Ende Kehilangan Identitas

Juni 04, 2016 0 Comments A+ a-



Judul ini saya beri, atas kegelisahan saya yang melihat bahwa ende dan masyarakatnya telah kehilangan identitasnya. Identitas melalui simbol-simbol, budaya, bahasa dan sosial lainnya mulai pudar (Untuk tidak dibilang punah). Hal ini dipengaruhi oleh berbagai aspek. Saya menulis ini murni dari sudut pandang saya pribadi, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya salah tafsir maupun kesalahpahaman, namun semuanya ini hanya sebagai bukti bahwa saya mencintai ende. Tempat tumpah darah saya dan tempat identitas saya sebagai orang ende tumbuh dan mengakar.
Sebagai anak ende dari pegunungan, saya melihat ende jauh lebih luas. Tentang budaya yang begitu kental, bahasa yang satu namun beraneka ragam dialek dan yang paling penting namun belum disadari betul ialah tentang adanya pengkotak-kotakkan. Beberapa wilayah bahkan kampung, mulai mengagungkan keunggulan mereka. Lihat saja dengan pelabelan ata ma’u (orang pantai) atau ata ndu’a (orang gunung) dan sebagainya.
Pelabelan itu bahkan membuat suatu wilayah bisa saja terjerumus dalam gengsi yang membuat adanya perubahan, sehingga nampaklah perubahan besar dimana kebudayaan dari luar mampu mempengaruhi tanpa difilter dengan baik. Semuanya itu yang menjadikan ende dan masyarakatnya kehilangan identitas asalinya.
Aksara Lota dan Sara Ende.
Sebagian besar dari kita saya akui memang tak mengenal aksara lota. Aksara yang dibawa dari Kerajaan Gowa pada abad ke enam belas dan mengalami perubahan bentuk di ende ini, menjadi barang asing di negeri sendiri. Tak ada yang mengenalnya secara utuh, bahkan mendengarnya pun tak pernah. Saya pernah bertanya pada beberapa anak muda ende dan tak seorang pun mengetahuinya. Pernah saya bertanya pada seorang dosen bahasa dan sastra yang mengajar di sebuah perguruan tinggi di ende, ia dengan senyum menggelengkan kepala.
Artinya kita benar-benar sulit mengenal kebudayaan sendiri. Sikap malas tahu dan menganggap budaya sendiri sebagai sebuah hal yang kolot dan tak mengikuti perkembangan zaman menjadi alasannya. Orang lebih melihat kebudayaan luar sebagai hal yang baik dan harus diminati. Kebudayaan luar menjadi kiblat sedangkan adat istiadat sendiri dianggap kuno dan barang antik.
Hal ini diperparah dengan sikap acuh tak acuh dari pemerintah dan berbagai stakeholder yang mengaku sebagai garda terdepan dalam mempromosikan dan mengembangkan kearifan lokal kita. Tak pernah ada mata pelajaran tentang aksara lota ini di pelajaran muatan lokal atau seni budaya. Kita bahkan harus menghafal berbagai kejadian masa lampu dari luar wilayah bahkan luar negeri tentang perang dunia dan sebagainya sedangkan sejarah dan budaya daerah kita sendiri dikesampingkan.
Selain tentang aksara lota ada juga sara ende atau bahasa ende. Indentitas bahasa ini mulai perlahan hilang digempur gengsi. Kuatnya pengaruh sosio politik bahasa indonesia yang mempengaruhi seluruh komponen pembicaraan kita sehingga bahasa ende hanya bisa ditemukan di kampung-kampung dan acara adat wilayah setempat.
Seorang teman bercerita tentang kejadian masa kecilnya. Ia berujar mengikuti anak tetangga tentang saya dalam bahasa ende (Ja’o), mulutnya bahkan dipukul oleh orang tuanya. Ini sebuah pertanda seolah bahasa daerah adalah hal yang haram bagi anak kecil. Mereka hanya boleh menggunakan bahasa indonesia yang dinilai memiliki nilai sosial lebih tinggi. Bahasa daerah atau sara ende dianggap lebih rendah tingkat sosialnya dibandingkan dengan bahasa indonesia.
Di sekolah-sekolah, beberapa murid yang berasal dari beberapa wilayah mencoba untuk menggunakan sara ende dalam percakapan kesehariannya di sekolah. Hal itu justru membawa kemalangan bagi mereka. Mereka dianggap kolot dan antisosial (mesakena). Tidak mengikuti gaya pergaulan maintream masa kini dan berbagai cercaan lainnya.
Kasus lain juga menimpa teman yang kedua orang tuanya berasal dari sebuah suku di ende yang memiliki bahasa ibu sara ende. Anak mereka bahkan tak diperkenalkan menggunakan sara ende dalam percakapan keseharian di rumah. Hal ini berimbas pada percakapan mereka di dunia kerja. Mereka lebih sulit memahami masyarakat yang menggunakan sara ende.
Nilai Sakral dalam Budaya
Selain membahas tentang bahasa dan huruf, saya mencoba melihat tentang menghilangnya nilai sakral dalam budaya setempat. Fenomena alam atau gejala alam memang secara ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh iklim dan aktifitas manusia, namun tak dipungkiri, sejak zaman dahulu nenek moyang kita memiliki ritual-ritual khusus yang sangat sakral sehingga mampu membuat sebuah keajaiban. Misalnya, tentang pawang hujan dan berbagai mantra lainnya.
Kemajuan teknologi dan moderenitas telah mengubah pola pikir dan sikap lugu masyarakat kita. Sebuah tatanan kehidupan di kampung yang telah diatur sedemikian rupa menjadi tidak dianggap hanya demi oto nuka nua (kendaraan masuk kampung). Tubu musu ora nata yang menjadi simbol keagungan dan sebagai simbol kekuatan (lokus of power) dianggap kuburan tua yang harus dipugar bahkan dipindahkan tanpa ritual yang sebanding. Titik penggerak itu tak berarti apa-apa. Padahal secara temurun kita mengetahui bahwa hal-hal ini yang mampu memberikan kekuatan mistis tersendiri.
Lihat saja, kampung menjadi kemarau panjang walau telah dilakukan ritual memanggil hujan oleh seluruh masyarakat kampung. Darah binatang dan mantra yang mampu menghadirkan daya magisnya telah hilang karena kita tak lagi secara utuh menghargai sebagai sebuah simbol kekuatan yang mempersatukan dan kekuatan yang mampu menggerakan dan menghadirkan.
Akhirnya, saya mengakui bahwa ende teah kehilangan identitas dari berbagai hal. Kedua hal di atas menjadi cintoh nyata yang saya angkat di sini. Masih banyak hal yang perlu diangkat untuk menghadirkan kembali kearifan lokal kita. Saya hanya berkomentar karena titik yang menggerakan ada pada pribadi kita masing-masing.
Salam sa ate, demi ende tana sare.

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...