Eri, Buku, dan Para Korea

Mei 13, 2025 0 Comments A+ a-



Pagi itu, di kelas structure-nya Mr. Nababan, seseorang memanggil saya dari belakang, sementara cahaya matahari telah benar menyoroti ruang 307 lantai 3 Pusat Bahasa UNS. Seorang pemuda bernama Eri datang membawa dua hal: senyum yang seperti setengah mengejek, dan sebuah buku yang dengan cover dominan putih. Lelaki itu—keturunan Jawa yang tumbuh besar di Medan—memiliki gaya bicara yang cepat, kadang melompat-lompat seperti radio rusak, tapi justru itulah yang membuatnya sukar dilupakan.

Eri memulai dengan celetukan khasnya, "Kau ini terlalu serius hidup, perlu disuntik Nietzsche!" Lalu, dari balik tasnya yang kusut, ia mengeluarkan buku yang mengubah arah pagi itu: Syahwat Keabadian, kumpulan puisi Friedrich Nietzsche yang diterjemahkan oleh Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono, diterbitkan oleh Diva Press.

"Bacalah," katanya, "ini bukan sekadar puisi. Ini silet dalam bunga. Nietzsche menulis bukan untuk menyenangkan—tapi untuk mengguncang dari dalam." Ada cahaya aneh di matanya, seperti seseorang yang baru saja melihat reruntuhan dirinya dan menertawakannya.

Saya menerimanya, membolak-balik beberapa lembar kemudian meletakkan pada kursi di samping kiri, karena saya belum mau melewatkan kelas dengan ratusan soal latihan structure yang saban hari kian mengendap dalam grup telegram.

Sebelum hari itu, aku hanya mengenal Eri sebagai pemuda usil yang doyan bercanda, layaknya seorang stand up comedian, dia kerap melontarkan candaan khas di dalam kelas, terkadang ia bicara soal politik dan nasib. Ia secara tak sadar pernah menuduhku sebagai "orang yang tersesat di lorong kesepian". Tapi kadang juga, ia berubah menjadi semacam pengkhotbah jalanan, membicarakan soal Komandan Bambang Pacul dengan penuh semangat. Rupanya ia baru saja menamatkan buku "Mentalitet Korea: Jalan Ksatria Komandan Bambang Pacul" karya Puthut EA, yang diterbitkan oleh Mojok.

“Ini bukan soal Korea Selatan, bung,” katanya. “Ini tentang mereka yang dari bawah, yang tak dianggap, tapi menggertak dunia dengan strategi dan keteguhan.” Baginya, Bambang Pacul bukan hanya tokoh. Ia simbol perlawanan kelas, dan buku itu—sebuah risalah tak resmi tentang bagaimana bertahan hidup dengan kepala tegak di tengah dunia yang congkak.

Eri bisa tertawa keras untuk hal remeh, seperti celoteh warung kopi, tapi bisa muram seketika ketika membicarakan makna hidup. Kadang emosional, kadang jenaka. Saya membayangkan jika suatu ketika, Ia melempar sandal ke televisi saat mendengar pidato politisi yang ia benci, lalu mengutip Nietzsche sesaat setelahnya: “Jika kamu menatap terlalu lama ke dalam jurang, maka jurang itu akan menatap balik ke dalam dirimu.”

Itulah Eri—pemuda yang menolak hidup dengan setengah sadar. Ia percaya buku bukan hanya bacaan, melainkan senjata sunyi. Ketika ia memberikan Syahwat Keabadian, ia seakan menyerahkan sebuah peta menuju ketidaktenteraman yang produktif. Nietzsche, katanya, adalah semacam cermin yang memantulkan wajah manusia dalam bentuk paling telanjang dan brutal.

Hari itu, Eri tak hanya memberiku buku. Ia memberiku serpihan dari dirinya sendiri—dari luka, tawa, dan pikirannya yang berkelok-kelok. Sejak saat itu, setiap kali aku membaca puisi Nietzsche, aku membayangkan suara Eri yang setengah meledek, setengah menyayangi dunia yang ditertawakannya.




Tulisan Terbaru

Catatan #4: Buat Buah Hatiku

Diilustrasi dengan AI dari Foto Asli Lagu “Home” dan Perjalanan Bapa Pulang Halo anakku, sekarang sudah bertiga, dua gadis dan Si Bungsu l...