BIAS KEINDAHAN

Desember 27, 2011 0 Comments A+ a-


            Sore yang menguning syahdu di ufuk barat. Panggilan alam memaksaku untuk bergegas ke kamar kecil. Ditemani Aponk yang dengan gaya rambut panjang dan badannya yang ‘panjang’ (hahaa…juzt kidding brur..^-^)  Kami berusaha mencari kamar kecil di belakang pastoran. Aponk sedikit merinding melihat kuburan. Ia mulai memberi jempol padaku tentang kata-kataku tadi sore dalam truck. Ajari aku bagaimana cara mebuat hati perempuan berbunga-bunga, aponk dengan logat Lomboknya yang kental.
            Malam yang perlahan memekat. Dingin berusaha menusuk masuk pori-pori kulitku. Bersama teman-teman kami menuju pastoran untuk mengisi daya baterei handphone. Aku kembali teringat akan janji denga seorang cewek manis berkulit putih sore tadi. Kubergegas menuju gereja untuk mengikuti latihan koor. Selesai latihan koor, aku kembali ke pastoran. Aku pusing. Hp yang kucas tadi tidak berada lagi di tempatnya. Lima belas menit kemudian aku mendapatkannya kembali setelah diberitahu oleh Romo.
            Malam terus bergulir makin larut. Kepakan sayap sang malam seakan menutup lebih rapat lagi, bagaikan selimut hitam yang menyekap rapat para penghuni bumi. Aku berusaha membual dengan cerita lucu tak bermaknaku pada teman-teman. Sambil menunggu berbutir nasi pengganjal perut untuk tidur malam. Malam yang bersemedi ditengah bualan dingin. Memaksa tubuh sedikit menggigil. Aku berusaha untuk tak berpatung sepi. Menunggu mentari yang tak pernah berbohong untuk hadir kembali esok pagi.
            Tidur malam dengan kepala tak beralas bantal. Merujuk akan mimpi berharap yang indah akan hadir. Menguap Aponk di sebelahku lalu terlelap setelah menertawai teman sebelahnya yang mengambil tanpa izin bantal dari Narto. Luapan gembira masih tersisa dari pelupah rasaku akan kehadiranku di tanah yang belum pernah aku datangi sebelumnya.
            Lelah yang mendera menghantarku pada tidur di malam yang kian larut. Satu persatu desahan napas teman-teman membangunkan kudukku. Ada bebrapa dengkuran bersatu padu bagaikan paduan suara yang telah lama kehilangan sosok pelatihnya. Sumbang dan fals mulai menyatu, mengantarku ke arena mimpi bagaikan musik klasik yang meninabobokanku dalam tidur.
            Aku tak tahu harus berbuat apa. Bingung tengah menghipnotis jiwaku. Ingin kuberteriak pada ketidakpastian ini. Tanpa sadar, seorang teman menendang pantatku. “ bangun su ngero, dong mau doa pagi tu” aku kaget. Terbangun sambil mengusap kedua mataku. Ngantuk yang masih tersisa memaksaku untuk menguap. Rupanya mimpi. Aku bermimpi bagaikan nyata yang menceritakan. Berharap nyata tak meminjam mimpi tadi untuk untuk dipakainya dengan baju kebesarannya.
            Doa pagi itu tak kuikuti dengan benar. Aku kembali tersandar pada dinding tembok lalu kembali bersemedi memanggil pelukis pelangi untuk melukis mimpi indah yang menceritakan tentang aku dengan tujuh gadis keindahan yang bermigrasi dari dunia antaberantah. Aku membayangkan bagaikan Jaka Tarub yang dengan perkasanya, tapi pengecut dengan keindahan yang ada. Memang diriku begitu. Tak berani menularkan kalimat-kalimat usang dari buku-buku lusuh tulisan Chairil Anwar kepada pemilik keindahan yang hanya bisa kumaknai secara ilusi dalam fatamorgana kehidupanku yang amburadul.
