BEDA BENUA
Aku seperti mengembara di gurun gersang. Tak ada pepohonan kutemukan di sana. Itamar sudah pasti tidak ada. Perlahan kakiku mulai menapaki pasir yang kian panas disoroti sinar mentari. Panasnya semakin menjadi-jadi ketika sang surya berpijar tepat di atas ubun-ubun. Kaki terus melangkah sedangkan aku sendiri tidak tahu harus ke mana. Kuturuti saja langkah yang membawaku. Lapar dan dahaga mulai menyerang ragaku. Ke mana jalan kuharus melangkah? sedang perut merengek untuk diisi. Tidak. Aku tak mau mati di sini. Kupercepat langkahku.Sebuah Istana megah terbentuk di depanku. Fatamorgana pikirku. Kumelangkah semakin mendekat. Aku masih belum percaya dengan apa yang sedang kulihat. Kucoba untuk mengusap mataku, tapi istana itu tetap adanya. Kumendekat ke gerbang istana, tak ada satupun yang tampak termasuk penjaga. Aku dikagetkan oleh bunyi derit pintu gerbang. Tampak dari dalam muncul seorang gadis. Ia tersenyum padaku lalu mendekat. Dari sorot matanya aku merasa mengenal dia. Kuulurkan kedua tangaku, iapun menyambutnya. Entah apa yang terjadi aku seperti mendengar ia bersyair:
Aku berdiri di tengah taman penuh bunga dengan beragam aroma. Tak lupa keindahannya. Hatiku berbunga-bunga takkala seorang pangeran datang menyapaku. Diajak aku ke bulan bersamanya. Hatiku sangat bahagia. Ingin kuberdendang, tapi aku malu. Suaraku tak semerdu kutilang menyambut senja, tak selaras paduan suara ayam-ayam memanggil matahari menuaikan pagi. Kutersentak kaget ketika angin dengan nakalnya mengibar rambutku. Ternyata aku sudah terbang bersamanya ke bulan. Dipeluk erat tubuhku. Senyumnya memancar aura khas pijar-pijar cinta. Manakala aku terlumur oleh lahar cinta yang diberikan, indahnya dunia tak terlukiskan oleh syair seindah apapun.
Aku dikagetkan oleh menghilangnya gadis itu dari hadapanku, termasuk istana itu. Aku terbangun membayangkan istana mimpi yang dipoles dengan indah oleh jemari malaikat kecil pembawa mimpi, yang telah menyisakan keping-keping di benakku.
Aku terduduk sambil mengingat kembali bunga tidur yang masih membekas di benak. Tampak kiri kananku semua terlelap. Pikiranku tentang gadis itu mengingatkan kembali aku pada gadis Irak yang telah manjadi kekasihku.
Siang yang panas sama seperti siang-siang sebelumnya. Ratusan butir peluru melayang-layang di atas kepala kami. Bahkan mortir hampir meledakkan punggungku, andai saja aku terlambat menyingkir. Entah sudah berapa banyak prajurit Irak yang tewas oleh timah panas bidikanku. Aku seperti keasyikan, bagaikan menjatuhkan pipit-pipit dari atas dahan pohon jati dengan senapan angin. Di otakku tak terpikirkan tentang mulianya sebuah nyawa. Apalagi tentang HAM termasuk hak hidup. Bahkan perintah jangan membunuh yang kubaca di Alkitab tak kuhiraukan. Mungkin rasa nasionalismeku mengalahkan semuanya. Aku menjerit kesakitan ketika sebutir peluru bersarang di bahu kiriku. Berada tepat tujuh sentimeter di atas jantungku. Setelah itu aku tak tahu lagi bersama dengan mengucurnya darah yang membasahi badanku.
Kubuka mataku, melihat di sekelilingku. Tampak seorang gadis tersenyum padaku, dengan mengenakan pakaian seperi perawat.
“Sudah sadar Tuan Wolfgang?”tanyanya dengan senyum menghiasi bibirnya. Aku cuma mengangguk sambil menahan rasa perih di pundak kiriku.
“Oh.. ya! mulai sekarang anda dirawat di klinik Rubiah Al Fiat, empat puluh lima kilo meter dari arah selatan Kota Baghdad, karena klinik untuk prajurit Inggris telah kehabisan bahan obat-obatan dan dirawat di sini sampai beberapa hari bahkan minggu sambil menunggu pasokan bahan medis dari pangkalan utama militer Amerika serikat. Ya.. maklum di jaman perang seperti ini, semua serba tidak mengenakan.” katanya dalam bahasa Inggris dengan sedikit dialek Irak. Aku cuma mengangguk sambil tersenyum dipaksakan agar terlihat ramah dan bersahabat.
