LELAKI BUAS
Oleh : Djho Izmail & Roman
Rendusara
Aku mengerti itu. Aku salah. Kegadisannya telah kurenggut.
Alasan utama aku menidurinya pun hanya karena ia cantik. Manis. Tatapan matanya
menggodaku. Kalau soal cinta urusan kemudian. Wah, andai saja semua lelaki
seperti aku, maka selalu ada ratap tangis dan kertak gigi bagi kaum hawa.
Kaumnya ibuku.
Nah, gadis bernama Narty itu kembali. Kamar kos di sudut
Jalan Mega Mendung itu ia menangis sejadi–jadinya. Ia mengatakan telah telat
lima bulan tidak datang bulan. Keterangan dokter yang ditunjukkannya kepadaku
memvonis “positif hamil”. Ia meminta aku bertanggung-jawab atas perbuatan itu.
Aku semakin keras. Tetap pada pendirian. Hanya satu kalimat, “kita tidak usah
menikah, kandungan itu digugurkan saja” Narty histeris. Tetangga yang menonton
tak lagi digubrisnya.
Aku terus membujuknya. “Narty masih semester dua, dan aku skripsi belum selesai. Ingat itu Narty! Jangan buat orangtua
kita gila dengan ‘kecelakaan ini’” Yah, ini terjadi hanya sebuah kecelakaan.
Lantaran sekali lagi aku melakukannya karena cantik, manis, dan tatapan matanya
terlalu menggoda. “Salah sendiri siapa suruh kau cantik.”Soal cinta: TIDAK. Kenapa juga engkau mau
ketika tanganku dengan nakal mulai menggeranyang setiap lekak-lekuk tubuhmu,
lagi pula kenapa kau biarkan dan kau ladeni ketika bibirku dengan nakalnya
melumat bibir mungilmu.
Narty semakin keras berteriak. Ia marah. Ia semakin
membabi-buta. Tidak lagi isi kamarku yang diberantakkan. Pisau dapur telah
berada di genggamannya. Ia ingin menghujam dirinya dengan aku. Ia mau bunuh
diri saja. Aku sontak mengambil langkah seribu. Dan lari.
***************************************
Aku
terbangun dari tidurku. Peluh membasahi kaos coklat tua yang aku kenakan. Aku
bermimpi. Mimpi yang mendekati nyata. Bayangan Narty kembali menari-nari di
pelupuk mataku. Wajah manisnya, dadanya yang membuncah dan desahannya saat
waktu itu aku menidurinya masih terasa. Sepertinya itu kulakukan sehari yang
lalu. Padahal lima bulan telah terlewatkan.
Ia
sungguh gadis terindah yang pernah aku kenal. Gadis dengan sejuta pesona yang
meluluhlantahkan setiap anganku. Mimpi malam yang biasa aku lalui dengan
beragam cerita, berubah dengan cerita indah bersama dirinya. Bahkan aku sering
kali bermimpi sampai air merembes. Anehnya, semua cerita hanya dengan dirinya.
Kehadirannya telah membuat cerita yang diperankan satu tokoh.
Adalah
untaian keindahan yang mengantung tegak pada hidung bangirnya. Rona merah
merekah, layaknya delima yang mengukir indah di bibir. Senyumnya menjadikan
anugerah, rahmat, karunia yang mendekorasikan sesmesta. Sinar kemilau yang
tersorot lewat tatapan matanya. Melihatnya saja aku merasa bahagia, apalagi
memilikinya.
Ia
adalah rupa kesempurnaan. Sebuah kisah klasik tentang seorang putri dari khayangan. Bidadari yang
turun bermandi telaga di bumi, yang kemudian lupa jalan pulang. Tentu, karena
kehilangan sayap yang entah siapa dengan nakal memindah tempatkan kepada mata
yang tak melihat. Mungkin juga angin yang nakal meniup terbang. Meliukan suka
suarga, menjadi duka semesta.
Kemudian
cerita itu menjadi nyata. Ada bersamaku sekarang. Mengganggu setiap mimpi
maupun nyataku. Dia adalah narty. Gadis termanis yang kutemui dan yang telah
menjadi kekasihku. Rupa yang persis menyamai bidadari. Wanita cantik, yang
entah kenapa menerima cintaku yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh. Waktu itu
hanya karena persaingan untuk menunjukan siapa yang bisa mendapatkannya.
Temanku yang memulai. Aku yang mengakhiri.
Cerita
tentang aku dan narty adalah kisa seribu satu suka yang tak pernah terlintas
duka. Dan Aku kembali teringat peristiwa pagi tadi. Dia datang ke kosku.
Gadis bernama Narty itu adalah
pacarku. Dia datang di kosku. Kembali. Kamar kos di sudut Jalan Mega Mendung itu dihiasi
oleh suara yang menyayat hati. Ia menangis sejadi–jadinya. Ia mengakui telah lima bulan tidak datang bulan. Keterangan dokter yang ditunjukkannya
kepadaku memvonis “positif hamil”. Ia meminta aku
bertanggung-jawab atas perbuatan itu. Aku
berontak, bahkan berpendirian semakin keras. Tetap tak
mau menerima hasil dari hubungan sama suka itu. Aku
berpendapat,
“kita tidak usah menikah, kandungan itu digugurkan saja” sontak saja, Narty histeris. Menangis
semakin keras. Bahkan pada tetangga yang mulai bertanya-tanya tak lagi digubrisnya.
