Mie Instan dari Ibu Dosen

Maret 03, 2025 2 Comments A+ a-


Mie Instan dari Ibu Dosen

 

Sabtu itu, udara pagi di kampus terasa lebih adem dari biasanya. Mahasiswa berjalan santai menuju kelas, beberapa masih setengah mengantuk. Saya melangkah masuk ke ruang listening dengan harapan bisa melewati perkuliahan tanpa banyak kesulitan.

Ada beberapa orang telah berada di sana. Setengah delapan pagi, di depan kelas, Miss Beta sudah berdiri dengan senyumnya yang khas. Saya semalam sempat melihat story Instagram beliau—ada setumpuk kertas di meja. Sepertinya beliau sedang menyiapkan materi untuk hari ini, pikir saya.

Di dalam kelas Listening.  Dingin karena AC membikin saya duduk di bangku tengah, kali ini mencoba fokus pada suara native speaker yang diputar melalui speaker di depan ruangan. Kata-kata mereka mengalir cepat, nyaris tak memberi ruang bagi otak saya untuk mencernanya. Saya menghela napas, merasa kepala ini semakin berat.

Di depan kelas, Ibu Dosen terus menjelaskan dengan suara lembutnya. Ia memang bukan tipe pengajar yang galak, tapi juga bukan yang mudah didekati. Saya selalu merasa beliau punya aura misterius—mungkin karena sorot matanya yang intens tapi penuh perhatian.

Saat kelas hampir selesai, beliau tiba-tiba berhenti berbicara dan mengarahkan pandangannya ke arah Dedi.

“Miss Beta ke mana?” ada yang bertanya.

Seng tahu.” yang lain menimpali.

Kami terkejut. Tidak menyangka dari luar ruangan, Miss Beta kembali ke dalam kelas bersama Dedi yang menjinjing sebuah kresek besar berwarna putih.

“Hari ini saya ingin berbagi sedikit rezeki,” katanya.

“Bulan puasa ini pasti berat buat kalian, apalagi kalau sedang sibuk tugas dan tidak sempat sahur. Jadi, saya ingin memberi kalian sedikit hadiah.”

Kami semua terdiam sesaat, lalu kelas riuh dengan gumaman syukur dan tawa kecil. Satu per satu, kami maju ke depan untuk menerima mie instan dari beliau. Saat saya mengambil milik saya, saya melihat ada selembar kertas kecil berwarna kuning tertempel di depan plastiknya. Saya membacanya pelan dalam hati;

“Maaf lahir dan batin.”

Saya tersenyum. Sederhana, tapi hangat. Seperti sepotong perhatian di tengah kesibukan kuliah dan tugas yang  sedikit dan dibilang menumpuk (Biar ada Drama2nya. Heheheheee).

Malam sebelumnya, saya berpikir bahwa Ibu Beta mungkin sedang sibuk menyiapkan materi perkuliahan. Ternyata, beliau juga sedang menyiapkan sesuatu yang lebih dari itu—sebuah bentuk kepedulian kecil yang menghangatkan hati kami semua.

“Terima kasih, Bu,” hanya itu yang bisa saya ucapkan.

Mie instan itu mungkin hanya sebungkus kecil, tapi di mata saya saat itu, ia adalah kehangatan, perhatian, dan kepedulian dalam bentuk yang paling sederhana. Dan itu lebih dari cukup.



2 comments

Write comments
Febi
AUTHOR
3/03/2025 delete

Uhhh, dalam, suka kakaku 🔥

Reply
avatar
3/03/2025 delete

Terima kasih, Feb. Komentar begini bikin saya tambah semangat menulis.

Reply
avatar

Tulisan Terbaru

ENIGMA THOYIBAH

Gambar diambil dari sini Di kelas, Thoyibah seperti bayangan yang hanya sekadar ada. Ia duduk di bangku pojok dekat jendela, lebih banyak me...