Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet

 

“saya cintau dengan kau e…”

“hmmm… gombal”

“Tidak e. Serius”

“kalo serius buktinya mana?”

“bukti apa? Belah saya punya dada?”

“kalo serius dating lamar to”

“oke. Siapa takut”

***

Dalam budaya rajawawo (Tana zozo), khususnya dalam tradisi perkawinan ada yang namanya sera diri. Agak susah untuk mengartikan sera diri dalam Bahasa Indonesia, tapi sebenarnya sera diri bermaksud untuk menunjukan keseriusan seorang pemuda kepada seorang pemudi yang dicintainya.

Sera diri merupakan tahap awal dalam proses panjang adat perkawinan. Tahap ini dilaksanakan biasanya pada kedua muda mudi atau pasangan yang telah menjalin hubungan pacaran beberapa saat dan mereka telah bersepakat untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih jauh. Dalam istilah setempat sera diri dilakukan karena mereka berdua mau sama mau (ana dhei dhato). Mereka berdua berniat menikah atas kemauan sendiri.

Pada tahap ini, prosesi yang dilakukan diawali setelah ada kesepakatan waktu untuk si pemudi datang ke rumah pujaan hatinya. Di rumah si pemudi, keluarga besarnya (keluarga zika zapu) sudah berkumpul. Ketika si pemuda datang, mereka saling menyapa dan berbasa-basi.

Di sini saya mendramatisir sedikit suasana yang terjadi di sana, ada dua perasaan yang muncul tersamar di sana. Perasaan gugup dari si pemuda karena berpuluh pasang mata selalu tertuju padanya. Tatapan singa yang tak dapat makanan berhari-hari, seolah ingin melumat mangsa di depannya, padahal sebenarnya, itu cuma ilusi sang pemuda yang baru datang itu. Sementara ada perasaan lain yang muncul dari lubuk hati si ayah pemudi itu. Perasaan awal kehilangan agak gadisnya. Perasaan tak terima karena sebentar lagi anak gadisnya akan meninggalkannya untuk tinggal bersama lelaki lain yang dicintainya selain ayahnya.

Lanjut ke sera diri tadi, sera diri belum bisa dinyatakan sebagai tahapan peminangan. Namun ada beberapa hantaran yang turut dibawa. Ada ayam satu atau dua ekor, kopi dan gula, rokok serta sirih pinang dan tak lupa moke. Hantaran ini tidak terhitung dalam mas kawin (Ngawu bhanda), ini hanya merupakan bentuk hospitalitas kita ketika datang bertamu. Karena sebagai tamu baru rasanya tak elok bila kita datang berkunjung ke rumah orang dengan tangan hampa.

Setelah makan malam bersama, saat dada seperti gemuruh genderang perang dimulai. Salah satu dari bapak-bapak yang menatap tajam tadi membuka pembicaraan. Bertanya maksud dan tujuan si pemuda datang ke rumah mereka. Entah kenapa, pertanyaan itu telah diwanti-wanti dari rumah agar menjawabnya setelah tiga kali bertanya -dalam budaya rajawawo atau budaya NTT pada umumnya, selalu menggunakan angka ganjil dalam perhitungannya, entah ritual atau yang lainnya yang berurusan dengan budaya setempat-.  Biasanya setelah bertanya, suasana akan hening sejenak kemudian disambung dengan basa-basi lain, sampai tiga hari baru dijawab.

Jawaban tadi akan ditelusuri lagi dengan memanggil anak gadis mereka. Di sini si pemudi tersebut ditanya perihal lelaki tersebut apakah benar kemauan mereka berdua atau tidak dan rencana mereka selanjutnya ke tahapan berikut. Setelah mendengar semua pengakuan dari dua orang tadi, mereka lalu berpesan ke si pemuda agar memberitahu orang tuanya untuk lanjut ke tahap peminangan (mbe’o sa’o).

Beberapa kasus di zaman dahulu, terkadang tahap ini dilakukan langsung dengan melarang lelaki pulang ke rumah orang tuanya (dube) sehingga lelaki itu dinyatakan sebagai rongo tama kopo, yang arti harafiah-nya kambing masuk kebun orang sehingga harus ditahan atau dikurung sebelum pemiliknya datang untuk melakukan negosiasi selanjutnya.

Jika masuk ke tahap rongo tama kopo, maka beberapa hari berikut, orang utusan akan dating ke rumah si pemuda untuk memberitahu bahwa abnak lelaki mereka telah ada di rumah perempuan itu dan mereka harus dating untuk melakukan kesepakatan adat. Tapi, tahap ini sudah ditiadakan sejak masuknya agama katolik di wilayah tersebut, karena dinilai tahap itu sebagai praktik kumpul kebo sedangkan dalam gereja dituntut untuk menikahi pasangan yang belum hidup Bersama secara biologis.

