BIAS KEINDAHAN
Sore yang menguning syahdu di ufuk barat. Panggilan alam memaksaku untuk bergegas ke kamar kecil. Ditemani Aponk yang dengan gaya rambut panjang dan badannya yang ‘panjang’ (hahaa…juzt kidding brur..^-^) Kami berusaha mencari kamar kecil di belakang pastoran. Aponk sedikit merinding melihat kuburan. Ia mulai memberi jempol padaku tentang kata-kataku tadi sore dalam truck. Ajari aku bagaimana cara mebuat hati perempuan berbunga-bunga, aponk dengan logat Lomboknya yang kental.
Malam yang perlahan memekat. Dingin berusaha menusuk masuk pori-pori kulitku. Bersama teman-teman kami menuju pastoran untuk mengisi daya baterei handphone. Aku kembali teringat akan janji denga seorang cewek manis berkulit putih sore tadi. Kubergegas menuju gereja untuk mengikuti latihan koor. Selesai latihan koor, aku kembali ke pastoran. Aku pusing. Hp yang kucas tadi tidak berada lagi di tempatnya. Lima belas menit kemudian aku mendapatkannya kembali setelah diberitahu oleh Romo.
Malam terus bergulir makin larut. Kepakan sayap sang malam seakan menutup lebih rapat lagi, bagaikan selimut hitam yang menyekap rapat para penghuni bumi. Aku berusaha membual dengan cerita lucu tak bermaknaku pada teman-teman. Sambil menunggu berbutir nasi pengganjal perut untuk tidur malam. Malam yang bersemedi ditengah bualan dingin. Memaksa tubuh sedikit menggigil. Aku berusaha untuk tak berpatung sepi. Menunggu mentari yang tak pernah berbohong untuk hadir kembali esok pagi.
Tidur malam dengan kepala tak beralas bantal. Merujuk akan mimpi berharap yang indah akan hadir. Menguap Aponk di sebelahku lalu terlelap setelah menertawai teman sebelahnya yang mengambil tanpa izin bantal dari Narto. Luapan gembira masih tersisa dari pelupah rasaku akan kehadiranku di tanah yang belum pernah aku datangi sebelumnya.
Lelah yang mendera menghantarku pada tidur di malam yang kian larut. Satu persatu desahan napas teman-teman membangunkan kudukku. Ada bebrapa dengkuran bersatu padu bagaikan paduan suara yang telah lama kehilangan sosok pelatihnya. Sumbang dan fals mulai menyatu, mengantarku ke arena mimpi bagaikan musik klasik yang meninabobokanku dalam tidur.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Bingung tengah menghipnotis jiwaku. Ingin kuberteriak pada ketidakpastian ini. Tanpa sadar, seorang teman menendang pantatku. “ bangun su ngero, dong mau doa pagi tu” aku kaget. Terbangun sambil mengusap kedua mataku. Ngantuk yang masih tersisa memaksaku untuk menguap. Rupanya mimpi. Aku bermimpi bagaikan nyata yang menceritakan. Berharap nyata tak meminjam mimpi tadi untuk untuk dipakainya dengan baju kebesarannya.
Doa pagi itu tak kuikuti dengan benar. Aku kembali tersandar pada dinding tembok lalu kembali bersemedi memanggil pelukis pelangi untuk melukis mimpi indah yang menceritakan tentang aku dengan tujuh gadis keindahan yang bermigrasi dari dunia antaberantah. Aku membayangkan bagaikan Jaka Tarub yang dengan perkasanya, tapi pengecut dengan keindahan yang ada. Memang diriku begitu. Tak berani menularkan kalimat-kalimat usang dari buku-buku lusuh tulisan Chairil Anwar kepada pemilik keindahan yang hanya bisa kumaknai secara ilusi dalam fatamorgana kehidupanku yang amburadul.
Kembali mengawang ketika pertama kali mataku melukis wajahnya. Seolah mulut menganga panah melihat ayu keindahan yang terpatri bagaikan Juliet di hatinya Romeo. Aku membayangkan andaikan aku Lupus pasti Poppiku itu telah kuberteriak namanya lewat microphone di stasiun kereta api, lalu berkata : aku cinta kamu” yang membuat dia kembali ke hadapanku dan seorang nenek tua yang sedang menunggu kereta terharu sambil menitikan air mata.
Sementara imajinasiku berkembang, sekali lagi hadiah tendangan mendarat pada bokongku. “bangun ngero, lu ni.. parah mati ew.. orang doa lu urus tidor sa” aku tergagap dengan ulah dan kata temanku itu. Tersadar penuh lalu bergegas keluar dari Aula Arnoldus menuju dapur hendak menyeruput air dalam dinginnya Lahurus. Aku bergegas ke gereja untuk misa pagi. Dengan sendiri di antara banyak orang. Menyedihkan.
Hari ini kami akan kembali ke Kupang. Menuju ke kediaman masing-masing. Aku tak tak tahu lagi sudah berapa tikus yang bunting, melahirkan dan beranak di rumah kamarku. Ya, sudah tiga minggu ini aku belum pernah tidur di sana. Rasanya tak sabar lagi menunggu mobil yang akan membawa kami ke Kota Kecil Atambua.
Sial, hujan ini. Fenomena alam yang menyeruak tanpa izin. Membendung rasa yang tertinggal. Aku terpaku. Sunyi dalam bisu sendiri, antara hilir mudik dan cuap-cuap berbagai mulut. Beberapa orang berusaha mengangkut tas dan segala macam tetek bengek lainnya ke atas truck, seolah berlomba dengan hujan yang tak memberi isyarat untuk berhenti. Akhirnya kami berpisah juga. Aku memojok sambil memangku sebaskom mie di sudut bemo. Selamat tinggal Lahurus. Akan alam dan hidupmu yang telah melukis aku sebuah cerita. Cerita yang mungkin hanya sebatas lawakan bagi orang yang mendengarnya. Guyonan tak bermakna. Palsu.
Baru beberapa meter roda bemo berputar, mengelinding antara aspal yang tak jelas antara tanah dan bebatuan. Hentakan rem dari bemo membuatku sedikit terjungkal ke depan. Semua berteriak. Hiruk-pikuk dengan kapanikan. Ada yang tak sadarkan diri. Kerasukan?. Aku Cuma terpaku dengan nanar dan sebaskom mie di pangkuan. Pelangi tak indah lagi. Mata yang kataku menyiratkan keindahan pelangi telah redup tak bercahaya. Bagaikan menyalakan pelita di tengah terjangan prahara. Pelangi terlukis buram. Aku menamakannya, bias keindahan. Keindahan yang tak ada. Telah pergi bersama pemilik keindahan itu sendiri. Pemilik mutlak keindahan yang datang mengindahkan dunia tapi dunia menyangkal keindahannya.
Indah yang sangat indah tidak pernah indah lagi, sebab adanya indah tak bisa memperindah lagi. Lantaran keindahan yang mutlak tak mau keindahannya hanya sebuah cerita dongeng dari nenek kepada cucunya. Tentang keindahan yang ada tetapi, dunia telah membuat indahnya indah menjadi tak indah dengan berbagai keindahan jelmaan yang sebenarnya tak indah, namun dikatakan indah oleh pemuja keindahan yang tak tahu bahwa sebenarnya dirinya tak indah. Indah telah menjadi fatamorgana.
April Mop, 2011