Ende Kehilangan Identitas
Judul ini saya beri, atas kegelisahan saya yang melihat bahwa
ende dan masyarakatnya telah kehilangan identitasnya. Identitas melalui
simbol-simbol, budaya, bahasa dan sosial lainnya mulai pudar (Untuk tidak
dibilang punah). Hal ini dipengaruhi oleh berbagai aspek. Saya menulis ini
murni dari sudut pandang saya pribadi, sehingga tidak menutup kemungkinan
adanya salah tafsir maupun kesalahpahaman, namun semuanya ini hanya sebagai
bukti bahwa saya mencintai ende. Tempat tumpah darah saya dan tempat identitas
saya sebagai orang ende tumbuh dan mengakar.
Sebagai anak ende dari pegunungan, saya melihat ende jauh
lebih luas. Tentang budaya yang begitu kental, bahasa yang satu namun beraneka
ragam dialek dan yang paling penting namun belum disadari betul ialah tentang
adanya pengkotak-kotakkan. Beberapa wilayah bahkan kampung, mulai mengagungkan
keunggulan mereka. Lihat saja dengan pelabelan ata ma’u (orang pantai) atau ata
ndu’a (orang gunung) dan sebagainya.
Pelabelan itu bahkan membuat suatu wilayah bisa saja
terjerumus dalam gengsi yang membuat adanya perubahan, sehingga nampaklah
perubahan besar dimana kebudayaan dari luar mampu mempengaruhi tanpa difilter
dengan baik. Semuanya itu yang menjadikan ende dan masyarakatnya kehilangan identitas
asalinya.
Aksara Lota dan Sara Ende.
Sebagian besar dari kita saya akui memang tak mengenal aksara
lota. Aksara yang dibawa dari Kerajaan Gowa pada abad ke enam belas dan
mengalami perubahan bentuk di ende ini, menjadi barang asing di negeri sendiri.
Tak ada yang mengenalnya secara utuh, bahkan mendengarnya pun tak pernah. Saya
pernah bertanya pada beberapa anak muda ende dan tak seorang pun mengetahuinya.
Pernah saya bertanya pada seorang dosen bahasa dan sastra yang mengajar di
sebuah perguruan tinggi di ende, ia dengan senyum menggelengkan kepala.
Artinya kita benar-benar sulit mengenal kebudayaan sendiri.
Sikap malas tahu dan menganggap budaya sendiri sebagai sebuah hal yang kolot
dan tak mengikuti perkembangan zaman menjadi alasannya. Orang lebih melihat
kebudayaan luar sebagai hal yang baik dan harus diminati. Kebudayaan luar
menjadi kiblat sedangkan adat istiadat sendiri dianggap kuno dan barang antik.
Hal ini diperparah dengan sikap acuh tak acuh dari pemerintah
dan berbagai stakeholder yang mengaku sebagai garda terdepan dalam
mempromosikan dan mengembangkan kearifan lokal kita. Tak pernah ada mata
pelajaran tentang aksara lota ini di pelajaran muatan lokal atau seni budaya.
Kita bahkan harus menghafal berbagai kejadian masa lampu dari luar wilayah
bahkan luar negeri tentang perang dunia dan sebagainya sedangkan sejarah dan budaya
daerah kita sendiri dikesampingkan.
Selain tentang aksara lota ada juga sara ende atau bahasa ende. Indentitas bahasa ini mulai perlahan
hilang digempur gengsi. Kuatnya pengaruh sosio politik bahasa indonesia yang
mempengaruhi seluruh komponen pembicaraan kita sehingga bahasa ende hanya bisa
ditemukan di kampung-kampung dan acara adat wilayah setempat.
Seorang teman bercerita tentang kejadian masa kecilnya. Ia
berujar mengikuti anak tetangga tentang saya dalam bahasa ende (Ja’o), mulutnya bahkan dipukul oleh
orang tuanya. Ini sebuah pertanda seolah bahasa daerah adalah hal yang haram bagi
anak kecil. Mereka hanya boleh menggunakan bahasa indonesia yang dinilai
memiliki nilai sosial lebih tinggi. Bahasa daerah atau sara ende dianggap lebih rendah tingkat sosialnya dibandingkan
dengan bahasa indonesia.
Di sekolah-sekolah, beberapa murid yang berasal dari beberapa
wilayah mencoba untuk menggunakan sara ende dalam percakapan kesehariannya di
sekolah. Hal itu justru membawa kemalangan bagi mereka. Mereka dianggap kolot
dan antisosial (mesakena). Tidak
mengikuti gaya pergaulan maintream masa kini dan berbagai cercaan lainnya.
Kasus lain juga menimpa teman yang kedua orang tuanya berasal
dari sebuah suku di ende yang memiliki bahasa ibu sara ende. Anak mereka bahkan tak diperkenalkan menggunakan sara ende dalam percakapan keseharian di
rumah. Hal ini berimbas pada percakapan mereka di dunia kerja. Mereka lebih
sulit memahami masyarakat yang menggunakan sara
ende.
Nilai Sakral dalam Budaya
Selain membahas tentang bahasa dan huruf, saya mencoba melihat
tentang menghilangnya nilai sakral dalam budaya setempat. Fenomena alam atau
gejala alam memang secara ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh iklim dan aktifitas
manusia, namun tak dipungkiri, sejak zaman dahulu nenek moyang kita memiliki
ritual-ritual khusus yang sangat sakral sehingga mampu membuat sebuah
keajaiban. Misalnya, tentang pawang hujan dan berbagai mantra lainnya.
Kemajuan teknologi dan moderenitas telah mengubah pola pikir
dan sikap lugu masyarakat kita. Sebuah tatanan kehidupan di kampung yang telah
diatur sedemikian rupa menjadi tidak dianggap hanya demi oto nuka nua (kendaraan masuk kampung). Tubu musu ora nata yang menjadi simbol keagungan dan sebagai simbol
kekuatan (lokus of power) dianggap
kuburan tua yang harus dipugar bahkan dipindahkan tanpa ritual yang sebanding.
Titik penggerak itu tak berarti apa-apa. Padahal secara temurun kita mengetahui
bahwa hal-hal ini yang mampu memberikan kekuatan mistis tersendiri.
Lihat saja, kampung menjadi kemarau panjang walau telah
dilakukan ritual memanggil hujan oleh seluruh masyarakat kampung. Darah binatang
dan mantra yang mampu menghadirkan daya magisnya telah hilang karena kita tak
lagi secara utuh menghargai sebagai sebuah simbol kekuatan yang mempersatukan
dan kekuatan yang mampu menggerakan dan menghadirkan.
Akhirnya, saya mengakui bahwa ende teah kehilangan identitas
dari berbagai hal. Kedua hal di atas menjadi cintoh nyata yang saya angkat di
sini. Masih banyak hal yang perlu diangkat untuk menghadirkan kembali kearifan
lokal kita. Saya hanya berkomentar karena titik yang menggerakan ada pada pribadi
kita masing-masing.
Salam
sa ate, demi ende tana sare.