Malam Itu

September 09, 2025 0 Comments A+ a-

 

Ilustrasi gambar dari: https://www.istockphoto.com/id/

Sore tadi tubuh saya benar-benar remuk. Bukan hanya karena kuliah yang menuntut konsentrasi penuh, tetapi juga karena obrolan panjang dengan Mbak Syifa di kelas lantai lima setelah kuliah usai. Kami bercakap sampai senja menetes pelan di balik gedung fakultas. Setelah itu saya pulang dengan langkah berat, kantuk seperti menumpuk di pelupuk.

Setiba di kos, saya hanya sempat meletakkan tas, membuka sepatu, menyalakan AC lalu menjatuhkan badan ke kasur. Begitu kepala menempel di bantal, dunia terasa menjauh. Saya terlelap, begitu lelap hingga rasanya jiwa ini ditarik turun ke dasar lautan.

Lalu sesuatu membangunkan saya dari tidur.

Kring… kring… kring…

Suara telepon berdering.

Saya menggeliat, meraba ponsel di sisi bantal. Aneh. Layar kosong, tidak ada panggilan tak terjawab. Tidak ada riwayat panggilan. Padahal jelas sekali bunyinya. Saya menarik napas, mencoba menenangkan diri. Mungkin hanya mimpi.

Saya kembali membenamkan wajah di bantal. Kantuk datang lagi, menutup mata perlahan.

Namun tak lama, kring… kring… kring… ponsel itu berdering lagi.

Saya terlonjak, jantung berdegup kencang. Kali ini lebih keras, lebih nyata. Saya meraih layar, tetap sama: kosong, tidak ada panggilan masuk. Hanya bayangan wajah pucat saya sendiri yang memantul di permukaan layar ponsel.

Saya melirik jam digital di layar. Jarum waktu menunjuk 11 malam. Perut terasa kosong, ternyata saya belum makan malam. Ke warung pun rasanya malas. Lagi pula, warung terdekat sudah tutup jam 10 malam. Saya hanya menenggak air dari botol, lalu merebahkan tubuh kembali.

Gelap menyelimuti. Kantuk datang lebih pekat.

Namun belum lama mata terpejam,

"tok, tok, tok"

Suara keras menghantam pintu kamar.

Saya sadar sempurna. Merinding. Ingatan saya melayang ke cerita mas penjaga pos di depan kompleks malam minggu kemarin. Katanya, ia pernah melihat sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri. Sebuah kepala tanpa badan terguling sendiri di jalan, menggelinding di tengah malam. Gelindingan kepala itu, katanya, selalu menuju ke arah kos kami bagian belakang, tempat kamar saya berada.

Saya menelan ludah. Dada sesak, telinga terasa panas.

Saya duduk di tepi kasur, menajamkan telinga. Suara burung malam melengking panjang, terdengar begitu dekat di atap. Dari lantai bawah, kucing kampung meraung keras, bersahutan, seakan melihat sesuatu yang tidak bisa saya lihat.

Hikhihihikkkkkkkk …

Tiba-tiba terdengar suara cekikikan nenek-nenek. Pelan, namun jelas.

Saya meringkuk, mencoba menyelipkan tubuh di pojok kamar, terjepit antara tembok dan lemari. Saya ingin menghilang, sekecil mungkin, seolah dinding bisa menelan saya bulat-bulat. Ponsel segera saya matikan, takut bunyinya justru memancing perhatian makhluk yang berkeliaran malam itu.

Lalu,

byurr… byurr… byurr…

Dari kamar mandi terdengar suara air. Sepertinya ada yang mandi.

Saya terpaku. Bagaimana bisa? Sejak sore tadi saya tidak membuka keran. Kos ini pun sepi, sebagian penghuni tak tampak batang hidungnya ketika saya pulang tadi. Seharusnya hanya saya seorang di lantai atas.

Air terus mengalir, bercampur suara cipratan, seolah seseorang tengah menyiram tubuhnya. Jantung saya berdentam tak karuan.

Kemudian, dari dalam kamar mandi, terdengar suara perempuan. Lembut, tapi dingin menusuk.
“Mas Djho… tolong ambilkan handuk…”

Saya membeku. Suara itu memanggil nama saya. Dua kali. Nada suaranya mendayu, seakan datang dari seseorang yang sangat mengenal saya. Tapi siapa?

Saya ingin menjawab, tapi mulut terkunci. Ingin lari keluar, tapi kaki seperti terpaku di lantai.

Air masih mengucur. Suara itu mengulang.

“Mas Djho… handuknya…”

Kali ini lebih dekat. Lebih jelas.

