HIDUP ADALAH LOMPATAN DAN LOMPATAN

April 04, 2013 0 Comments A+ a-


resensi Film Perahu Kertas


Judul film       : Perahu Kertas
Penulis            : Dewi ‘Dee’ Lestari
Sutradara        : Hanung Bramantyo
Produser         : Chand Parwez Servia, Putut Widjarnako
Produksi         : PT. Kharisma Starvision Plus, Bentang Picture, Dapur Film
Para pemain: Kugi Alisa (Maudy Ayunda), Keenan (Adipati Dolken), Noni Anggreni (Sylvia Fully R.), Eko Abdullah (Fauzan Smith).
Durasi: 107 menit

Prolog
……….
Gelap perlahan terang. Di sebuah pantai. Ombak berdebur seenaknya. Membiarkan buih-buihnya yang putih membasahi pasir pantai. Kemudian Nampak keindahan laut. Dasar laut yang ditumbuhi terumbu karang. Ikan warna-warni berenang. Setelahnya gambar sebuah tangan. Cincin perak tersemat di jari manis tangan itu. Nampaklah wajah seorang gadis. Ia berada dalam sebuah perahu yang teombang-ambing di tengah lautan biru. Terdengar monolog.
Hai Neptunus. Apa kabar di laut biru. Perahu kertas yang kali ini akan membawa kisah tentang perjalanan hatiku. Seperti layaknya sebuah hati yang selalu mengharap bahagia. Hatiku pun seperti itu. Dan hari ini, hatiku siap berlabuh ke luar Jakarta. Kotaku. Sebentar lagi aku jadi anak kuliahan, Nus. Aku lagi sibuk pindahan. Nanti aku akan di antar Ojos pacarku.
Ini sahabatku Noni. Dia yang ngatur semuanya buat aku. Mulai dari paket kiriman barang-barangku dari Jakarta, kamar kos, seprei, tempat tidur, pokoknya semuanya beres deh sama Noni. Merubah tanah jadi danau, dia juga bisa kayaknya. Jadinya perahu kertas kita aman, Nus.
……….
Synopsis
Pada sebuah stasiun kereta api di Bandung, Noni (Sylvia Fully R.) sedikit cemberut pada pacarnya, Eko (Fauzan Smith). Mereka ke stasiun ini untuk menjemput sepupu Eko, Keenan (Adipati Dolken), dari luar negeri. Namun celakanya, Eko sendiri tidak ingat wajah Keenan karena terakhir kali bertemu saat mereka berusia 9 tahun. Bagaimana bisa menemukan orang yang wajahnya seperti apa saja tidak tahu? Lebih celaka lagi, Eko bahkan tidak tahu nomor ponselnya.
Sementara, di belakang mereka, Kugy (Maudy Ayunda) sebentar-sebentar menguap. Dia masih berusaha mengumpulkan nyawa karena tadi selagi tidur, ditarik saja oleh Noni tanpa sempat mandi dan ganti baju. Sedang, Noni masih cemberut ke Eko yang terdiam pasrah. Tanpa aba-aba, Kugy berjalan maju, menyeruak di antara dua bahu kawannya itu, matanya terpejam, dia memasang “radar” berupa telunjuk di dua sisi keningnya.
Kugy berjalan terus diiringi pandangan aneh orang-orang di sekeliling. Kakinya kemudian mendadak berhenti melangkah ketika bertumbukan dengan sesosok cowok. Dia membuka mata dan menurunkan antena. Inilah Keenan (Adipati Dolken) yang dicari- cari. Radarnya berhasil.
Keenan yang anak pengusaha di Jakarta itu akan kuliah di Bandung. Ayahnya yang memerintahkannya mengambil fakultas ekonomi, meski ketertarikan Keenan di bidang seni. Kugy sendiri adalah mahasiswa fakultas sastra. Dia indekos di Bandung bersama Noni. Keduanya juga berasal dari Jakarta. Kugy yang bercita-cita jadi penulis dongeng ini punya kebiasaan menuliskan jurnal di secarik kertas yang kemudian dia lipat membentuk perahu. Perahu kertas itu lantas dia larungkan di sungai.
Kugy, Keenan, Noni, dan Eko kemudian bersahabat dan memberi nama geng mereka Pura-pura Ninja. Kugy dan Keenan sebenarnya diam-diam saling jatuh cinta, berangkat dari kekaguman Kugy pada bakat lukis Keenan dan kekaguman Keenan pada kemampuan Kugy mendongeng yang sampai menghasilkan piagam. Masalahnya, Kugy sudah punya pacar di Jakarta, Ojos (Dion Wiyoko). Noni menjodohkan Keenan dengan sepupunya, Wanda (Kimberly Ryder), seorang kurator galeri.
Persahabatan empat sekawan itu mulai merenggang. Kugy lantas menenggelamkan dirinya dalam kesibukan baru, yakni menjadi guru relawan di sekolah darurat bernama Sakola Alit. Di sanalah ia bertemu dengan Pilik, muridnya yang paling nakal. Pilik dan kawan-kawan berhasil ia taklukkan dengan cara menuliskan dongeng tentang kisah petualangan mereka sendiri, yang diberinya judul: Jenderal Pilik dan Pasukan Alit. Kugy menulis kisah tentang murid-muridnya itu hampir setiap hari dalam sebuah buku tulis, yang kelak ia berikan pada Keenan.

