Perjalanan Senja: Dari Jebres ke Yogyakarta, Mengantar Teman Pulang ke Kei

Februari 28, 2025 0 Comments A+ a-

 


Senja jatuh pelan di ufuk barat ketika saya melangkah ke Tower UNS, menunggu Mey dan Maya. Ya, dua orang ini yang kadang spontan ikut ketika saya mengajak mereka. Entah, ke Alun-alun atau menonton film dan beberapa tempat lainnya di Solo. Kali ini mereka hendak ikut ke Jogja, karena kami bermufakat untuk mengantar teman kami, Angel, kembali ke Kei, Maluku untuk beberapa saat. Ayahandanya meninggal dan dia harus mengantar Beliau ke tempat peristirahatan terakhir.

Kereta Rel Listrik (KRL) tujuan Yogyakarta sudah terjadwal berangkat dalam beberapa menit. Membuat saya sedikit cemas takut terlambat. Udara sore itu sejuk, angin tipis-tipis menyelinap di antara bangunan tua stasiun yang masih mempertahankan arsitektur lokalnya. Tiba di Stasiun, kami mencari beberapa teman lagi sembari menunggu Angel yang kabarnya lewat WA Grup, masih dalam perjalanan. Perjalanan ke timur masih panjang baginya—dari Yogyakarta, ia akan melanjutkan ke Makassar, lalu terbang ke Ambon sebelum akhirnya tiba di tanah kelahirannya. Tapi untuk saat ini, tugas saya sederhana: mengantarnya hingga Stasiun Yogyakarta.

Saat KRL datang, pintunya terbuka otomatis, dan kami bergegas masuk. Gerbong sore itu terlampau penuh. Mayoritas penumpang adalah pekerja yang pulang dari Solo ke Klaten atau Yogyakarta, beberapa mahasiswa dengan ransel di punggung, dan sepasang turis asing yang tampak asyik mengobrol dengan seorang pria lokal.

Kereta mulai bergerak. Melalui jendela besar yang bersih, pemandangan Solo mulai berganti—rumah-rumah penduduk, lapangan, hingga hamparan sawah yang luas di perbatasan kota. Langit senja menciptakan semburat jingga keemasan, memantul di rel yang seakan memandu perjalanan ini.

Di perjalanan, kami mengobrol santai. Teman saya bercerita tentang sepatu yang baru dibelinya, tentang komunitas literasinya dan tentang semangatnya membangun komunitas untuk pendidikan luar sekolah. Sementara beberapa jarak dari mata saya, Angel berdiri tegar, mungkin memikirkan laut yang biru sejernih kaca, pasir sehalus tepung, dan kehidupan di pulaunya yang jauh dari hadapannya sekarang.

Stasiun demi stasiun terlewati: Solo Balapan, Purwosari, Gawok, Delanggu, Ceper, Klaten, Srowot, Maguwo. Setiap pemberhentian menghadirkan wajah-wajah baru yang masuk dan keluar, masing-masing membawa kisahnya sendiri. Di Klaten, seorang ibu naik dengan anak kecil yang langsung duduk di kursi prioritas. Si bocah menempelkan wajahnya ke jendela, matanya berbinar melihat rel yang berkelok di kejauhan.

Ketika kereta mendekati Stasiun Maguwo, langit semakin gelap, dan lampu-lampu jalan mulai menyala. Tak lama, pengumuman dari pengeras suara mengabarkan bahwa KRL segera tiba di tujuan akhir: Yogyakarta.

Stasiun Tugu menyambut dengan hiruk-pikuknya. Penumpang turun, sebagian bergegas ke peron untuk mengejar kereta lanjutan. Di kejauhan, aroma gudeg dan angkringan menyeruak dari luar stasiun, menggoda perut yang mulai lapar.

Kami berjalan keluar, menyeret langkah di lantai peron yang dingin. Di sini, perjalanan saya berakhir, tetapi bagi teman saya, perjalanan ke Kei baru akan dimulai. Kami berjabat tangan, lalu berpisah di antara riuh rendah stasiun yang tak pernah benar-benar tidur.

Senja telah berubah menjadi malam. Dan perjalanan, seperti hidup, selalu tentang perpisahan dan pertemuan. Dalam perjalanan tadi, saya mulai berimajinasi, melihat beberapa wajah dan dengan iseng menempatkan mereka dalam sebuah puisi.

 

KRL Solo Jogja Suatu Sore

 

Di dalam gerbong nan tua yang letih

orang-orang menggantungkan rindu di jendela

langit berlari membikin kota mengecil

sementara detik-detik jatuh di antara rel

 

Seorang perempuan mengimpit tas

matanya kabut mengejar waktu

di rumah jauh di ujung samudera

seseorang telah pergi ke haribaan-Nya

dan ia tak sempat mengucap selamat tinggal

 

Di sudut lain seorang perempuan

menyeka sisa pelukan dari pipinya

di stasiun yang lalu cinta telah turun

meninggalkannya sendirian dengan hujan

 

Laki-laki tua memegang kantung kosong

sebutir nasib buruk: ayamnya hilang!

Ia mengutuk kereta yang terlalu cepat

atau mungkin takdir yang terlalu rakus

Sementara di bangku paling depan

seorang pemuda tersenyum kecil

di saku doanya ada email mengendap

dan janji hari pertama bekerja

 

Ada yang bersandar dengan luka

tertusuk janji yang tak sempat sembuh

ada yang berbisik pulang dengan bahagia

karena rumah adalah nyanyian yang tetap menunggu

 

Gerbong melaju

menghimpun kisah-kisah rapuh

menyerahkan semuanya pada malam

yang diam-diam mencatat perjalanan

Tulisan Terbaru

ENIGMA THOYIBAH

Gambar diambil dari sini Di kelas, Thoyibah seperti bayangan yang hanya sekadar ada. Ia duduk di bangku pojok dekat jendela, lebih banyak me...