dan lelah, juga karena sedikit sekali kami bercerita. Saya sempat mengutip sebuah cerita dari sopir mobil yang mengantar kami. Ia bercerita tentang kotbah pendeta di gerejanya. Dalam kotbahnya, pendeta bercerita. Mengisahkan seorang Ibu yang sangat merindukan kedatangan Tuha Yesus. Suatu malam ia bermimpi. Yesus berpesan kepadanya bahwa, besok beliau akan ke rumah Ibu tersebut.
Menjelang subuh, ibu tadi sudah bangun. Mempersiapkan segala macam kebersihan rumah dan hal-hal mengenai jamuan makan untuk Yesus yang sangat luar biasa.tidak seperti hari-hari yang telah ia lewati.
Penantiannya itu berujung sia-sia. Yesus tidak datang sampai malam hari sebelum ia beranjak tidur. Hanya ada tiga orang tetangganya yang datang sekedar meminjam uang atau meminta sesuap nasi. Masing-masing berselisih dua jam dari pukul sembilan pagi. Ketika malam ibu itu tertidur. Ia bermimpi. Tuhan Yesus datang menemuinya lagi. Tanpa menunggu, ia langsung mengomel dengan Yesus. “kenapa tadi siang tidak datang, padahal saya sudah mempersiapkan diri?” Yesus menjawab. “tadi saya datang tiga kali. Tetapi mama tidak menerima saya. Bahkan mengusir saya”
Manusia. Kita semua. Cenderung menganggap rendah sesama yang dinilai jauh dibawah kita. Padahal Tuhan menciptakan kita sama. Sesuai dengan citra-Nya.

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...