            Kembali mengawang ketika pertama kali mataku melukis wajahnya. Seolah mulut menganga panah melihat ayu keindahan yang terpatri bagaikan Juliet di hatinya Romeo. Aku membayangkan andaikan aku Lupus pasti Poppiku itu telah kuberteriak namanya lewat microphone di stasiun kereta api, lalu berkata : aku cinta kamu” yang membuat dia kembali ke hadapanku dan seorang nenek tua yang sedang menunggu kereta terharu sambil menitikan air mata.
            Sementara imajinasiku berkembang, sekali lagi hadiah tendangan mendarat pada bokongku. “bangun ngero, lu ni.. parah mati ew.. orang doa lu urus tidor sa” aku tergagap dengan ulah dan kata temanku itu. Tersadar penuh lalu bergegas keluar dari Aula Arnoldus menuju dapur hendak menyeruput air dalam dinginnya Lahurus. Aku bergegas ke gereja untuk misa pagi. Dengan sendiri di antara banyak orang. Menyedihkan.
            Hari ini kami akan kembali ke Kupang. Menuju ke kediaman masing-masing. Aku tak tak tahu lagi sudah berapa tikus yang bunting, melahirkan dan beranak di rumah kamarku. Ya, sudah tiga minggu ini aku belum pernah tidur di sana. Rasanya tak sabar lagi menunggu mobil yang akan membawa kami ke Kota Kecil Atambua.
            Sial, hujan ini. Fenomena alam yang menyeruak tanpa izin. Membendung rasa yang tertinggal. Aku terpaku. Sunyi dalam bisu sendiri, antara hilir mudik dan cuap-cuap berbagai mulut. Beberapa orang berusaha mengangkut tas dan segala macam tetek bengek lainnya ke atas truck, seolah berlomba dengan hujan yang tak memberi isyarat untuk berhenti. Akhirnya kami berpisah juga. Aku memojok sambil memangku sebaskom mie di sudut bemo. Selamat tinggal Lahurus. Akan alam dan hidupmu yang telah melukis aku sebuah cerita. Cerita yang mungkin hanya sebatas lawakan bagi orang yang mendengarnya. Guyonan tak bermakna. Palsu.
            Baru beberapa meter roda bemo berputar, mengelinding antara aspal yang tak jelas antara tanah dan bebatuan. Hentakan rem dari bemo membuatku sedikit terjungkal ke depan. Semua berteriak. Hiruk-pikuk dengan kapanikan. Ada yang tak sadarkan diri. Kerasukan?. Aku Cuma terpaku dengan nanar dan sebaskom mie di pangkuan. Pelangi tak indah lagi. Mata yang kataku menyiratkan keindahan pelangi telah redup tak bercahaya. Bagaikan menyalakan pelita di tengah terjangan prahara. Pelangi terlukis buram. Aku menamakannya, bias keindahan. Keindahan yang tak ada. Telah pergi bersama pemilik keindahan itu sendiri. Pemilik mutlak keindahan yang datang mengindahkan dunia tapi dunia menyangkal keindahannya.
            Indah yang sangat indah tidak pernah indah lagi, sebab adanya indah tak bisa memperindah lagi. Lantaran keindahan yang mutlak tak mau keindahannya hanya sebuah cerita dongeng dari nenek kepada cucunya. Tentang keindahan yang ada tetapi, dunia telah membuat indahnya indah menjadi tak indah dengan berbagai keindahan jelmaan yang sebenarnya tak indah, namun dikatakan indah oleh pemuja keindahan yang tak tahu bahwa sebenarnya dirinya tak indah. Indah telah menjadi fatamorgana.

