Perjalanan Puitik ke Pulau Ende

Juli 22, 2013 0 Comments A+ a-



Dua hari yang lalu (Sabtu,20 Juli 2013) saya berkesempatan mengunjungi Pulau Ende. Perjalanan perdana saya menuju salah satu Pulau di Kabupaten Ende. Pulau yang mengingatkan saya akan mitologi dan sejarah panjang pengaruh peradaban dari luar dan masuknya agama misi. Cerita tujuan perjalanannya bisa di baca di Sehati Menuju Sehat. Perjalan ini membuat saya berpikir dan harus menuliskan tentang sebuah perjalanan yang paling puitik selama pertualang raga dan bathin saya.
Sebuah siang yang terik. Matahari menikam tepat di atas ubun-ubun. Saya telah menunggu di pantai. Menghitung satu dua tiga perahu motor yang melaju. Datang dan perginya seperti kedatangan dan kepulangan cinta. Cinta juga demikian tergesa dan kadang pulang tanpa berpamitan. Saya terus menikmati pemandangan ini dengan diam, di sebuah los pasar yang tidak dipakai. Seseorang tiba-tiba datang duduk di samping kiri lalu bertanya: “ke pulau juga?” Saya kaget. Ia bertanya pada saya. “Iya. Ke pulau, tapi masih tunggu teman”. Saya berucap dan perkataan itu yang terakhir memisahkan kami dari semua kemungkinan pertemuan yang tak terjadwal. Ia beranjak terlebih dahulu menumpang sebuah perahu motor.
Beberapa saat kemudian, ada sebuah pesan yang masuk di ponsel saya. Dari teman yang saya tunggu. Isinya mengabarkan saya untuk menunggu. Beberapa kemudian ia telah datang. Kami pun menuju perahu motor yang berukuran kecil. Sebelum menumpang perahu motor, kami terlebih dahulu menumpang perahu dayung untuk menuju ke perahu motor karena perahu tadi tidak berlabuh di dermaga.
Di atas perahu motor kecil yang cukup cepat lajunya itu, saya kemudian menyadari bahwa inilah awal perjalanan puitik saya. Suasana  percikan air laut dari samping kanan dan kiri yang membasahi wajah dan tangan saya  membuka perjalanan puitik itu. Saya kemudian membayangkan pada penggalan sebuah puisi dari Pelopor Angkatan 45. Chairil Anwar.
Perahu melancar, bulan memancar
Dileher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
Puisi ini yang memang pertama kali merayu saya untuk berpuisi sejak SMA. Kemudian menjadi salah satu puisi favorit saya. Membayangkan puisi itu, saya merasa bahwa perjalanan ini tak sia-sia. Air laut yang asin mencoba memerciki muka saya. Sesekali saya mencoba mengecap tetes yang mencoba turun bermuara di bibir saya.
Perjalanan ini juga memberikan imajiner perjalanan sejarah bagi saya. Saya mebayangkan kedatangan bangsa portugis di tempat ini untuk pertama kalinya di pertengahan abad ke enam belas. Sayang, saya tidak bisa melihat jejak peninggalan sejarah bangsa portugis yang tidak terawat lagi tersebut. Benteng fortaleza de ende minor. Benteng yang memberikan sejarah panjang tentang penyebaran agama misi. Katolik dan kemudian diganti Islam. Kedua paham Monotheistik Abrahamik tersebut pada mulanya berawal dari sini dan kemudian menyebar ke seluruh daerah Kabupaten Ende.
Perjalanan puitik ini kemudian membuat saya mencoba berpuisi. Dengan tidak meninggalkan kalimat Sang Maestro yang menginspirasi, saya kemudian menulis demikian.
L

Mentari menikam ubun-ubun
Perahu mesin kecil melaju
Tak kukalungkan ole-ole di leher
Tak ada pacar di sana
Hanya air memancar dengan gemas
Meninggalkan garam untuk diludah

Pulau ende, 20 juli 2013

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...