ENIGMA THOYIBAH
![]() |
Gambar diambil dari sini |
Di
kelas, Thoyibah seperti bayangan yang hanya sekadar ada. Ia duduk di bangku
pojok dekat jendela, lebih banyak menunduk, tenggelam dalam catatan atau
sekadar melamun. Tak banyak yang tahu isi pikirannya. Ia tak cerewet, tak suka
berbincang panjang lebar, tapi di balik keheningannya, ada keisengan kecil yang
hanya segelintir orang sadari.
Kadang,
di grup WhatsApp kelas, tiba-tiba muncul foto seseorang yang tengah
serius mendengarkan pelajaran, diambil dari sudut yang diam-diam. Ada yang
tengah menguap, ada yang menatap kosong ke depan, bahkan ada yang setengah
tidur dengan mata setengah tertutup. Tidak ada banyak yang menyadari hal itu,
tapi saya dengan penuh kesadaran cukup bingung dengan ulah Thoyibah tersebut.
Namun,
tak ada yang pernah benar-benar marah padanya. Mungkin karena ia melakukannya
dengan begitu halus, atau mungkin karena ia tetap menjadi gadis yang tak banyak
bicara, seolah kehadirannya sendiri tak berpengaruh dalam dinamika kelas.
Masa
lalunya bukan rahasia bagi saya yang kadang berbincang dengannya. Orang tuanya
meninggal sejak ia kecil. Sejak itu, ia lebih banyak diam. Sepeninggal mereka,
ia tinggal bersama pamannya di sebuah desa, Bayan namanya. Ia tumbuh dengan
luka yang tak pernah benar-benar diceritakan, tapi juga dengan ketangguhan yang
perlahan membentuknya.
Selepas
kuliah di Universitas Mataram, ia memilih kembali ke desanya. Bukan untuk
melarikan diri dari dunia, tapi justru untuk mengabdikan dirinya di sana. Ia
aktif sebagai kader posyandu, mendata anak-anak balita, menimbang berat badan
mereka, mengingatkan para ibu tentang jadwal imunisasi. Ia juga menjadi bagian
dari program pemberdayaan masyarakat, mendampingi para perempuan desa dalam
pelatihan ekonomi kreatif. Ia tak banyak berbicara, tapi tangannya bekerja.
Diamnya bukan kebekuan, tapi kedalaman.
Namun,
ada sisi lain dari Thoyibah yang tak banyak orang tahu. Di balik sikap
pendiamnya, ia memiliki dunia lain—dunia kata-kata. Ia menulis di blog
pribadinya. Tulisan-tulisannya sederhana, mengalir seperti arus sungai di musim
penghujan, menyentuh hati siapa saja yang membacanya.
Ia
mulai menulis sejak SMK. Katanya, ada seseorang yang pernah berkata padanya,
"Menulis adalah cara terbaik untuk bersuara tanpa harus berbicara."
Kata-kata itu melekat di benaknya. Awalnya, ia hanya menulis liputan kegiatan
di sekolah, kemudian berkembang menjadi kisah-kisah kecil tentang kehidupan di
desanya. Dari sana, ia menemukan tempatnya.
Banyak yang penasaran, siapa sebenarnya Thoyibah? Mengapa ia memilih diam, tetapi bersuara lewat tulisan? Mungkin hanya dirinya yang tahu jawabannya. Atau mungkin, ia adalah enigma—sebuah teka-teki yang tak perlu dipecahkan, hanya cukup untuk dipahami dengan hati.