                                                                                                                        April Mop, 2011

LAPTOP PAGI HARI

Desember 27, 2011 0 Comments A+ a-


            Hiruk-pikuk semua penghuni kos di keheningan pagi. Langkah kaki mendekat ke arah pintu kamarku. Namaku dipanggil dengan kencang berulang, tak lupa gedoran keras di pintu. Aku tetap meringkuk karena udara pagi yang sedikit dingin. Gaduh yang telah membuyarkan alunan mimpi klasik di sajadah pagi. Mimpi tentang mimpi yang sekedar bunga tidur. Mungkin juga karena kekenyangan makan malam, kalimat yang selalu dikatakan bapaku ketika aku menceritakan mimpiku di pagi harinya. Dengan mimik bercanda tentunya. Seprei melorot entah ke mana. Mungkin lagi berpiknik ria di kedinginan lantai. “ah.. dia tak mau lari pagi” ada yang bersungut-sungut di luar. Suara tadi menghilang karena merasa tak ada tanggapan dariku.
            Kucoba untuk kembali memejamkan mata berharap mimpi yang sama kembali mengukir di atas angan pada alam bawah sadarku. Sial, mimpi tak kunjung datang dan mata tak kunjung terpejam. Rasanya tak bisa tidur lagi. Akupun duduk tanpa tahu harus bebrbuat apa. Tanpa sengaja mataku menangkap sebuah benda. “Riven… bangun!!! Ne laptop belom instal ne…” kalimat terlontar dari mulutku. Riven temanku tersebut cuma menanggapinya dengan gumaman yang tak jelas yang sulit kumengerti. Ia akhirnya terbangun juga, setelah kubangunkan dia untuk ketiga kalinya. Kamipun hanyut pada aktivitas tersebut. Memandang layar kosong laptop dan kemudian muncul dengan berbagai tulisan di latar hitamnya.
            Cukup melelahkan pekerjaan tersebut. Bukan karena beratnya, tapi karena menunggu. Sehingga tepatlah kata orang, pekerjaan yang paling membosankan adalah menunggu. Lama di hadiahi rutinitas menunggu. Selesai juga akhirnya. Kini giliran aku yang pusing, bagaimana harus membuat style-nya agar kelihatan keren dan menarik. Aku menerka-nerka kira-kira warna apa yang ia sukai. Oh.. ya, sebelum terlanjur jauh aku ingin memperkenalkan dulu diriku.
            Namaku Djho Izmail. Sekarang aku sedang menimba ilmu untuk masa depanku dan masa depan semua orang yang kucintai di Fakultas Kesehatan Masyarakat Undana Jurusan Gizi Kesehatan Masyarakat semester delapan. Teman-teman seangkatanku sedang melakukan KKN, bukan tindakan pidana tentunya tapi, KKN itu artinya kuliah Kerja Nyata. Aku belum KKN karena ada beberapa kendala akademik yang harus aku jalani. Yang tidur tadi namanya Riven Niron. Orangnya sedikit pendiam tapi, cewek-cewek pasti mati kutu dengan berbagai cara yang dilakukannya. Kali ini ia baru bolos dari lokasi KKN sehingga ia menginap di kostku.
            Tentang pekerjaan yang kami lakukan tadi. Kami sebenarnya tidak pakar-pakar amat tentang dunia perkomputeran dan sejenisnya. Sebenarnya cuma banyak belajar dari orang lain dan kami berusaha untuk belajar dan berkreasi lebih banyak untuk menambah wawasan kami. Cuma sampai disitu prospek kami. Selebihnya mungkin hanya sedikit sombong di hadapan teman-teman yang kurang tahu (heheheee…). Kami baru melakukan pekerjaan tersebut untuk laptop gadis manis yang baru kami kenal tadi siang di kampus. Selebihnya aku tak tahu lagi tentang dirinya.