Kedekatan Keenan dengan Wanda yang awalnya mulus pun mulai berubah. Keenan disadarkan dengan cara yang mengejutkan bahwa impian yang selama ini ia bangun harus kandas dalam semalam. Dengan hati hancur, Keenan meninggalkan kehidupannya di Bandung, dan juga keluarganya di Jakarta. Ia lalu pergi ke Ubud, tinggal di rumah sahabat ibunya, Pak Wayan.

Masa-masa bersama keluarga Pak Wayan, yang semuanya merupakan seniman-seniman sohor di Bali, mulai mengobati luka hati Keenan pelan-pelan. Sosok yang paling berpengaruh dalam penyembuhannya adalah Luhde Laksmi (Elyzia Mulachela), keponakan Pak Wayan. Keenan mulai bisa melukis lagi. Berbekalkan kisah-kisah Jenderal Pilik dan Pasukan Alit yang diberikan Kugy padanya, Keenan menciptakan lukisan serial yang menjadi terkenal dan diburu para kolektor.

Kugy, yang juga sangat kehilangan sahabat-sahabatnya dan mulai kesepian di Bandung, menata ulang hidupnya. Ia lulus kuliah secepat mungkin dan langsung bekerja di sebuah biro iklan di Jakarta sebagai copywriter. Di sana, ia bertemu dengan Remigius, atasannya sekaligus sahabat abangnya. Kugy meniti karier dengan cara tak terduga-duga. Pemikirannya yang ajaib dan serba spontan membuat ia melejit menjadi orang yang diperhitungkan di kantor itu.

Namun Remi melihat sesuatu yang lain. Ia menyukai Kugy bukan hanya karena ide-idenya, tapi juga semangat dan kualitas unik yang senantiasa terpancar dari Kugy. Dan akhirnya Remi harus mengakui bahwa ia mulai jatuh hati. Sebaliknya, ketulusan Remi juga akhirnya meluluhkan hati Kugy.

Sayangnya, Keenan tidak bisa selamanya tinggal di Bali. Karena kondisi kesehatan ayahnya yang memburuk, Keenan terpaksa kembali ke Jakarta, menjalankan perusahaan keluarganya karena tidak punya pilihan lain.

