Moke, Sedikit Rekaman Budaya

September 23, 2013 0 Comments A+ a-



Pesta sambut baru semalam membuat saya sampai pagi ini merasakan pusing yang sangat. Ini bukan masalah karena menikmati menu pesta yang serba daging atau kekenyangan menyantapnya. Ini kisah lain bagaimana anak muda menikmati secara lain. Ya, pesta bagi orang Ende tak terlepas dari moke. Moke ialah minuman keras yang rasanya pesta akan kehilangan momentum bila tak ada dia. Moke telah menjadi tradisi dengan cerita lokalitasnya. Bagaimana seorang perempuan bersedia menjadi pohon moke demi kebutuhan Para Mosalaki.
Kembali ke cerita tadi, di pesta semalam saya juga turut meneguk minuman yang memabukan tersebut. Selain sebagai minuman persahabatan, karena setelah duduk melingkar, kita akan berkenalan dengan orang baru. Entah berapa botol, kami harus menghabiskannya. Sensasinya berbeda. Diawali rasa nikmat, kemudian pusing memabukan dan terakhir muntah dan terkapar di tempat tidur. Mungkin karena saya tidak terbiasa maka terjadi hal seperti ini.
Apa pun anggapan orang tentang minuman ini, itu menjadi bagian dari persepsinya. Pada kesempatan ini, saya mau menuliskan beberapa hal tentang moke.
1.    Legenda Moke.
Dalam suatu pesta adat, semua penduduk kampung telah berkumpul. Membawa serta beras, ayam, babi, sayur mayur dan pealatan serta perlengkapan masak lainnya. Pada pertengahan pesta. Mosalaki atau pemuka kampung merasa ada yang kurang. Persta terasa hambar. Setelah melakukan ritual, akhirnya mosalaki mendapatkan petunjuk dari leluhur bahwa harus ada satu minuman yang mesti dihadirkan dalam pesta itu. Tapi, mesti ada seseorang yang bersedia menjadi pohon, bakal muasal minuman tersebut.
Adalah seorang gadis bernama Wea, anak dari keluarga Watu Wula. Ia bersedia menyanggupi permintaan leluhur tersebut. Syaratnya keluarganya harus ikhlas menyayanginya. Maka, sebagai penghormatan kepadanya mereka memberikannya pakaian yang indah. Sarung, baju dan berbagai perhiasan untuk dipakainya.
Pada tengah malam. Ketika semua terlelap dalam mimpi, ia keluar menuju pintu masuk kampung lagu mengucapkan:
Aku mo’o basa bhisa more bani, rina mina oso masa
Leka du’a kau, du’a bapu
Du’a eo mera leta lulu wula, ngga’e eo ghale wena tana
Ju sai tebo aku dau mbale moke
Mo’o nosi ji’e gare pawe
Leka miu du’a ria fai ngga’e
Leka du’a kau du’a bapu, eo tau ju pije
Mo’o ngama ngala welu aji ana
Eo muri mera leka tana watu ina
Tiba-tiba setelah ia melantunkan kalimat itu, ia berubah menjadi pohon. Keesokan harinya orang gempar. Wea, sang gadis desa itu tak pernah ditemukan lagi. Mereka mencarinya. Bahkan ada yang menangis akan kehilangannya. Mereka terus mencari tapi tak ditemukannya. Di ujung kampuang, di pintu masuk kampung tersebut ada sebuah pohon yang tak mereka tahu selama ini. Pohon tersebut mereka namakan moke. Mo dalam yang berarti Lelah dan Ke yang berarti menangis. Mereka lelah dan menangis mencarinya.
Inilah cerita asal muasal moke menurut kepercayaan orang Ende-Lio.
2.    Beberapa Hal Teknis Menikmati Moke.
Karena diyakini moke adalah jelmaan manusia. Maka, dalam melakukan penyadapan. Ada beberapa ritual yang dilakukan oleh seseorang yang melakukannya. Mungkin, ini menjadi tulisan saya di kesempatan lain, karena saya mesti menambahkan atau mencari tahu beberapa referensinya. Berikut ini, saya mau menuliskan beberapa hal teknis yang saya lihat dalam pengolahan moke.
Rasa moke sangat dipengaruhi oleh wadah dan cara penyadapan dan penyulingannya. Ada yang dikenal dengan moke bakar menyala. Yaitu, moke dengan kadar alkohol yang tinggi. Bagi yang belum biasa bisa langsung tertidur atau pun mabuk walaupun hanya meminum sesendok.
Penyadapan moke biasanya dilakukan dengan wadah bambu, yang dibuat menyerupai tabung. Ini berguna untuk menampung air sadapan. Biasanya rasa air pertama yang disadap dari ayang enau atau pohon moke ini manis. Kemudian ada ruas bambu yang lebih panjang lagi, untuk menampung air sadapan. Tiga sampai lima hari kemudian, air sadapan ini dimasak menggunakan periuk tanah. Di sini kualitas moke ditentukan. Dalam satu kali masak di sebuah periuk tanah yang besar, air hasil penyulingannya diukur. Untuk mendapatkan hasil yang bagus, biasanya dalam satu periuk hanya menampung uap sebanyak tiga botol. Sedangkan untuk moke bakar menyala, uap air hasil dari penyulingan tadi dimasak lagi seperti semula.
Kualitas dan rasa moke yang lebih enak apabila wadahnya menggunakan botol. Rasa dari wadah penyimpanan yang plastik sedikit kurang nikmat dibandingkan dengan rasa dari wadah penyimpanan yang menggunakan botol atau tempayan.
Jadi, jika anda ingin menikmati moke, belilah yang tersimpan di tempayan dan botol kaca atau keramik. Jangan menggunakan botol plastik. Dan jika anda yang berada dari daerah luar NTT, bila sesekali mampir ke Ende, nikmatilah segelas moke maka anda akan menjadi bagian dari orang Ende. Moke juga menjadi bentuk hospitalitas orang Ende dan Flores umumnya.

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...