Saya menahan kencing. Tubuh gemetar hebat. Kedua tangan menggenggam erat, berdoa dalam diam. Bapa Kami, Salam Maria, dan Aku Percaya bercampur tak tahu lagi rumusannya yang benar.

Sekilas saya teringat Mbak Syifa. Suaranya yang lembut dengan medok sunda, hampir mirip dengan suara yang sekarang memanggil. Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin ia berada di kamar mandi kos saya.

Keringat dingin menetes di pelipis.

Suara itu berhenti. Tinggal sisa tetesan air, tik… tik… tik… jatuh ke lantai kamar mandi.

Sunyi. Sunyi yang menekan.

Saya menutup telinga, tapi tetap mendengar suara lain: langkah kecil, menyeret pelan, mendekat dari arah kamar mandi ke pintu kamar.

Srek… srek… srek…

Seperti kain basah diseret.

Saya gemetar hebat. Tidak berani menoleh.

Pintu kamar mandi perlahan terdorong, berdecit pelan.

Krieeet…

Cahaya lampu dari dalam kamar mandi menembus tipis, keluar dari pintu yang tak ditutup rapat. Tapi yang membuat napas saya terhenti bukanlah cahaya itu, melainkan bayangan hitam panjang yang ikut masuk, menempel di lantai tanpa wujud tubuh.

Bayangan itu meluncur perlahan ke dalam kamar, berhenti tepat di depan lemari tempat saya meringkuk.

Saya memejamkan mata erat. Bibir bergetar, doa berdesakan di mulut.

Tiba-tiba, bisikan itu kembali. Dekat sekali di telinga.

“Mas Djho… handuknya…”

Saya terpaksa membuka mata. Dan hampir menjerit.

Di ujung kasur berdiri sosok perempuan berambut panjang, basah kuyup, tetes air jatuh dari helaian rambutnya. Wajahnya menunduk, rambut menutupi muka. Tangannya menggenggam sesuatu.

Bukan handuk. Melainkan kepala manusia.

Kepala itu menatap saya, mata melotot, lidah terjulur, darah menetes dari leher putusnya.

Saya nyaris pingsan. Tubuh seakan terlepas dari jiwa.

Sosok itu melangkah pelan, air menetes mengikuti jejaknya. Semakin dekat. Saya ingin berteriak, tapi suara tak keluar.

Akhirnya saya hanya bisa menutup mata lagi, menggigil, menahan tangis. Saya tidak tahu berapa lama waktu berjalan.

Saat membuka mata, ruangan sudah sunyi. Pintu kamar kembali tertutup rapat. Kamar mandi kering, seakan tak pernah ada yang mandi. Tidak ada sosok perempuan, tidak ada kepala terguling.

Hanya saya, terjebak di pojok, tubuh lemas, seperti selesai diperas habis-habisan.

Saya menghidupkan kembali ponsel saya. Jam ponsel menunjukkan pukul 3 dini hari.

Saya tidak berani tidur lagi.

Dari luar, cahaya mulai merambat lewat gorden yang tak ditutup rapat, tanda fajar akan datang. Saya menunggu cahaya matahari benar-benar terang masuk lewat jendela. Baru setelah itu, dengan langkah gemetar, saya berani keluar kamar.

Lorong kos tampak biasa saja. Namun jejak air masih tersisa di lantai, pintu kamar mandi tertutup rapat dan terkunci dari luar.

Saya tercekat. Tubuh mendadak ringan, seperti terangkat.

Saat mata saya terbuka lebar, cahaya pagi sudah memenuhi kamar. Ponsel di samping bantal menunjukkan pukul 07.15. Saya masih memakai baju yang sama, tas kuliah tergeletak di lantai.

Tidak ada jejak air. Tidak ada bekas pintu digedor. Tidak ada suara perempuan.

Semua hening.

Saya tersadar… Kejadian barusan ternyata hanyalah mimpi.

Waduh. Terlambat ke kampus. Saya bergegas ke kamar mandi.

Ah, lupa handuk.

Ketika itu juga suara perempuan memanggil dari luar.

“Mas Djho… handuknya…”

“Mas Djho… handuknya…”

“Kemarin lupa aku isikan bersama cucian lainnya yang sudah diantar” suara Ibu langganan laundry saya.

“Aku taruh di kursi depan kamarmu ya...”

Saya tersadar. Ternyata masih sore.

“Ah, hampir saja saya ke kampus lagi” gerutu saya keluar dari kamar mandi, lalu kembali tidur lagi.

Tulisan Terbaru

Mitos atau Fakta: Anak Tikus Menyembuhkan Asma dan Sesak Napas?

Anak tikus. Gambar diambil dari: https://www.merdeka.com/ Di beberapa daerah, terutama dalam praktik pengobatan tradisional, ada kepercaya...