Kembali ke tahap sera diri, setelah diberikan beberapa pesan si lelaki akan kembali ke rumahnya, di rumah, dia akan menyampaikan beberapa pesan yang telah dititipkan, lalu di keluarga besar (keluarga zika zapu) lelaki mereka akan berkumpul dan bersepakat untuk rencana mbe’o sa’o yakni peminangan. Mereka bersepakat waktu dan mahar atau belis apa yang mau dibawa.

Sekian cacatan ringan hasil riset kecil-kecilan saya, apa bila masyarakat rajawawo yang mebaca ini, saya memohon masukan atau kritikkan untuk menyempurnakan tulisan ini agar bisa berguna bagi generasi selanjutnya sebagai pengetahuan dan mungkin praktiknya.

***

“kau datang ini perlu apa?” tanya bapak-bapak yang berkumis tebal ke lelaki yang sedari tadi memegang rokok yang lupa ia nyalakan.

Tangannya sedikit gemetar, baru ia mau menyalakan rokok, seorang bapak berjaket kuning menimpali. Ia bercerita tentang berburu (wa’u zako)  di hutan Kezi Kasa beberapa hari yang lalu. Katanya babi hutan sekarang sudah jarang terlihat. Virus yang menyerang babi itu juga merambah sampai di hutan.

Si Bapak berkumis tadi bertanya lagi untuk ketiga kalinya. Dengan nada terbata sang pemuda menjawab.

“saya datang untuk “berteman” selamanya dengan bapa punga anak perempuan di sini”

“kami punya anak perempuan banyak. Yang mana”

“yang nama Mathemesi itu”

“panggil dia di dapur. Mama panggil dulu”

MITOS ATAU FAKTA: Daging Tokek Menyembuhkan Penyakit Asma

Beberapa tahun belakangan ini, saya jarang mengupdate blog ini. Berbagai alasan saya buat sendiri untuk menghindari diri menulis diblog ini. Sekarang, saya bertekad untuk menulisnya paling kurang sebulan dua kali agar blog saya bisa aktif kembali. Ada satu tema yang saya usahakan sebagai tulisan tetap diblog ini, lantaran saya sering mendengar, melihat bahkan mungkin juga mempraktekan bagaimana masyarakat berpandangan tentang mitos. Saya hanya menulisnya seketika sehingga kadang tidak memakai riset atau referensi yang memadai, sehingga kadang ini semacam catatan harian saja. Kali ini tentang mitos pengobatan suatu penyakit.

 

 *****
 

sumber gambar: data:image/jpeg

“engkau akan mendapatkan rejeki”
Kata mama Ketika saya bercerita bahwa semalam, Ketika duduk di depan laptop, kotoran tokek jatuh tepat di tangan kanan saya. Mama bercerita bahwa, sebelumnya, kakak perempuan saya juga mengalami hal yang sama, tak berselang lama, dia lulus seleksi CPNSD.

Lain dengan cerita mama, saya juga mendengar cerita dari seorang teman kerja saya. Ia mengalami asma sejak kecil. Entah umur berapa, saya tidak menanyakannya lebih jauh. Berbagai macam pengobatan medis telah dilakukan, namun hasilnya belum kelihatan. Memang manusia, kadang maunya hasil yang instan dan tak mau berlama-lama.

Dari seorang sopir, rekanan bisnis jual beras bapaknya, akhirnya mereka menemukan solusi instan untuk mengobati penyakit asma yang diderita anak perempuan bungsunya. Katanya obat itu sangat manjur apabila dikonsumsi dan mampu menghilangkan asma dalam waktu yang tidak lama.
Beberapa pemuda di kampungnya diminta bantuan agar bisa mencari tokek di kebun kelapa atau di hutan belakang kampung, hasilnya dalam sehari saja mereka sudah mendapatkan beberapa ekor tokek. Binatang melata yang malang itu kemudian dibakar dan dikonsumsi agar asma teman say aitu bisa hilang atau tidak kambuh lagi.

Sudah sejak lama, masyarakat kita mempercayai pengobatan alternatif sebagai bentuk pengobatan yang dilakukan untuk menyembuhkan penyakit mereka. Ada bagian tumbuhan maupun hewan yang dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Tak terkecuali dengan tokek.

Tokek dipercaya bisa mengobati asma, Aids, dan penyakit kulit lainnya. Padahal Dijelaskan lebih lanjut bahwa hingga saat ini belum ditemukan bukti ilmiah yang mendukung hipotesis bahwa tokek dapat menyembuhkan penyakit asma. Oleh karena itu, penderita asma diharapkan melakukan perawatan medis yang diberikan dokter daripada harus mengikuti mitos mengkonsumsi tokek.

Akibat mitos tokek sebagai obat untuk beberapa penyakit seperti asma, populasi tokek di beberapa daerah di Filipina mengalami penurunan drastis. Hal itu sangat mengganggu, karena keberadaan tokek adalah kontrol alami hama.

Untuk Anda yang sempat meyakini tokek sebagai obat asma, saya harap lebih banyak mencari informasi yang pasti karena sampai saat ini, belum ada riset yang mengklaim secara empiris tentang khasiat tokek untuk mengobati penyakit tertentu.


Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...