OUTPUT DARI KETERKEJUTAN BUDAYA DAN PANGAN LOKAL

November 20, 2011 0 Comments A+ a-

Masyarakat Rajawawo, Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende mengenal sejumlah makanan lokal seperti jagung, ubi jalar, keladi, singkong, pisang dan umbi-umbian lain yang berasal dari hasil hutan dan perkebunan. Makanan umbi-umbian yang beraneka ragam yang sering dikonsumsi. Dari hari ke hari makanan lokal itu diabaikan di mana masyarkat mulai menjadikan beras sebagai menu pokok di rumah tangga. “saya kalau belum makan nasi, saya belum kenyang” begitulah tanggapan dari berbagai mulut ketika kami sedang bercanda bersama suatu senja. Runyamnya, budidaya padi di kalangan petani lokal kurang bisa dikembangkan, karena minimnya pengetahuan dan masyarakat hanya memiliki ladang yang menunggu musim penghujan.
Masyarakat Rajawawo mengonsumsi beras terus meningkat setiap tahun dibanding makanan lokal. Bahkan, ada sebagian penduduk Rajawawo tidak lagi berupaya menanam pangan lokal, dengan alasan akan membeli beras. Padahal, pangan lokal seperti ubi jalar, keladi, pisang, singkong dan umbi-umbian (uwi, sura, ndezo, dll) sudah dikenal masyarakat sejak nenek moyang. Makanan ini dari turun-temurun dikenal orang Rajawawo. Bahkan, uwi memiliki nilai budaya dan tradisi yang sangat tinggi karena diadakan upacara adat setiap tahunnya (ka uwi).
Masyarakat rajawawo hanya mengonsumsi makanan lokal tersebut dengan cara direbus, dibakar, dan sebagian dijemur di sinar matahari kemudian disimpan. Seperti gaplek (uwi ai zamu & uwi ai peru) Belum ada yang mencoba mengelola untuk bahan kue dan penganan lain yang lebih dilihat menarik secara bentuk dan nilai jual. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Proses itu telah menghilangkan pola makan makanan lokal, yang telah dicanangkan sebagai ketahanan pangan nasional. Ada pemahaman yang keliru, beras adalah makanan orang modern, makanan pejabat, dan orang terkemuka. Mengonsumsi beras status sosial akan meningkat. Makanan lokal lain seperti umbi-umbian, pisang dan jagung adalah makanan orang miskin, tertinggal, makanan ternak.
Masyarakat bahkan cenderung menjual hasil komoditi untuk keperluan rumah tangga. Ironisnya beras menjadi hal pertama yang tak terlupakan sebelum membeli garam, gula dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Teka heo na, mbeta are kilo mbu zima, kalo iwa kita ka apa wazi. Masyarkat seolah tak mau menggantikan beras sebagai makanan utama dengan makanan lain yang kandungan gizinya setara (subtitusi). Anehnya berbagai masalah kesehatan muncul. Masalah yang menjadi trend di bumi flobamora umumnya dan tana rhorho khususnya ialah masalah gizi.
Pada zaman sekarang banyak sekali orang yang kekurangan gizi atau mengalami gizi buruk. Masalah ini sangat meresahkan sekali, karena asupan gizi itu penting sekali bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan gizi yang baik, manusia dapat hidup sehat karena dengan mengkonsumsi gizi yang baik dapat mencegah penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh sehingga bisa terhindar dari berbagai penyakit. Kekurangan gizi ini bisa diakibatkan oleh panen yang gagal, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi itu sendiri, dan bisa juga diakibatkan oleh kebiasaan-kebiasaan atau pantangan-pantangan yang dianut atau dipercaya oleh suatu masyarakat, dimana tidak boleh memakan atau mengkonsumsi suatu makanan yang justru mengandung banyak gizi.
Kita bisa bandingkan nilai gizi suatu makanan dalam tabel di bawah ini. Saya Cuma mencantumkan zat gizi primer sebagai nilai paling riil dalam kebutuhan asupan gizi sehari-hari.
No. Makanan Energi (Kkal) Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr)
1 Jagung 361 8.7 4.5 72.4
2 Nasi 178 2.1 0.1 40.6
3 Gaplek 338 1.5 0.7 81.3
4 Tepung gaplek 363 1.1 0.5 88.2
5 Pisang 268 4.3 12.6 58.1
6 Ubi Kayu 146 1.2 34.7 33.0
Sumber : Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan IPB
Kadang kala, kita cenderung malu dengan berbagai makanan lokal yang akan kita konsumsi. “Biar kelihatan elite, sebagian kita menjual pisang untuk membeli molen. Jual sayur di pasar untuk mebeli sebungkus mie instant” kata dosen epidemiologi giziku suatu saat ketika beliau mengajar. Lebih naas lagi, kebiasaan buruk masyarakat NTT dan rajawawo khususnya, mereka cenderung melakukan kerja sambilan yakni memelihara unggas dan ternak besar seperti kambing, babi dll. Yang menjadi persoalan adalah mereka tidak pernah memakan daging dalam keseharian (kecuali ada kebutuhan khusus dan hajatan). Anehnya setiap tamu yang datang mereka cenderung menghidangkan daging. Tiap hari tidak makan daging, giliran tamu datang baru potong ayam.
Gizi menjadi penting karena berhubungan dengan kelangsungan hidup dan kualitas hidup. Manusia bisa terus menikmati udara bebas di dunia karena dia makan. Bukan sekedar makan saja. Makanan yang dikonsumsi harus memenuhi standar gizi seimbang. Seimbang dalam jumlah makanan, seimbang dalam nilai dari kandungan gizi makanan dan seimbang dalam waktu makan.
Secara teoritis, kualitas hidup dipengaruh oleh hal utama yakni intelegensia. Pengaruh perkembangan otak sebenarnya berada pada periode emas yakni sejak dalam kandungan ibu sampai pada usia dua tahun. Di sini perkembangan otak berjalan pesat sampai sekitar 80%. Di sayangkan apabila kita justru tidak terlalu memperhatikan kebutuhan gizi ibu hamil dan bayi-balita. Apa yang mau diharapkan jika, asupan gizi tidak menunjang untuk kebutuhan perkembangan fisik, mental dan otak? Kecenderungan terhadap kekuasaan tak tertulis sangat besar. Karena menganut paham patriakat, Bapaklah yang mempunyai bagian makan paling banyak. Dalam pembagian daging ayam misalnya, Bapak mendapat bagian dada dan paha sedangkan mama mendapat bagian kaki dan kepala.
Bila ingin adanya reformasi dalam pola kehidupan masyarakat rajawawo, hendaknya kita mengubah pola pikir lama yang cenderung feodal dan konservatif dengan pola pikir baru yang menjunjung tinggi aspek logika dan sportivitas sehingga bisa memajukan berbagai sisi kehidupan masyarakat rajawawo.

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...