Aku terus membujuknya. “narty,
engkau harus sadar betul. Engkau masih semester dua, dan aku skripsi belum selesai. Ingat
itu Narty! Jangan buat orangtua kita gila dengan ‘kecelakaan ini’” Yah, ini
terjadi hanya sebuah kecelakaan. Lantaran sekali lagi aku melakukannya karena
cantik, manis, dan tatapan matanya terlalu menggoda. “Salah sendiri siapa suruh
kau cantik.”Soal cinta: TIDAK. Kenapa juga engkau mau ketika tanganku dengan nakal mulai
menggeranyang setiap lekak-lekuk tubuhmu, lagi pula kenapa kau biarkan dan kau
ladeni ketika bibirku dengan nakalnya melumat bibir mungilmu. Aku membuka kartu
yang selayaknya tak boleh siapapun tahu termasuk Tuhan.
Tiba-tiba,
pintu kamarku diketok. Aku terperanjat dari ingatanku pada peristiwa dengan
narty. “Sial, siapa yang mau bertamu tengah malam begini. Tidak punya
perasaankah dia? Ganggu tidur orang saja” gumamku tidak karuan. Pintu kembali
digedor. Kali ini semakin keras. Aku hendak mengumpat, tapi tertahan di
tenggorokan ketika mendengar seorang bersuara. Suara lelaki. Kubuang begitu
saja selimut yang masih menutupi tubuhku.
Pintu
terbuka. Seorang lelaki paru baya menatapku tak bersahabat. Aku cuek saja
sambil kedua mataku mengusap-usap mataku. Lelaki itu mendorongku masuk dengan
kasarnya. Aku terduduk dilantai. Ia mengikuti. Ia marah-marah padaku karena Narty.
Katanya ia Om nya Narty, juga calon Bapak Mantunya. Narty telah dijodokan
dengan anaknya karena tuntutan budaya. Budaya memuakan tanpa melihat hakikat
kebebasan cinta yang sesungguhnya.
Lelaki
itu mulai menginterogasiku. Ia mengawalinya dengan cerita Narty kepadanya. Katanya,
gadis bernama Narty itu kembali. Kamar
kos di sudut Jalan Mega Mendung itu ia menangis sejadi–jadinya. Ia
mengatakan telah telat lima bulan tidak datang bulan. Keterangan dokter yang
ditunjukkannya kepadamu memvonis “positif hamil”. Ia meminta engkau bertanggung-jawab atas perbuatan itu. Tetapi Engkau sungguh keras kepala, bahkan semakin keras. Tetap pada pendirian.
Hanya satu kalimat, “kita tidak usah menikah, kandungan itu digugurkan saja” sontak saja Narty berteriak histeris. Tetangga yang menonton tak
lagi digubrisnya. Ia telah kepalang
basah. Malu saja sekalian yang penting kalian bisa membereskan masalah ini.
Engkau
malah bertindak aneh. Engkau terus membujuknya. “Narty masih semester dua, dan aku skripsi belum selesai. Ingat itu Narty! Jangan buat orangtua
kita gila dengan ‘kecelakaan ini’” katamu
terlalu pengecut. Yah, ini terjadi hanya sebuah kecelakaan. Lantaran sekali lagi aku melakukannya
karena cantik, manis, dan tatapan matanya terlalu menggoda. “Salah sendiri
siapa suruh kau cantik.”Soal cinta: TIDAK. Kenapa juga engkau mau ketika tanganku dengan nakal mulai
menggeranyang setiap lekak-lekuk tubuhmu, lagi pula kenapa kau biarkan dan kau
ladeni ketika bibirku dengan nakalnya melumat bibir mungilmu. Lagi-lagi engkau
mulai mencari setiap sisi lemah narty untuk kau jadikan kesalahan yang
mengvonis jatuhkan dia sebagai terdakwa yang bersalah, yang pantas menerima
semua ini. Engkau mulai cuci tangan.
Aku
tak bisa berkutik lagi. Semua keluarganya telah mengetahui. Aku mencari cara.
Melunakan hati lelaki yang sedang geram menghadapku ini. Aku meminta maaf. “om,
aku akan bertanggung-jawab.” Lelaki itu menetapku lekat-lekat. Tanpa aku sangka
ia menampar leherku dengan sesuatu. Aku pusing. Menutup mata untuk beberapa
menit. Setelah kembali membuka mata. Aku menatapnya bisu. Tak ada sakit yang
kurasakan sekarang. Tak ada kata-kata yang menguak dari mulutku. Lelaki itu
berlari pulang. Ia menabrakku di depan pintu. Aku tak jatuh. Kokoh berdiri, sedang
lelaki itu, telah menghilang dalam sayap sang malam. Ia menabrakku seperti
menabrak angin.
Aku
terheran-heran melihat tubuhku tergeletak di lantai. Aku mendekat ke tubuhku.
Sungguh mengerikan. Leherku terpotong hampir putus. Darah segar mengalir tiada
henti. Menganak sungai. Aku bisu ingin memegang tubuhku. Aku tak bisa menyentuh
apa-apa. Sementara di luar sana, ayam berkokok dengan girang. Menyambut pagi
yang sebentar lagi melawat bumi.
Ende-Kupang,
2011
Dimuat di Timor Ekspress, Minggu, 27 mei 2012
Dimuat di Timor Ekspress, Minggu, 27 mei 2012