Pertemuan antara Kugy dan Keenan tidak terelakkan. Bahkan empat sekawan ini bertemu lagi. Semuanya dengan kondisi yang sudah berbeda. Dan kembali, hati mereka diuji. Kisah cinta dan persahabatan selama lima tahun ini pun berakhir dengan kejutan bagi semuanya. Akhirnya setiap hati hanya bisa kembali pasrah dalam aliran cinta yang mengalir entah ke mana. Seperti perahu kertas yang dihanyutkan di parit, di empang, di kali, di sungai, tapi selalu bermuara di tempat yang sama. Meski kadang pahit, sakit, dan meragu, tapi hati sesungguhnya selalu tahu.
Idealis dan Realis
Terkadang dalam kehidupan kita sudah mematok sejauh mana perahu hidup kita dikayuh. Kapan layarnya dikembangkan. Dan kapan pula kita harus istirahat mengayuh, atau menurunkan layarnya. Kesemuanya tentu berlaku idealis. Sebagai mana mestinya.
Tapi kenyataan hidup sebenarnya tidak mudah. Kadang tak seperti apa yang diharapkan atau diprediksikan. Seperti penggalan dialog yang disampaikan Kugy kepada Keenan, “aku ngga tau ya, selama ini kamu tinggal di gua mana? Tapi cita-cita jadi penulis itu ngga realistis. Sedikit banget yang bisa survive Cuma nulis doang. Akhirnya cuma jadi sampingan deh”.
Kenyataan hidup tersebut memberikan kita pemahaman bahwa hidup ini berhadapan dengan dua pilihan sulit. Idealisme tidak selalu memberikan kita pengharapan penuh. Karena realitas sesungguhnya sedikit sekali dipengaruhi idealisme. Apalagi idealisme yang berhubungan dengan seni, seperti sastra (menulis dongeng) ataupun melukis. Penghargaan masyarakat terhadap karya para seniman sungguh sangat sedikit. Orang terkadang menyepelehkannya. Padahal seni pada dasarnya lahir darai hati dan juga berpengaruh pada perasaan yang berujung pada perubahan pola pikir ke arah yang lebih baik. Hal ini berakhir terhadap penurunan semangat pelaku seni tersebut. Dengan demikian idealismenya luntur.
Hidup dan Cinta seperti Lompatan
Sejatinya, hidup adalah perputaran roda. Melompat antara kesempatan yang satu dengan kesempatan yang lain. Mengisi kekosongan yang satu dengan kekosongan yang lain. Demikian juga dengan cinta. Singgah ke satu hati, kemudian bertahan sebentar dan pada akhirnya kembali ke lain hati. Cinta seolah moment yang tak pernah bosan diceritakan. Cinta masih perlu dan selalu dibicarakan. Baik dari anak-anak, remaja dan dewasa. Cinta menjadi satu bahan sebagai wacana untuk terus dibicarakan semua zaman. Tanpa harus mengenal ‘basi’.
Cinta antara Kugi dan pacarnya Josua (Ojos) menjadi tidak berarti lantaran perbedaan komitmen. Komitmen menjadi sebuah harga mati untuk seorang individu menancapkan kuku pendirian yang paling tajam pada dunia yang lumayan kejam. Kugi lebih memilih mengikuti kegiatan, dan berharap Sakola Alit yang diemban bersama temannya bisa dikenal dan mendapat kemurahan hati pemerintah. Sedangkan Josua, memilih ke Bali. Bahkan dengan tegas ia mengancam Kugi untuk putus apabila tidak ikut bersamanya ke Bali. Di sini sebuah pilihan ditentukan. Yang paling utama adalah mendengar kata hati untuk mengikuti pendirian apa yang harus dilaksanakan.
Dalam keseharian, kita juga berhadapan dengan berbagai pilihan yang akhirnya menentukan ke mana tujuan membawa kita. ‘jalan terangnya’ ialah menentukan masa depan kita. Entah sadar atau tidak, kita selalu menuju pada pilihan. Dan setiap pilihan ada risikonya. Baik buruk. Positif negatif. Menguntungkan atau merugikan. Semuanya kembali ke pribadi masing-masing yang menetukan dan tak terlepas dari itu semua akan dinilai oleh orang ketiga. Walau sebenarnya kita tak meminta atau berharap.
Demikian juga pilihan yang dijatuhkan oleh Keenan. Tanpa berpikir panjang, Keenan memilih untuk meninggalkan Wanda yang setengah mati jatuh hati padanya. Padahal  gadis itu sudah berusaha jauh untuk memenangkan hati Keenan. Keenan yang pendiam ternyata mempunyai sebuah pendirian yang tak gampang digoda oleh apapun.
Hidup sulit untuk dipatok. Seperti perahu yang berada di lautan luas, sulit untuk mempredikdi, kapan menurunkan atau menaikan layar dan kapan pelaut akan beristirahat. Hidup adalah perjalan yang harus kita selesaikan sebelum matahari benar-benar gelap dari hadapan kita. Lebih lanjut lagi hidup adalah pilihan. So, bijaklah dalam hidup dan memilih jalan hidup.

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...