            Kembali ke cerita selanjutnya. Semuanya telah rampung. Temanku Riven ada sedikit urusan yang ingin segera dilakukan sehingga ia memandatkan aku untuk mengembalikan laptop ke pemiliknya. Beberapa layar pesan singkat telah ia kirim untuk teman dari gadis pemilik laptop tersebut. Hasilnya kurang memuaskan. Tak ada akses yang bisa membuat kami bisa langsung berhubungan denganya lewat media elektronik termuthakir, fleksibel, ekonomis dan merakyat saat ini. Teman gadis itupun memberi kami jalan cerah dengan memberitahu duabelas digit nomor handphonenya. Riven langsung mengabarinya lewat pesan singkat.
            Kesepakatan lewat pesan singkat kujalani. Setengah jam sudah aku duduk seorang diri memandangi lalu lalang mahasiswa, sambil menunggu pemilik laptop tersebut. Aku tak sabar hati dan menghadiahinya sebait kata-kata tak puitis lewat pesan singkat. Berselang kemudian deringan menjawabi pesanku. Aku sedikit lega sehingga lupa mengabarinya balik. Menit yang berlalu bersama deringan nokia 1200-ku. Aku sedikit ragu untuk menjawabi panggilan masuk karena berasal dari nomor yang tak tersimpan di phonebook telepon gengganku. Kuberanikan diri untuk meladeninya. Suara renyah dan tawa lepas membuat aku tersenyum sendiri dengan hp di telinga.
            Gadis itu mendekat ke tempat aku menunggu. Aku berusaha sibuk dengan temanku yang baru saja bersamaku. Kurasakan dia sedikit tersipu dengan sikap malas tahuku, yang membuat dia sedikit ragu untuk mendekat. Kutengadakan kepala dan melihat ke arahnya tanpa seulas senyum untuk membuatku ramah. Gadis tadi memberanikan diri dan membuat aku tertawa juga. Gadis manis berkaca mata yang ceria. Begitulah kira-kira penilaian awalku. Mungkin juga salah, karena perempuan adalah misteri yang sulit dipecahkan sehingga sulit untuk dipahami. Obrolan membuat kami tertawa tanpa beban.
            Aku lalu mengambalikan laptopnya. Tak disangka kertas putih segi empat dikeluarkan dari tasnya. Aku memahaminya dan menolak pemberian tersebut. Ia memaksaku dan aku menolaknya. Tak tahu kenapa aku kemudian mengalah juga, padahal aku tipe orang yang tak suka mengalah terhadap perempuan. Sebenarnya aku ingin bercerita banyak dengan dia bahkan sampai senja menjemput jika dia mau, tapi buku-buku dari perpustakaan memaksaku untuk mengakhiri niatku itu. Kamipun berlalu ke tujuan masing-masing dengan menumpang mikrolet yang sama. Tak banyak cerita yang bisa kuungkapkan karena mulut kami seolah dibungkam. Terdiam akan pikiran masing-masing.
            Pesang singkat kulayangkan ke temanku Riven tentang berita kertas segi empat putih padanya. Berbagai kata-kata tak layak ungkap disematkan padaku. Rasanya aku seolah patung hidup bodoh tak berperasaan. Aku dilema dan serba salah. Aku diam, dalam diam itu kurefleksikan kembali perjalananku dari pagi sampai sejauh ini. Rasanya sebenarnya tak ada yang perlu dipersalahkan dalam hal ini. Semua berbuat sesuai dengan pemahaman dirinya yang sudah seratus persen benar. Aku tersenyum dan berharap Riven dan gadis pemilik laptop itu juga tersenyum. Bila bebanmu terasa berat, hadapilah dengan senyum. Senyum yang memerdekakan kita dari semua perasaan yang tak layak untuk dirasakan. Senyum itu ibadah. Ibadah adalah proses kegiatan memuji dan memuliakan Tuhan. Jika kita tersenyum kita telah memuji dan memuliakan Tuhan.

