"Ata Mai" Kreatifitas Permainan

Juli 12, 2013 0 Comments A+ a-

Ilustrasi
Dunia anak-anak adalah dunia penuh warna. Masa ini dinilai sebagai masa-masa bermain, mencari tahu dan berinteraksi sosial dengan teman sebaya. Sebagai masa bermain maka, saya teringat pada masa kecil saya di sebuah kampung bernama Rajawawo. Kampung pegunungan di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Flores-NTT.
Sebagai wujud kepedulian saya bersama Indonesia Travel untuk mempromosikan Indonesia ke semua orang, maka saya mencoba menceritakan kembali sebuah permainan masa kecil kami. Di masa itu kami tak seorang pun yang mengenal playstation dan berbagai permaian modern saat ini. Kami hanya melakukan permainan tradisional yang sederhana. Sebuah permainan tradisional yang sering dimainkan saya dan teman-teman sepermainan, waktu kecil ialah ata mai. Ata mai sendiri secara harafiah yakni, ata artinya orang dan mai yang berarti datang, tapi sesungguh maksud dari permainan ata mai ini berarti pendatang atau tamu. Permainan ini terdiri dari beberapa orang. Anak lelaki dan juga perempuan.
Sebenarnya permainan ata mai ini diadopsi dari, kebiasaan budaya setempat. Ata mai dalam artian budaya Ende, Flores NTT, yakni berhubungan dengan sifat kekeluargaan yang masih dijunjung tinggi. Misalkan, dalam sebuah proses meminang (antar belis), keluarga laki-laki (weta ane) datang dengan membawa berbagai macam barang (Baca: ngawuà Mahar yang digunakan untuk melamar). Ngawu ini berupa; Binatang besar seperti: sapi, kerbau dll. Juga berupa perhiasaan, emas dan uang.
Dalam permainan masa kecil kami, entah siapa yang mempunyai inisiatif terlebih dahulu, kami kemudian melakukan permainan tersebut. Dengan sederhana dan sesuia dengan daya nalar kami waktu itu. Biasanya anak perempuan yang bertugas memasak dan melayani tamu. Anak lelaki bertugas duduk di depan rumah. Menunggu tamu yang datang.
Permainan ini tidak sepenuhnya mengikuti semua pola yang ada pada beberapa proses tradisi yang terjadi. Permainan ini hanya mengambil beberapa bagaian yang kira-kira ditangkap oleh pikiran masa kecil kami waktu itu. Properti yang kami gunakan pun sederhana. Properti yang sehari-hari berada di sekitar lingkungan bermain kami. Uang kami, menggunakan daun gamal, sirih pinang diganti dengan daun jambu biji, piring dan semua peralatan dapur digunakan dari tempurung, dengan berbagai ukuran. Bahkan kami menggunakan abu sebagai nasi dalam permaianan tersebut (tapi kami tidak pernah memakannya sungguh-sungguh). Kadang masa itu juga, kami anak-anak yang laki-laki mulai menunjukan keperkasaan kami, dengan mengisap rokok. Rokok ini dibuat dari rambut jagung yang dibungkus dengan daun pisang kering. Kami menyebut ini sebagai “gaya”. Yang jika disederhanakan sebenarnya ini hanyalah proses alamiah untuk mengaktualisasikan diri (bisa dikatakan pamer).
Permainan ini dibilang cukup sederhana. Mula-mula, anak-anak dibagi dalam dua kelompok. Kelompok yang satu sebagai tuan rumah atau tuan pesta, sedangkan kelompok yang lainnya sebagai tamu. Kelompok tuan rumah mulai menyiapkan hidangan dan berbagai kebutuhan yang disuguhkan untuk tamu nantinya. Tamu datang denagn membawa beras, dan babi (disimbolkan lewat abu dan belalang). Apabila tamu telah datang, maka awalnya akan disuguhkan sirih pinang dari daun jambu biji bagi tamu perempuan dan rokok dari rambut jagung yang dibungkus daun pisang kepada tamu laki-laki. Kadang, kami anak laki-laki, sampai terbatuk-batuk ketika menyedot rokok buatan sendiri itu. Hal yang paling ditakuti, ialah kami akan dimarahi bahkan dipukul apabila kedapatan sementara mengisap “rokok” tersebut.
Selanjutnya kami mulai bercerita dengan lagak orang dewasa, sambil menunggu makanan sebagai hidangan ini sekaligus puncak dari permainan ini. Kami biasanya bercerita ngawur sambil tertawa malu-malu dengan kelucuan yang dibuat sendiri. Setelah hidangan makanan kami santap (hanya berlagak), para tamu kemudian pamit untuk pulang. Kami akan membuat kesepakatan bahwa bulan depan atau dua tiga bulan lagi (menganalogikan waktu untuk esok) akan bertukar lagi. Tuan rumah tadi akan bertamu ke rumah tamu yang hendak pulang ini.
Sejatinya sebuah permaianan, permainan ini sesungguhnya memberikan sebuah pelajaran yang berharga, yang tidak pernah kami sadari. Bagaimana, membentuk kelompok dan saling berinteraks guna menemukan kesepakan bersama. Juga menunjukan sisi hospitalitas masyarakat yang kami tiru dari para orangtua. Namun, beberapa hal negatif yang timbul ialah, menisap rokok dan kadang permainan ini mengotori areal permaianan, sehngga dinilai tidak mencintai kebersihan. Sadar atau tidak, kadang ada inisiatif dari kami untuk tidak melakukan hal itu (mengisap rokok buatan sendiri) dan membersihkan kembali areal permainan, tapi dengan motivasi berbeda. Kami takut dimarahi orangtua.

Selengkapnya bisa dilihat di sini

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...