HIDUP ADALAH LOMPATAN DAN LOMPATAN
resensi Film Perahu Kertas
Judul film : Perahu Kertas
Penulis : Dewi
‘Dee’ Lestari
Sutradara :
Hanung Bramantyo
Produser : Chand Parwez Servia, Putut
Widjarnako
Produksi : PT. Kharisma Starvision Plus, Bentang Picture, Dapur Film
Para pemain: Kugi Alisa (Maudy Ayunda), Keenan (Adipati
Dolken), Noni Anggreni (Sylvia
Fully R.), Eko Abdullah (Fauzan Smith).
Durasi: 107 menit
Prolog
……….
Gelap
perlahan terang. Di sebuah pantai. Ombak berdebur seenaknya. Membiarkan
buih-buihnya yang putih membasahi pasir pantai. Kemudian Nampak keindahan laut.
Dasar laut yang ditumbuhi terumbu karang. Ikan warna-warni berenang. Setelahnya
gambar sebuah tangan. Cincin perak tersemat di jari manis tangan itu. Nampaklah
wajah seorang gadis. Ia berada dalam sebuah perahu yang teombang-ambing di
tengah lautan biru. Terdengar monolog.
Hai Neptunus. Apa kabar di laut biru. Perahu
kertas yang kali ini akan membawa kisah tentang perjalanan hatiku. Seperti
layaknya sebuah hati yang selalu mengharap bahagia. Hatiku pun seperti itu. Dan
hari ini, hatiku siap berlabuh ke luar Jakarta. Kotaku. Sebentar lagi
aku jadi anak kuliahan, Nus. Aku lagi sibuk pindahan. Nanti aku akan di antar Ojos
pacarku.
Ini sahabatku Noni. Dia yang ngatur semuanya buat aku. Mulai
dari paket kiriman barang-barangku dari Jakarta, kamar kos, seprei, tempat
tidur, pokoknya semuanya beres deh sama Noni. Merubah tanah jadi danau, dia
juga bisa kayaknya. Jadinya perahu kertas kita aman, Nus.
……….
Synopsis
Pada sebuah stasiun kereta api di
Bandung, Noni (Sylvia Fully R.) sedikit cemberut pada pacarnya, Eko (Fauzan
Smith). Mereka ke stasiun ini untuk menjemput sepupu Eko, Keenan (Adipati
Dolken), dari luar negeri. Namun celakanya, Eko sendiri tidak ingat wajah
Keenan karena terakhir kali bertemu saat mereka berusia 9 tahun. Bagaimana bisa
menemukan orang yang wajahnya seperti apa saja tidak tahu? Lebih celaka lagi, Eko
bahkan tidak tahu nomor ponselnya.
Sementara, di belakang mereka, Kugy
(Maudy Ayunda) sebentar-sebentar menguap. Dia masih berusaha mengumpulkan nyawa
karena tadi selagi tidur, ditarik saja oleh Noni tanpa sempat mandi dan ganti
baju. Sedang, Noni masih cemberut ke Eko yang terdiam pasrah. Tanpa aba-aba,
Kugy berjalan maju, menyeruak di antara dua bahu kawannya itu, matanya
terpejam, dia memasang “radar” berupa telunjuk di dua sisi keningnya.
Kugy berjalan terus diiringi
pandangan aneh orang-orang di sekeliling. Kakinya kemudian mendadak berhenti
melangkah ketika bertumbukan dengan sesosok cowok. Dia membuka mata dan
menurunkan antena. Inilah Keenan (Adipati Dolken) yang dicari- cari. Radarnya
berhasil.
Keenan yang anak pengusaha di Jakarta
itu akan kuliah di Bandung. Ayahnya yang memerintahkannya mengambil fakultas
ekonomi, meski ketertarikan Keenan di bidang seni. Kugy sendiri adalah
mahasiswa fakultas sastra. Dia indekos di Bandung bersama Noni. Keduanya juga
berasal dari Jakarta. Kugy yang bercita-cita jadi penulis dongeng ini punya
kebiasaan menuliskan jurnal di secarik kertas yang kemudian dia lipat membentuk
perahu. Perahu kertas itu lantas dia larungkan di sungai.