Sudah empat hari aku dirawat di klinik ini. Tak ada seorangpun yang datang membesukku. Mungkin suasana perang yang tidak memungkinkan, pikirku. Aku teringat akan gadis Irak yang merawatku. Sungguh seorang gadis yang rupawan dan berhati mulia. Padahal kami telah menghancurkan negaranya, bahkan nasib anak bangsanya, tapi dia dengan tulus merawatku.
“Selamat pagi Tuan Wolfgang” kata mengagetkanku.
“Anda membawaku sarapan pagi Nona Perawat?”
“Jasmine Binti Riyadh Abbubakar panggil saja Jasmine.” katanya tersenyum ramah.
“Oh yah! apakah ada berita dari pasukan utama di pangkalan militer Amerika Serikat?” tanyaku ingin tahu.
“Saddam Hussein tertangkap dalam persembunyiannya di ruang bawah tanah, tapi perang belum berakhir.” katanya dengan raut agak sedih.
“Oh…maaf aku tak bermaksud menyingg..”
“Tidak apa-apa, anda berhak tahu tentang hal ini.” katanya menyela.
“Boleh aku tanya sesuatu lagi?” ia mengangguk dengan senyumnya yang khas yang selalu mengukir indah di bibirnya.
“Apakah anda tahu bahwa sebuah rasa telah mengobatiku dari luka tembak yang kuderita ini.” tanyaku sungguh-sungguh. ia mendekat lalu duduk berhadapan denganku di atas tempat tidur.
“Mungkin anda berpikir bahwa perang ini telah membuat benci, penduduk Irak terhadap Amerika, Australia termasuk Inggris. Ya itu bagi mereka, tapi aku tidak. Justru sebaliknya, karena dengan perang ini telah mempertemukanku pada sebuah kenangan. Kenangan karena malamku membayangkan dia dan tidurku mengimpikan dia. Dan dia…….dia itu adalah kamu Wolfgang.” katanya dengan volume suara semakin diperkecil.”
Aku tersenyum dan dia juga. Kami senantiasa semakin akrab, sampai aku dinyatakan sembuh dan keluar dari klinik itu. Hari-hari selanjutnya aku kadang bertemu dengannya sekedar melepas rindu dan bercerita tentang sebuah kisah. Cerita cinta dengan dua tokoh uatama tanpa adanya tokoh antagonis sebagai klimaks sebuah cerita.
Sirene mengaung memenuhi seluruh sudut barak. Semua orang terbangun karenanya termasuk aku dan lamunanku. Semua prajurit tergagap mencari senjata dan berhamburan keluar. Hari ini sebagian prajurit akan dipulangkan ke Inggris. Berita disampaikan. Nama-namapun dibacakan, termasuk aku. Hatiku merasa sedih karena telah meninggalkan negeri perang penuh kenangan ini.
Sebelum langkahku menapaki anak tangga pesawat, aku berbisik pada sang bayu: katakan bahwa aku sangat mencintainya, Jasmine gadis Irak pengobat derita cintaku. Ingat suatu saat sebuah rasa akan membawa kita pada kebersamaan yang sangat indah. Seorang prajurit mendorongku dari belakang, aku melihat ke belakang lalu tersenyum.
Sebuah stasiun TV Swasta Inggris meliput suatu berita.
“Seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun tewas dibunuh ayahnya. Ia dengan sangat kejam menyiksa anak gadisnya. Gadis itu sempat berteriak memanggil ketiga kakak lelakinya, tapi setelah ayah mereka menjelaskan semua tentangnya, mereka malah membantunya untuk membunuh saudari mereka tersebut. Kata bapak tersebut: tidak baik seorang rakyat yang dijajah menjalin asmara dengan penjajah. Apalagi dengan bangsa kafir Eropa. Karena itu sebuah musibah dan harus dirajam dengan batu. Hal ini hanya menurunkan derajat kehormatan dan pengobralan harga diri sampai pada tingkatan yang paling rendah. Tertera nama di layar televisi: Jasmine Binti Riyadh Abbubakar. Aku langsung lunglai. Tulangku seakan remuk. Aku tak berdaya. Maafkan aku cintaku, karena aku telah membuatmu menjadi onggok yang menyedihkan. Sejujurnya dalam kepingan hatiku telah terpahat indah namamu. Tunggu Aku di batas terakhir hidup ini, cintaku.
Inspirasi dari sebuah berita
Champen,300808