DHERA (PATI KA ATA MATA)

Desember 21, 2011 0 Comments A+ a-

Awal Kata
Dalam kebudayaan pada masing-masing daerah,kita tentu saja pernah melihat atau mendengar berbagai macam kegiatan atau upacara yang berhubungan dengan adat kebiasaan masyarakat setempat atau budaya. Budaya yang dianut disuatu tempat tentu mempunyai makna dan nilai serta pesan moral etisnya masing-masing. Nilai dan maknanya hanya mungkin kita pahami dan mengerti apabila kita masuk dalam budaya tersebut atau mendapat biasannya.
Di zaman serba modern ini, orang cenderung berpikiran kritis dan rasional. Segala sesuatu selalu didasarkan dan dibangun dalam sebuah konstruksi pikiran yang logis dan masuk akal. Bahkan menggunakan pisau bedah analisis yang tajam berdasarkan teori dan rancang bangun analisis yang betul-betul jitu. Semuanya serba berpatokan pada rasio. Oleh karena itu, rasio menjadi patokan kebenaran. Segala sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dengan sendirinya ditolak atau dipertanyakan. Jadi, rasio menduduki tingkat paling atas dalam tatanan hidup manusia.
Berhubungan dengan budaya masyarakat Rajawawo yakni, Dhera atau pati ka ata mata sudah dilaksanakan secara turun temurun dan menjadi kebiasaan masyarakat setempat apabila ingin melakukan acara-acara adat kelaurga bahkan sudah berkembang luas sampai pada anak hendak mengikuti ujian dan sebagainya. Masyarakat percaya bahwa, arwah orang yang sudah meninggal akan selalu ada di sekitar mereka yang masih hidup dan manjadi penolong dalam kesulitan.
Yang menjadi persoalannya adalah memberi makan nenek moyang merupakan suatu tindakan yang tidak bisa diterima secara akal sehat. Hal ini bisa menimbulkan persepsi tentang penyembahan berhala dan juga merupakan praktek yang menyebabkan dosa bila ditainjau secara religi. Kajian yang rasional tersebut menghasilkan sikap skeptis pada bentuk praktek budaya dan budaya itu sendiri.

Nilai Yang Dipetik
Secara etimologis Dhera yang berarti membiarkan terbuka, sedangkan pati ka ata mata berarti pati( memberi) ka (makanan) ata (orang) mata (meninggal) yang secara bebasnya diterjemahkan sebagai pemberian makan kepada nenek moyang yang telah meninggal. Dhera dan pati ka ata mata memiliki arti yang sama walaupun berbeda bila dilihat menurut makna denotasinya. Dhera merupakan salah satu kearifan lokal budaya Rajawawo. Budaya Dhera tentu saja sudah lama dipraktikan di Rajawawo dan sudah mendarah daging dalam diri masyarakat orang Rajawawo. Yang mendasari upacara Dhera ini ada karena adanya sebuah keyakinan dan kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian.
Masyarakat Rajawawo percaya bahwa setelah kematian ada kehidupan baru yang lebih mulia dan berahmat dan itu terjadi karena iman mereka. Dhera biasa dilakukan dengan memotong hewan kurban kemudian bagian tertentu seperti hati dll dari hewan tersebut dimasak lalu disajikan bersama nasi, kopi atau teh, pisang dan sirih pinang.
Dari pemahaman tersebut maka saya berusaha menterjemahkan ke dalam nilai kehidupan sehari-hari, antara lain :
1. Dhera: Suatu Ungkapan Penghormatan
Masyarakat sungguh yakin bahwa nenek moyang yang sudah meninggal secara lahiriah sebenarnya masih ada dan tinggal bersama-sama mereka dalam wujud lain yang tidak kelihatan. Upacara dhera juga bukan merupakan ritual belaka yang sekedar dibuat, tetapi masyarakat sungguh-sungguh yakin akan substansi dari upacar tersebut yang merupakan sebuah pengakuan kepada wujud tertinggi yang tidak kelihatan yakni NggaE Dewa.
suatu bentuk penghormatan kepada wujud tertinggi atau NggaE Dewa. Nggae Dewa disini bukanlah suatu bentuk manipulasi agar terhindar dari cap penyembahan berhala melainkan suatu bentuk keyakinan masyarakat akan adanya ADA yang tidak dapat diadakan yang mengadakan kita.
2. NggaE Dewa
Bentuk tertinggi dari kehidupan yang oleh masyarakat dinakan NggaE Dewa ini merupakan symbol keabadian dan pencipta. Sebagai makhluk ciptaanNya sudah selayaknyalah kita harus bersyukur dan berterima kasih atas penyertaan dan nafas kehidupan yang ia berikan. Bentuk itu bisa diwujudnyatakan melalu praktek budaya dhera tersebut.
3. Dhera Sebuah Penyembahan Berhala atau kepercayaan?
Dhera dilaksanakan oleh masyarakat Rajawawo yang beragama lokal untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal yang diyakini mempunyai kekuatan supra empiris. Artinya memiliki kekuatan-kekuatan yang melampaui segala hal yang bisa diindrai. Upacara ini kadang dilakukan oleh masyarakat yang beragama lokal di Rajawawo di bawah pohon besar (zeze), batu besar dan mata air untuk mempersembahkan kepada arwah nenek moyang atau leluhur yang menjaga benda-benda tersebut dan diyakini mempunyai kekuatan supra empiris. Bentuk tersebut menunjukan kepercayaan penuh masyarakat pada pencipta.
Akhir Kata
Penghormatan kepada arwah nenek moyang yang secara khusus dilaksanakan melalui upacara Dhera lebih merupakan urusan religius keluarga atau kesalehan religius pribadi dari pada praktik religius publik resmi. Pertanyaannya, kapan upacara Dhera dipandang sebagai salah satu karakter kebudayaan yang mengakar dan menjadi label di masyarakat sedangkan dalam kesehariaanya masyarakat teristimewah kaum muda berusaha untuk melupakannya.

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...