Kugy, Keenan, Noni, dan Eko kemudian
bersahabat dan memberi nama geng mereka Pura-pura Ninja. Kugy dan Keenan
sebenarnya diam-diam saling jatuh cinta, berangkat dari kekaguman Kugy pada
bakat lukis Keenan dan kekaguman Keenan pada kemampuan Kugy mendongeng yang
sampai menghasilkan piagam. Masalahnya, Kugy sudah punya pacar di Jakarta, Ojos
(Dion Wiyoko). Noni menjodohkan Keenan dengan sepupunya, Wanda (Kimberly
Ryder), seorang kurator galeri.
Persahabatan empat sekawan itu mulai
merenggang. Kugy lantas menenggelamkan dirinya dalam kesibukan baru, yakni
menjadi guru relawan di sekolah darurat bernama Sakola Alit. Di sanalah ia
bertemu dengan Pilik, muridnya yang paling nakal. Pilik dan kawan-kawan
berhasil ia taklukkan dengan cara menuliskan dongeng tentang kisah petualangan
mereka sendiri, yang diberinya judul: Jenderal Pilik dan Pasukan Alit. Kugy
menulis kisah tentang murid-muridnya itu hampir setiap hari dalam sebuah buku
tulis, yang kelak ia berikan pada Keenan.
Kedekatan Keenan dengan Wanda yang
awalnya mulus pun mulai berubah. Keenan disadarkan dengan cara yang mengejutkan
bahwa impian yang selama ini ia bangun harus kandas dalam semalam. Dengan hati
hancur, Keenan meninggalkan kehidupannya di Bandung, dan juga keluarganya di
Jakarta. Ia lalu pergi ke Ubud, tinggal di rumah sahabat ibunya, Pak Wayan.
Masa-masa bersama keluarga Pak
Wayan, yang semuanya merupakan seniman-seniman sohor di Bali, mulai mengobati
luka hati Keenan pelan-pelan. Sosok yang paling berpengaruh dalam
penyembuhannya adalah Luhde Laksmi (Elyzia Mulachela),
keponakan Pak Wayan. Keenan mulai bisa melukis lagi. Berbekalkan kisah-kisah
Jenderal Pilik dan Pasukan Alit yang diberikan Kugy padanya, Keenan menciptakan
lukisan serial yang menjadi terkenal dan diburu para kolektor.
Kugy, yang juga sangat kehilangan
sahabat-sahabatnya dan mulai kesepian di Bandung, menata ulang hidupnya. Ia
lulus kuliah secepat mungkin dan langsung bekerja di sebuah biro iklan di
Jakarta sebagai copywriter. Di sana, ia bertemu dengan Remigius, atasannya
sekaligus sahabat abangnya. Kugy meniti karier dengan cara tak terduga-duga.
Pemikirannya yang ajaib dan serba spontan membuat ia melejit menjadi orang yang
diperhitungkan di kantor itu.
Namun Remi melihat sesuatu yang
lain. Ia menyukai Kugy bukan hanya karena ide-idenya, tapi juga semangat dan
kualitas unik yang senantiasa terpancar dari Kugy. Dan akhirnya Remi harus
mengakui bahwa ia mulai jatuh hati. Sebaliknya, ketulusan Remi juga akhirnya meluluhkan
hati Kugy.
Sayangnya, Keenan tidak bisa
selamanya tinggal di Bali. Karena kondisi kesehatan ayahnya yang memburuk,
Keenan terpaksa kembali ke Jakarta, menjalankan perusahaan keluarganya karena
tidak punya pilihan lain.
Pertemuan antara Kugy dan Keenan tidak terelakkan. Bahkan
empat sekawan ini bertemu lagi. Semuanya dengan kondisi yang sudah berbeda. Dan
kembali, hati mereka diuji. Kisah cinta dan persahabatan selama lima tahun ini
pun berakhir dengan kejutan bagi semuanya. Akhirnya setiap hati hanya bisa
kembali pasrah dalam aliran cinta yang mengalir entah ke mana. Seperti perahu
kertas yang dihanyutkan di parit, di empang, di kali, di sungai, tapi selalu
bermuara di tempat yang sama. Meski kadang pahit, sakit, dan meragu, tapi hati
sesungguhnya selalu tahu.
Idealis dan Realis
Terkadang dalam kehidupan kita sudah
mematok sejauh mana perahu hidup kita dikayuh. Kapan layarnya dikembangkan. Dan
kapan pula kita harus istirahat mengayuh, atau menurunkan layarnya. Kesemuanya
tentu berlaku idealis. Sebagai mana mestinya.