                                                                                                       Depergan Kost, 06 Mey 2011

OTB

Desember 27, 2011 0 Comments A+ a-


            Kawan semangat bercerita tentang gadis manis yang baru dikenalnya. Yang membuatnya ingin mencubit pipinya, bahkan ingin menciumnya sampai lemas. Gadis yang sangat membuatnya gemas dengan kata-katanya. Oh..tidak bisa. Aku Cuma tersenyum sinis mendengar ceritanya. Tak apa kali ini biar dia merasa senang. Toh, hari-hari selalu aku bercerita. Tentang omong kosong dan bualan tak ada arti. Dan ia mendengar sambil ketawa, menampakan giginya yang tanggal satu. Setelah itu baru dia berkata “ boleh didengar tapi tak boleh dipercaya.” Lucu memang, setelah ketawa baru berkata demikian.
            Dalam hati kecilku sebenarnya aku tidak percaya akan ceritanya. “ muntah do..” kataku, membuat semangatnya yang merah menyala padam seketika, bagai api yang diguyur hujan sehari. Aku tersenyum sinis padanya dan membuat darahnya berdesir cepat sampai ke ubun-ubun. Ia memarahiku, sambil mulut mengeluarkan sebuah kata sarat neraka. Kata yang harusnya enyah dari hadapan bumi. Frasa ciptaan “SPOK” dalam melayu kupang.
            Cerita kawan mengembalikan memoriku tentang hal yang mungkin persis sama dengan yang pernah aku alami. Aku juga merasa tak percaya dengan apa yang baru kudengar di perpustakaan kampus tadi. Seorang gadis manis berkata persis yang diceritakan kawanku. Rasanya ingin kucubit pipinya yang montok, karena dia telah mengundang gemas. Kata yang tahu kenapa semua perempuan yang aku kenal mulai mengatakannya. Bahkan lelakipun ikut-ikutan yang membuat mereka kelihatan seperti waria baru jadi.
            Tak sabar dalam hatiku, aku ingin terus mendengar kalimat itu. Ingin sekali bertemu dengannya. Selalu dan selalu untuk mendengar ucapanya tersebut. Padahal semua orang mengucapkannya, tapi kata yang keluar dari mulutnya terasa lain. Kalimat dengan tiga kata itu seolah jimat pembuat rindu yang sangat ampuh. Mampu menggetarkan isi dadaku untuk selalu mengharapkan kalimat itu datang lagi setiap kali bertemu.
            Hampir setiap waktu kami sering berhadapan di kampus. Baik di lorong maupun di perpustakaan. Kalimat yang tiap hari aku dambakan tersebut tak pernah terlempar keluar dari mulutnya. Ia seolah diam tak bicara. Rasanya suara manusia di dunia ini terlampau mahal. Hanya sedikit senyum yang dipaksakan biar kelihatan ramah. Aku membalasnya dengan senyum yang begitu mereka, biar dia sadar bahwa bukan senyum itu yang aku inginkan. Tak perlu bibir tipis itu tersenyum, hanya mulut yang harus berujar kalimat itu.
            Aku tak tahu harus bagaimana agar kata-kata itu kembali terujar setiap kali kami bertemu. Caraku seakan habis dipakai teman-teman yang selalu bertanya ketika hendak mendekati seorang gadis.seolah aku yang paling berpengalaman di sini padahal sejujurnya aku tak pernah memiliki hati seseorang seutuhnya. Mungkin sekedar pemuja rahasia, memuji sebagai canda dan juga mengagumi dari tempat yang jauh. Samar-samar. Bahkan seorang pernah berkomentar cinta samar-samar. Lucu memang, tapi aku seolah paling makan garam di hadapan teman-teman yang tidak tahu sama sekali tentang suasana hatiku. Ganteng-ganteng kog, jomblo, Batman menyindirku suatu hari ketika aku mengatainya jelek dan aku yang paling ganteng.
            Aku mungkin telah kehilangan cara untuk membuat mulutnya menutur kalimat tersebut. Ya sudalah, aku meminjam judul lagunya Bondan and feat2black. Tapi kalimat itu hanya buat jiwa raga yang sudah kalah. Buat mereka seperti pecundang menyerah kalah, 8ball  menimpaliku di lain kesempatan. Aku jadi serba salah. Tak ada lagi yang harus dibahas jika engkau harus menyerah, karena hati bukan bunga, ia tidak pernah layu maupun mati, tapi bertambah bijak, seorang teman mengirimi aku sms demikian.
            Pagi tadi aku sempat melihatnya dari kejauhan. Tak ada tatapan mata yang saling beradu. Tidak jua bertukar senyuman. Hanya memandang dari kejauhan dan membiarkan semuanya berjalan dari kejauhan sehingga benar-benar jauh. Aku menerawang dan merana sedang kamu menderaku dengan rasa. Mungkin aku harus jujur pada pemilik hati itu. Buat dia tersenyum, dan berkata kalimat itu “ Oh.. Tidak Bisa” OTB.

