Fenomena Menjelang Pilkada

Mei 22, 2013 0 Comments A+ a-

Sebuah catatan awam

Genderang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Ende mulai ditabuh. Bunyinya seakan bertalu di seluruh pelosok Negeri Kelimutu tercinta. Masyarakat awam mulai memperbincangkan berbagai nama, status dan profile Bakal Calon Bupati dan Bakal Calon Wakil Bupati. Masing-masing daerah seolah telah mendendangkan nama figurnya masing-masing. Dari kemeriahan itu muncul berbagai semarak lain yang turut memberi sumbangsih pada perubahan pemandangan sepanjang ruas jalan, di tempat strategis maupun di tengah kota. Ada juga hilir mudik mobilisasi manusia dalam rentang proses untuk mendukung kegatan yang berhubungan dengan kegiatan Pilkada ini.
Diskusi warung kopi yang sehari-hari berkisah tentang masalah hama tanaman perkebunan oleh para petani maupun tentang ikan yang agak sulit didapat para nelayan berubah dengan cerita tentang figur dengan berbagai macam propagandanya.
Dari kemeriahan dan berbagai tawaran yang tengah diperhadapkan ke masyarakat ini, ada beberapa catatan yang saya temukan (sebagai seorang masyarakat awam yang tidak mengerti tentang apa itu politik. Bahkan sekedar pengertiannya pun tidak saya mengerti). Sebuah ironi yang mestinya para politisi lebih merenungkan. Bagaimana pendekatan sosialisasi yang tepat dan bermanfaat bagi kedua belah pihak. Masyarakat dan Para Bakal Calon (yang selanjutnya saya menyebutkan dengan kata Mereka) itu sendiri.
Kemeriahan Kunjungan antarkelompok Masyarakat
Masyarakat wilayah tertentu sebagai salah satu basis dari Bakal Calon tertentu, berbondong mendatangi masyarakat lain. Fenomena ini ditemukan saat ini, yang setelah didalami dan dirunut, diketahui bahwa proses itu adalah sebuah proses pelamaran. Layaknya budaya melamar bagi pihak lelaki terhadap keluarga perempuan untuk meminang calon istri bagi sang lelaki itu. Demikian juga akan muncul semacam ‘balasan’. Pihak bakal calon pertama yang terlebih dahulu dilamar, akan mengantarkan anak mereka. Sebagai suatu wujud mereka telah direstui untuk dipersatukan menjadi ‘suami istri’.
Hal lebih lanjut ialah, pasangan ‘suami istri’ tersebut akan didandan dengan pakaian kebesaran budaya setempat. Diangkat menjadi ‘ana tana’ oleh persekutuan adat setempat. Sebuah bentuk instan dalam menindaklanjuti budaya. Hal ini lebih didramatisir. Masyarakat entah sepenuh hati atau tidak telah mendukung.
Dari kemeriahan kunjungan ini, secara ekonomi tentu akan memberikan berbagai dampak. Lembaran rupiah akan mengalir sebagai bayaran untuk berbagai fasilitas mobilisasi maupun fasilitas dan bahan konsumsi. Merujuk ke hal ini, saya sungguh menyayangkan. Dengan uang yang dihabiskan itu alangkah lebih terhormat dan mulianya, bila bakal calon itu berpikir lebih matang.
Dari sosialisasi tentang visi dan misi, mereka berbicara lantang tentang dana-dana yang nantinya akan diupayakan untuk kesejahteraan masyarakat. Mereka mulai mengkalkulasikannya secara matang dengan teori ekonomi dan matematika. Sebuah hal yang entah sadar atau tidak mereka justru telah menunjukan sifat asli mereka. Bahwa sesungguhnya mereka telah menghamburkan banyak anggaran untuk kepentingan diri sendiri mereka. Mereka berpikir untuk sesuatu yang belum pasti, sedangkan hal yang mereka miliki saat ini belum banyak bersumbangsih untuk masyarakat banyak. Alangkah lebih baik unag tersebut dugunakan untuk masyarakat sekarang daripada memikirkan hal ke depan yang belum pasti
Masalah Lingkungan Baru
Selain turun langsung ke masyarakat untuk memperkenalkan diri, mereka juga berupaya mencari media lain yang tepat guna mensosialisasikan diri mereka. Media itu banyak kita temui sekarang. Ada poster, spanduk, baliho, kartu nama, selebaran dan sebagainya. Media ini banyak kita jumpai sepanjang ruas jalan protokol ataupun di sudut-sudut kota.
Wajah mereka nampak sumringah, lengkap dengan bahasa gombalisasi puitis maupun kalimat ajakan. Beberapa bakal calon juga menambahkan bahasa daerah, yang lainnya menuliskan bahasa asing. Mereka telah menghiasi wajah kota dan menambah semrawut. Poster, sticker, dan baliho, baik dalam ukuran kecil hingga berukuran raksasa tersaji menyemarakan suasana penuh aroma kompetisi ini, yang serta merta menimbulkan sebuah persepsi baru di tengah situasi penuh dengan janji dan aroma kompetisi, yaitu persepsi akan seronoknya kota. Terlepas dari itu, Saya mengajak kepada semua konsumen politik dalam pemilu untuk mengedepankan cita rasa konsumen yang tulus berdasar nurani dalam mencicipi ‘aroma dan makanan’ yang akan dan sementara disajikan kepada kita.
Dalam hal pemasangan media tersebut, pepohonan yang menjadi tumpuan reduksi zat karbon disalah fungsikan. Pohon pada dasarnya adalah organisme yang secara langsung tumbuh dan hidup dan merupakan tanggungjawab penghuni bumi untuk melindunginya, termasuk perkembangannya dengan tidak membiarkan tumbuh semrawut, tidak menancapkan paku pada batangnya untuk melakukan promosi, tidak mengelupasi kulit batangnya dengan serampangan (kecuali untuk ramuan obat). Pepohonan yang ditemui sekarang justru telah dilabeli dengan nama dan foto mereka. Pohon yang biasanya dilabelisasi dengan istilah tatanama ilmiah (nomenklatur binomial) temuan Carolus Linaeus, berubah nama menjadi POHON PILKADA bertuliskan nama bakal calon tertentu, lengkap dengan gombalisasinya.
Entah sampai kapan paku-paku itu terus menancapinya, lalu berapa waktu kemudian teroksidasi dan paku itu berkarat lalu menjadi titik mula pembusukkan batang, yang dapat saja mematikan Si-Pohon itu yang merupakan bagian terpenting untuk proses fotosintesis, yang kemudian mengubah karbon dioksida (CO2) menjadi oksigen (O2) yang kita hirup. Sederhananya, Pohon Pilkada ini bisa saja berubah menjadi Bupati atau Wakil Bupati Pohon Pohon, dimana mereka yang hanya mau di ‘atas’ pohon dan tidak mau turun melihat lingkungan riil tempatnya tumbuh dan mengakar. Belum dihitung sampah yang dihasilkan dari rangkaian proses tersebut. Yah, semoga konsumen politis mencermatinya dengan bijak. Perusak alam kok dipilih?

