Perjalanan Senja: Dari Jebres ke Yogyakarta, Mengantar Teman Pulang ke Kei
Senja
jatuh pelan di ufuk barat ketika saya melangkah ke Tower UNS, menunggu Mey dan
Maya. Ya, dua orang ini yang kadang spontan ikut ketika saya mengajak mereka. Entah,
ke Alun-alun atau menonton film dan beberapa tempat lainnya di Solo. Kali ini
mereka hendak ikut ke Jogja, karena kami bermufakat untuk mengantar teman kami,
Angel, kembali ke Kei, Maluku untuk beberapa saat. Ayahandanya meninggal dan
dia harus mengantar Beliau ke tempat peristirahatan terakhir.
Kereta
Rel Listrik (KRL) tujuan Yogyakarta sudah terjadwal berangkat dalam beberapa
menit. Membuat saya sedikit cemas takut terlambat. Udara sore itu sejuk, angin
tipis-tipis menyelinap di antara bangunan tua stasiun yang masih mempertahankan
arsitektur lokalnya. Tiba di Stasiun, kami mencari beberapa teman lagi sembari
menunggu Angel yang kabarnya lewat WA Grup, masih dalam perjalanan. Perjalanan
ke timur masih panjang baginya—dari Yogyakarta, ia akan melanjutkan ke Makassar,
lalu terbang ke Ambon sebelum akhirnya tiba di tanah kelahirannya. Tapi untuk
saat ini, tugas saya sederhana: mengantarnya hingga Stasiun Yogyakarta.
Saat
KRL datang, pintunya terbuka otomatis, dan kami bergegas masuk. Gerbong sore
itu terlampau penuh. Mayoritas penumpang adalah pekerja yang pulang dari Solo
ke Klaten atau Yogyakarta, beberapa mahasiswa dengan ransel di punggung, dan
sepasang turis asing yang tampak asyik mengobrol dengan seorang pria lokal.
Kereta
mulai bergerak. Melalui jendela besar yang bersih, pemandangan Solo mulai
berganti—rumah-rumah penduduk, lapangan, hingga hamparan sawah yang luas di
perbatasan kota. Langit senja menciptakan semburat jingga keemasan, memantul di
rel yang seakan memandu perjalanan ini.
Di
perjalanan, kami mengobrol santai. Teman saya bercerita tentang sepatu yang
baru dibelinya, tentang komunitas literasinya dan tentang semangatnya membangun
komunitas untuk pendidikan luar sekolah. Sementara beberapa jarak dari mata
saya, Angel berdiri tegar, mungkin memikirkan laut yang biru sejernih kaca,
pasir sehalus tepung, dan kehidupan di pulaunya yang jauh dari hadapannya
sekarang.
Stasiun
demi stasiun terlewati: Solo Balapan, Purwosari, Gawok, Delanggu, Ceper,
Klaten, Srowot, Maguwo. Setiap pemberhentian menghadirkan wajah-wajah baru yang
masuk dan keluar, masing-masing membawa kisahnya sendiri. Di Klaten, seorang
ibu naik dengan anak kecil yang langsung duduk di kursi prioritas. Si bocah
menempelkan wajahnya ke jendela, matanya berbinar melihat rel yang berkelok di
kejauhan.
Ketika
kereta mendekati Stasiun Maguwo, langit semakin gelap, dan lampu-lampu jalan
mulai menyala. Tak lama, pengumuman dari pengeras suara mengabarkan bahwa KRL
segera tiba di tujuan akhir: Yogyakarta.
Stasiun
Tugu menyambut dengan hiruk-pikuknya. Penumpang turun, sebagian bergegas ke
peron untuk mengejar kereta lanjutan. Di kejauhan, aroma gudeg dan angkringan
menyeruak dari luar stasiun, menggoda perut yang mulai lapar.
Kami
berjalan keluar, menyeret langkah di lantai peron yang dingin. Di sini,
perjalanan saya berakhir, tetapi bagi teman saya, perjalanan ke Kei baru akan
dimulai. Kami berjabat tangan, lalu berpisah di antara riuh rendah stasiun yang
tak pernah benar-benar tidur.
Senja
telah berubah menjadi malam. Dan perjalanan, seperti hidup, selalu tentang
perpisahan dan pertemuan. Dalam perjalanan tadi, saya mulai berimajinasi,
melihat beberapa wajah dan dengan iseng menempatkan mereka dalam sebuah puisi.
KRL
Solo Jogja Suatu Sore
Di
dalam gerbong nan tua yang letih
orang-orang
menggantungkan rindu di jendela
langit
berlari membikin kota mengecil
sementara
detik-detik jatuh di antara rel
Seorang
perempuan mengimpit tas
matanya
kabut mengejar waktu
di
rumah jauh di ujung samudera
seseorang
telah pergi ke haribaan-Nya
dan
ia tak sempat mengucap selamat tinggal
Di
sudut lain seorang perempuan
menyeka
sisa pelukan dari pipinya
di
stasiun yang lalu cinta telah turun
meninggalkannya
sendirian dengan hujan
Laki-laki
tua memegang kantung kosong
sebutir
nasib buruk: ayamnya hilang!
Ia
mengutuk kereta yang terlalu cepat
atau
mungkin takdir yang terlalu rakus
Sementara
di bangku paling depan
seorang
pemuda tersenyum kecil
di
saku doanya ada email mengendap
dan
janji hari pertama bekerja
Ada
yang bersandar dengan luka
tertusuk
janji yang tak sempat sembuh
ada
yang berbisik pulang dengan bahagia
karena
rumah adalah nyanyian yang tetap menunggu
Gerbong
melaju
menghimpun
kisah-kisah rapuh
menyerahkan
semuanya pada malam
yang
diam-diam mencatat perjalanan