Saat mulut dari bibir mungil mengatakannya…
Cozt, Midnight 5 April 11

PELANGI

Desember 27, 2011 0 Comments A+ a-


Aku membolak-balikan buku tentang fenomena alam di perpustakaan. Akhirnya aku menemukan sebuah sumber yang ingin sekali untuk kuketahui. Kumeraih laptop lalu menulisnya. Pelangi terbentuk karena pembiasan sinar matahari oleh tetesan air yang ada di atmosfir. Ketika sinar matahari melalui tetesan air, cahaya tersebut dibengkokkan sedemikian rupa sehingga membuat warna-warna yang ada pada cahaya tersebut terpisah. Tiap warna dibelokkan pada sudut yang berbeda, dan warna merah adalah warna yang paling terakhir dibengkokkan, sedangkan ungu adalah yang paling pertama. Fenomena ini yang kita lihat sebagai pelangi.
Sebuah prosa berpendapat lain, bidadari merenda pelangi, atas langit sedikit mendung. Mungkin kamu tidak akan pernah tahu, bahwa saat matahari dengan cahayanya yang muram, saat rinai-rinai hujan menetes di wajah bumi. Saat itu bidadari sedang merenda pelangi. Memilinnya dengan benang-benang warna-warni air mata mereka. tak seorang pun tahu itu, di saat kelopak mata bidadari mulai merekah, mengalirkan tetes warna-warni di pipi mungil mereka. Saat itu mereka menampungnya di dalam kendi sesuai dengan warna air mata mereka. saat purnama tiba air mata itu membeku. Menjadi buntalan. Buntalan air mata itu kemudian direnda menjadi kain. Saat alam mulai redup dengan mentari dan rintik hujan, mereka turun ke lapisan langit pertama yang paling dekat dengan bumi lalu membentang kain itu. Pelangi terbentuk.
Setiap orang pasti punya persepsi yang berbeda mengenai keindahan alam yang satu ini. Akupun demikian. Hal iseng yang tak terduga akhirnya menjadi semacam trade mark bagiku. Semua teman-teman maupun adik semester selalu tersenyum ketika berpapasan denganku. Tidak lupa “pelangi di matamu” terlontar dari mulut mereka. Aku cuma tersenyum meladeni mereka.
Sore yang bergerimis. Truck meraung melintasi Kota Atambua. Terpal yang menaungi dibiarkan terbuka. Seorang teman mabuk, cuma terpaku di sudut kanan belakang tanpa tahu harus berbuat apa. Ety, cewek hitam manis dari Ende, menawarkan botol minyak angin aroma terapi yang sering dibawanya ke mana-mana. Dihirupnya botol tersebut lalu kembali mengintip keluar dari celah truck.
Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Beberapa teman laki-laki mencoba menjajaki truck dengan duduk di ujung atas truck. Uchy, cewek semampai peranakan Ende Bajawa, meminta turut. Aku terpaksa harus berbagi tempat yang cukup sempit dengannya. Sorakan teman-teman dari truck yang lainnya membuat mukaku sedikit memerah. Mereka mencoba memanasi pacarnya yang ada di atas truck bersama mereka. Aku gugup dan menyuruhnya untuk turun.
Perjalanan yang kurasa cukup jauh. Sesekali teriakan dari teman-teman cewek karena truck seakan mau terbalik ketika melintasi jalan yang menanjak dan berlubang. Sinyo mencoba berulah dengan menarik dedaunan. Semua berteriak marah karena wajah mereka diperceki oleh air hujan yang tersisa dari dedaunan. Wajah-wajah manis yang penuh senyum berubah cemberut dan jelek. “ka sinyo…kayak ana kecil sa…” entah siapa yang berteriak.