Lebih Baik Untuk Rakyat
Mereka telah berkoar-koar mengatasnamakan rakyat. Mereka bersepakat dan berjanji untuk membela hak rakyat, bila mereka terpilih nanti. Ini sebenarnya hal terpenting yang harus masyarakat ketahui. Sesungguhnya masyarakat telah ‘dicucui otak’. Mereka jelas telah mengakomodir semua lapisan masyarakat hanya untuk gegap gempita sesaat yang nyatanya merugikan masyarakat.
Bayangkan saja, seandainya satu jam masyarakat menghasilkan uang lima ribu rupiah. Saat masyarakat tersebut sibuk bercerita maupun mengikuti segala tetek bengek yang muncul pada pilkada kali ini, seperti pelamaran, sosialisasi dan deklarasi. Kotornya saja waktu yang dihabiskan dua belas jam. Otomatis masyarakat telah kehilangan pendapatan sebesar enampuluh ribu rupiah (Rp 5000 x 12 jam). Betapa ruginya bagi masyarakat, padahal belum tentu mereka itu dipilih, dan belum tentu pula mereka bisa merealisasi semua janji muluk mereka.
Sekarang, pilihan ada di tangan masyarakat. Masih maukah kita terlalu sibuk dengan urusan yang sesungguhnya bisa membuat kita kehilangan beberapa waktu berharga kita? Masih maukah kita memilih calon pemimpin yang merusak lingkungan. Masih sanggupkah kita menatap wajah Para Calon Bupati maupun Wakil Bupati yang sesungguhnya egois? Pilihan masih berada di tangan masyarakat sekalian. Semoga catatan dari saya yang awam tentang politik ini bisa mencerahkan.

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...