Mie Instan dari Ibu Dosen
Mie
Instan dari Ibu Dosen
Sabtu itu,
udara pagi di kampus terasa lebih adem dari biasanya. Mahasiswa berjalan santai
menuju kelas, beberapa masih setengah mengantuk. Saya melangkah masuk ke ruang
listening dengan harapan bisa melewati perkuliahan tanpa banyak kesulitan.
Ada
beberapa orang telah berada di sana. Setengah delapan pagi, di depan kelas, Miss
Beta sudah berdiri dengan senyumnya yang khas. Saya semalam sempat melihat story
Instagram beliau—ada setumpuk kertas di meja. Sepertinya beliau sedang
menyiapkan materi untuk hari ini, pikir saya.
Di dalam
kelas Listening. Dingin karena AC
membikin saya duduk di bangku tengah, kali ini mencoba fokus pada suara native
speaker yang diputar melalui speaker di depan ruangan. Kata-kata
mereka mengalir cepat, nyaris tak memberi ruang bagi otak saya untuk
mencernanya. Saya menghela napas, merasa kepala ini semakin berat.
Di depan
kelas, Ibu Dosen terus menjelaskan dengan suara lembutnya. Ia memang bukan tipe
pengajar yang galak, tapi juga bukan yang mudah didekati. Saya selalu merasa
beliau punya aura misterius—mungkin karena sorot matanya yang intens tapi penuh
perhatian.
Saat kelas
hampir selesai, beliau tiba-tiba berhenti berbicara dan mengarahkan
pandangannya ke arah Dedi.
“Miss Beta
ke mana?” ada yang bertanya.
“Seng
tahu.” yang lain menimpali.
Kami
terkejut. Tidak menyangka dari luar ruangan, Miss Beta kembali ke dalam kelas
bersama Dedi yang menjinjing sebuah kresek besar berwarna putih.
“Hari ini saya ingin berbagi sedikit rezeki,” katanya.
“Bulan puasa ini pasti berat buat
kalian, apalagi kalau sedang sibuk tugas dan tidak sempat sahur. Jadi, saya
ingin memberi kalian sedikit hadiah.”
Kami semua
terdiam sesaat, lalu kelas riuh dengan gumaman syukur dan tawa kecil. Satu per
satu, kami maju ke depan untuk menerima mie instan dari beliau. Saat saya
mengambil milik saya, saya melihat ada selembar kertas kecil berwarna kuning tertempel
di depan plastiknya. Saya membacanya pelan dalam hati;
“Maaf
lahir dan batin.”
Saya
tersenyum. Sederhana, tapi hangat. Seperti sepotong perhatian di tengah
kesibukan kuliah dan tugas yang sedikit dan dibilang menumpuk (Biar ada Drama2nya. Heheheheee).
Malam
sebelumnya, saya berpikir bahwa Ibu Beta mungkin sedang sibuk menyiapkan materi
perkuliahan. Ternyata, beliau juga sedang menyiapkan sesuatu yang lebih dari
itu—sebuah bentuk kepedulian kecil yang menghangatkan hati kami semua.
“Terima
kasih, Bu,” hanya itu yang bisa saya ucapkan.
Mie instan
itu mungkin hanya sebungkus kecil, tapi di mata saya saat itu, ia adalah
kehangatan, perhatian, dan kepedulian dalam bentuk yang paling sederhana. Dan
itu lebih dari cukup.
2 comments
Write commentsUhhh, dalam, suka kakaku 🔥
ReplyTerima kasih, Feb. Komentar begini bikin saya tambah semangat menulis.
Reply