Aku seolah dirasuki oleh perbuatan bodoh dan kekanak-kanakan juga turut berandil bersama Sinyo. Tanggapan tak sedap keluar dari berbagai mulut. Mukaku sedikit memerah dengan ucapan mereka, tapi aku berusaha untuk tidak merasa dengan masa bodoh. Seorang teman yang duduk di sebelah kananku hampir terjungkal ketika harus berpapasan dengan dahan dan ranting pepohonan yang menjorok ke atas badan jalan.
Sinyo kembali berulah. Kali ini aku yang menjadi sasaran empuknya. “Rice..ka djho ne…” katanya memerahkan muka maluku. Rice cewek semester dua itu juga tersipu dengan ocehannya. “ka sinyo..kuat baganggu mati ew…talalu lebe-lebe aw…” katanya sambil menutup wajah manisnya dengan kedua telapak tangannya. Dalam hati aku cuma bisa berharap agar truck  ini bisa cepat sampai di tujuan, supaya sinyo bisa berhenti berceloteh.
Aku berusaha menarik perhatian semua orang yang berada di dalam truck,  sehingga tidak terfokus pada apa yang sinyo katakan. “ada pelangi…” kataku berbohong pada semua orang yang mendengarkannya di mendung sore. “di mana???” seorang cewek tiba-tiba bertanya dengan nada sedikit manja. Entah kenapa tiba-tiba ada semacam bola lampu yang menyala di atas kepala, seperti pada setiap film kartun ketika seseorang menemukan ide. “di matamu!!!” kataku disambut gelak tawa semua penumpang mengganggu ketenangan sore yang bersemedi, melakukan ritual untuk mengundang sang Dewi malam.
“ka djho lucu ew..” katanya bermerah muka. Aku juga ikut tertawa bersama ngakak, yang belum hilang dari beberapa teman. Riven cowok hitam manis kelahiran Kupang asal solor yang tinggal di manggarai berbisik “lu salah ngero… coba kalo lu panggil namanya Rice baru bilang ada pelangi.. itu kalo dia tidak merasa su terlalu” aku cuma tersenyum sambil menganggukan kepala (padahal dalam hatiku ada kata “KET”)
Truck terus merangkak, naik dan turun menuju Lahurus yang damai. Tidak ada ejekan terhadap Atambua lagi. Mungkin semua telah malas dengan ejekan. Atau karena damainya Lahurus telah menghipnotis semua pemikiran dan rasa negatif dari Putra Putri Aqunas.
Ndoe sebagian ceritanya jao su lupa ngero, kalo begitu bae su..
Jao tulis puisi dengan judul PELANGI sa…
PELANGI

Terlukis indah padah merahnya senja
Bukan karena kesombongan hadirmu
Hanya indah yang menawan parasmu
Mengapa engkau, bagaimana aku??

Katanya kamu jelmaan tujuh bidadari
Yang rela meninggalkan raga demi rakyat jelata
Terbakar pada amarah api senja menyala
Bergumul bersama asap pekat
Terurai antara nisbinya gerimis petang
Terukir indah tiada duanya

Aku bukan diktator penentu rasa
Fasisme tak bergeming padamu
Korupsi, kolusi dan nepotisme
Malu, tahu diri menjebakmu

Terakhir ini tidak indah
Aku lelaki kau pelangi
Memenjarakan jiwa merana
Aku tak mau mengumbar rasa
Entah pada siapa
Hanya pada katup senja yang berang
Bersama deringan bom bunuh diri
Pada laptopku yang kehabisan energi.

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...