Tapi kenyataan hidup sebenarnya tidak
mudah. Kadang tak seperti apa yang diharapkan atau diprediksikan. Seperti
penggalan dialog yang disampaikan Kugy kepada Keenan, “aku ngga tau ya,
selama ini kamu tinggal di gua mana? Tapi cita-cita jadi penulis itu ngga
realistis. Sedikit banget yang bisa survive Cuma nulis doang. Akhirnya cuma jadi
sampingan deh”.
Kenyataan hidup tersebut memberikan
kita pemahaman bahwa hidup ini berhadapan dengan dua pilihan sulit. Idealisme
tidak selalu memberikan kita pengharapan penuh. Karena realitas sesungguhnya
sedikit sekali dipengaruhi idealisme. Apalagi idealisme yang berhubungan dengan
seni, seperti sastra (menulis dongeng) ataupun melukis. Penghargaan masyarakat
terhadap karya para seniman sungguh sangat sedikit. Orang terkadang
menyepelehkannya. Padahal seni pada dasarnya lahir darai hati dan juga
berpengaruh pada perasaan yang berujung pada perubahan pola pikir ke arah yang
lebih baik. Hal ini berakhir terhadap penurunan semangat pelaku seni tersebut.
Dengan demikian idealismenya luntur.
Hidup dan Cinta seperti Lompatan
Sejatinya,
hidup adalah perputaran roda. Melompat antara kesempatan yang satu dengan
kesempatan yang lain. Mengisi kekosongan yang satu dengan kekosongan yang lain.
Demikian juga dengan cinta. Singgah ke satu hati, kemudian bertahan sebentar
dan pada akhirnya kembali ke lain hati. Cinta seolah moment yang tak pernah
bosan diceritakan. Cinta masih perlu dan selalu dibicarakan. Baik dari
anak-anak, remaja dan dewasa. Cinta menjadi satu bahan sebagai wacana untuk
terus dibicarakan semua zaman. Tanpa harus mengenal ‘basi’.
Cinta
antara Kugi dan pacarnya Josua (Ojos) menjadi tidak berarti lantaran perbedaan
komitmen. Komitmen menjadi sebuah harga mati untuk seorang individu menancapkan
kuku pendirian yang paling tajam pada dunia yang lumayan kejam. Kugi lebih
memilih mengikuti kegiatan, dan berharap Sakola
Alit yang diemban bersama temannya bisa dikenal dan mendapat kemurahan hati
pemerintah. Sedangkan Josua, memilih ke Bali. Bahkan dengan tegas ia mengancam Kugi
untuk putus apabila tidak ikut bersamanya ke Bali. Di sini sebuah pilihan
ditentukan. Yang paling utama adalah mendengar kata hati untuk mengikuti
pendirian apa yang harus dilaksanakan.
Dalam
keseharian, kita juga berhadapan dengan berbagai pilihan yang akhirnya
menentukan ke mana tujuan membawa kita. ‘jalan terangnya’ ialah menentukan masa
depan kita. Entah sadar atau tidak, kita selalu menuju pada pilihan. Dan setiap
pilihan ada risikonya. Baik buruk. Positif negatif. Menguntungkan atau
merugikan. Semuanya kembali ke pribadi masing-masing yang menetukan dan tak
terlepas dari itu semua akan dinilai oleh orang ketiga. Walau sebenarnya kita
tak meminta atau berharap.
Demikian
juga pilihan yang dijatuhkan oleh Keenan. Tanpa berpikir panjang, Keenan memilih
untuk meninggalkan Wanda yang setengah mati jatuh hati
padanya. Padahal gadis itu sudah
berusaha jauh untuk memenangkan hati Keenan. Keenan yang pendiam ternyata
mempunyai sebuah pendirian yang tak gampang digoda oleh apapun.
Hidup sulit untuk dipatok. Seperti
perahu yang berada di lautan luas, sulit untuk mempredikdi, kapan menurunkan
atau menaikan layar dan kapan pelaut akan beristirahat. Hidup adalah perjalan
yang harus kita selesaikan sebelum matahari benar-benar gelap dari hadapan
kita. Lebih lanjut lagi hidup adalah pilihan. So, bijaklah dalam hidup dan memilih jalan hidup.