Mengamati Malam Minggu
Jatuh dan Terselamatkan. Ilustrasi by Richie |
:Sebuah Kenangan Bersama Mathemesi
Mathemesi,
perempuan yang telah membuat saya menjadi lelaki paling kesepian di semesta
fana ini, pernah mengajak saya untuk sebuah ritual malam minggu yang tidak
biasa. “kita tak usah jadi pelaku, jadi pengamat saja, ya, kaka”
Saya menyanggupinya
dengan cinta yang bodoh, lantaran jatuh cinta yang salah sementara dia sediri
lebih mencintai orang lain yang salah pula. Mencinta orang yang tidak mencintai
kita, sebuah pengorbanan yang sia-sia, bukan.
Oke, dari pada
saya terus merengek tentang cinta kepada mathemesi yang mirip surat perjalanan
dinas fiktif dari kaum birokrat, lebih baik saya lanjutkan saja saja cerita
menjadi pengamat di malam minggu.
Saya menyanggupinya.
Kami bertemu di ruang virtual dan potongan-potongan adegan kami rekam kemudian
kami ceritakan kembali satu per satu. Adegan-adegan itu, saya namai mozaik,
karena diambil dari potongan-potongan yang tak utuh.
#Mozaik Satu
Cerita dari Mathemesi.
Seorang lelaki
duduk sendiri di taman kota. Sebotol air mineral di sampingnya. Sesekali ia
menengok jam tangannya, sesekali pula ia melihat ponselnya. Sepertinya ia
mengetik sesuatu. Gelisah benar. Sementara saya terus mengamatinya.
Kurang lebih
sepuluh meter, saya menyadari ternyata itu kamu. Kenapa kamu duduk sendirian
seperti orang gila? Saya bertanya. Namun engkau tak menjawab. Hanya ada
senyuman dan jabatan tangan erat yang hangat.
Saya sedang
menunggu puisi yang datang menghampiriku.
Mana puisinya?
Itu!
Mana?
Di depan saya.
Saya lalu
dengan manja mencubit lenganmu.
Kaka bisa aja.
Untuk kamu,
selalu ada yang bisa. Karena kamu lebih berbisa dari makhluk yang paling
berbisa. Bisa yang bisa membuatku jatuh untuk sebuah cinta.
Bai de wei,
kenalin patjar aku, kak. Oppa…. Sini.
#Mozaik Kedua
Saya yang bercerita.
Saya hendak
bercerita, namun otak saya tak mengingat persis cerita utuhnya. Saya hanya
duduk sesekali menegak air. Dan terus mengetik.
Malam minggu
penuh doa/ Orang datang dan pergi/ Katanya atas nama cinta/ Sementara di ujung
sana/ lelaki itu menampar perempuan di depannya/ sebuah helm mendarat di
pelipis/ samar terdengar/ babi, jangan bohong/ kau selingkuh dengan nyong
kuzazo to?/ selanjutnya tangis dari si perempuan/ ah, cinta, kenapa
kautancapkan duri paling tajam di hatiku.
Seseorang memanggil
nama saya.
Kaka di sini
juga?
Iya, lagi
tunggu teman untuk baca puisi.
Gila!
Saya memang
tergila-gila padamu sejauh ini.
Hmmm…
Kami terus
bercerita. Membagi kisah dan tak lupa bertukar senyum.
Bai de wei,
kenalin patjar aku, kaka. Oppa…. Sini.
Saya kaget
sekaligus kecewa. Mathemesi, perempuan yang saya puja dan puji sepenuh hati
telah memiliki pacar.
ah, cinta,
kenapa kautancapkan duri paling tajam di hatiku.
#Mozaik Ketiga
Kami duduk berdua, masih dalam dunia virtual.
Maaf, saya
sudah terlanjur mencintainya kaka. Saya anggap kaka sebagai kaka saya sendiri. Kaka
cari orang lain saja. Masih banyak perempuan di luar sana.
Ah, sudah. Jangan
bikin saya punya airmata jatuh.
Kaka lebay
sekali.
Sungguh.
Dogu e…
Jangan panggil
saya dogu kaka. Itu ada artinya buat saya.
Artinya apa?
Mau tau sa?
Kenapa kasitau
tentang DOGU tadi?
Supaya jangan
panggil saya begitu.
Oke. Saya tidak
panggil DOGU lagi.
Saya diam. ah,
cinta, kenapa kautancapkan duri paling tajam di hatiku.
5 komentar
Write komentarGak bisa kebaca om tulisannya.....:-)
ReplySudah diperbaiki, Bro.
ReplyTerima kasih sudah berkunjung.
Salam
itu tetap panggil dogu tuh. ah. lelaki.
ReplyLelaki yg tetap pada prinsipnya. Tetap mencinta walau tak dibalas. Hahahaa
ReplyThank You, Merlina
Reply