Eri, Buku, dan Para Korea
Pagi itu, di kelas structure-nya Mr. Nababan, seseorang memanggil saya dari belakang, sementara cahaya matahari telah benar menyoroti ruang 307 lantai 3 Pusat Bahasa UNS. Seorang pemuda bernama Eri datang membawa dua hal: senyum yang seperti setengah mengejek, dan sebuah buku yang dengan cover dominan putih. Lelaki itu—keturunan Jawa yang tumbuh besar di Medan—memiliki gaya bicara yang cepat, kadang melompat-lompat seperti radio rusak, tapi justru itulah yang membuatnya sukar dilupakan.
Eri
memulai dengan celetukan khasnya, "Kau ini terlalu serius hidup, perlu
disuntik Nietzsche!" Lalu, dari balik tasnya yang kusut, ia mengeluarkan
buku yang mengubah arah pagi itu: Syahwat Keabadian, kumpulan
puisi Friedrich Nietzsche yang diterjemahkan oleh Berthold Damshäuser
dan Agus R. Sarjono, diterbitkan oleh Diva Press.
"Bacalah,"
katanya, "ini bukan sekadar puisi. Ini silet dalam bunga. Nietzsche
menulis bukan untuk menyenangkan—tapi untuk mengguncang dari dalam." Ada
cahaya aneh di matanya, seperti seseorang yang baru saja melihat reruntuhan
dirinya dan menertawakannya.
Saya
menerimanya, membolak-balik beberapa lembar kemudian meletakkan pada kursi di
samping kiri, karena saya belum mau melewatkan kelas dengan ratusan soal latihan structure
yang saban hari kian mengendap dalam grup telegram.
Sebelum
hari itu, aku hanya mengenal Eri sebagai pemuda usil yang doyan bercanda, layaknya seorang stand up comedian, dia kerap melontarkan candaan khas di dalam kelas, terkadang ia bicara soal
politik dan nasib. Ia secara tak sadar pernah menuduhku sebagai "orang yang tersesat
di lorong kesepian". Tapi kadang juga, ia berubah menjadi semacam
pengkhotbah jalanan, membicarakan soal Komandan Bambang Pacul dengan
penuh semangat. Rupanya ia baru saja menamatkan buku "Mentalitet Korea:
Jalan Ksatria Komandan Bambang Pacul" karya Puthut EA, yang
diterbitkan oleh Mojok.
“Ini
bukan soal Korea Selatan, bung,” katanya. “Ini tentang mereka yang dari bawah,
yang tak dianggap, tapi menggertak dunia dengan strategi dan keteguhan.” Baginya,
Bambang Pacul bukan hanya tokoh. Ia simbol perlawanan kelas, dan buku
itu—sebuah risalah tak resmi tentang bagaimana bertahan hidup dengan kepala
tegak di tengah dunia yang congkak.
Eri
bisa tertawa keras untuk hal remeh, seperti celoteh warung kopi, tapi bisa
muram seketika ketika membicarakan makna hidup. Kadang emosional, kadang
jenaka. Saya membayangkan jika suatu ketika, Ia melempar sandal ke televisi saat mendengar
pidato politisi yang ia benci, lalu mengutip Nietzsche sesaat setelahnya: “Jika
kamu menatap terlalu lama ke dalam jurang, maka jurang itu akan menatap balik
ke dalam dirimu.”
Itulah
Eri—pemuda yang menolak hidup dengan setengah sadar. Ia percaya buku bukan
hanya bacaan, melainkan senjata sunyi. Ketika ia memberikan Syahwat
Keabadian, ia seakan menyerahkan sebuah peta menuju ketidaktenteraman yang
produktif. Nietzsche, katanya, adalah semacam cermin yang memantulkan wajah
manusia dalam bentuk paling telanjang dan brutal.
Hari itu, Eri tak hanya memberiku buku. Ia memberiku serpihan dari dirinya sendiri—dari luka, tawa, dan pikirannya yang berkelok-kelok. Sejak saat itu, setiap kali aku membaca puisi Nietzsche, aku membayangkan suara Eri yang setengah meledek, setengah menyayangi dunia yang ditertawakannya.