POTONGAN SENYUM
Untuk seorang teman yang telah menuju dunia baru di sana.
Selamat jalan, Kawan. Utangmu telah Lunas terbayar.
Adalah hati yang sering kta makanai sebagai penetral batin. Ia yang tidak pernah tua walau umur kita bertambah tiap detiknya. Ia hanya bertambah bijak bila kita terus mengasahnya menjadi bijak. Karena setiap hati yang diciptakan adalah untuk memberikan kepada kita alat penunjuk. Semacam kompas, hati juga sebenarnya mau mengatakan kepada kita supaya berhati-hati dalam melangkah. Jangan sampai tersandung jatuh atau kelakuan kita membuat orang lain jatuh.
Dan
kehidupan yang selebihnya hanya titipan Tuhan itu harus kita jalankan dengan
sebaik mungkin, agar hati kita terasah menjadi bijak. Dalam mengarungi samugera
kehidupan ini alangkah baiknya kita bercermin pada kehidupan. Awal kehidupan di
hari yang baru. Matahari. Kita sering menganalogikanya sebagai senyuman yang
cemerlang. Dalam hidup hendaknya kita senantiasa tersenyum dalam berbagai
situasi yang kita hadapi. Suka duka. Untung malang. Sedih maupun gembira.
Selepas
mentari yang habis tersenyum. Remang mulai menyusup sudut-sudut kota. Lampu jalan mulai
benderang beriringan ceceran suara binatang malam. Seorang bocah lunglai menuju
ke rumahnya yang mungil. Bocah perempuan hitam manis itu kembali bersama
kegembiraan kawan-kawannya. Diteriaki mamanya dari luar. Sang
mama tergopoh mendengar suara buah hatinya. Takut ada sesuatu yang buruk
terjadi padanya. Bocah hitam manis itu mulai tersenyum. Ia bercerita dengan
semangatnya pada bunda dan pada ketiga kakaknya di ruang keluarga.
*****
Mama
dengarkan saya. Saya baru pulang seharian bersama kawan-kawan. Kami bersenda
gurau di setiap sudut kota dan lorong. Tak ketinggalan hutan, gunung dan
pantai. Saya dan kawan-kawan kembali dari gambaran insan bumi ini. Kami kembali
setelah lelah memungut senyum makhluk dunia. Dan saya paling banyak
mengumpulkan potongan-potongan senyum itu.
Pagi
yang damai kami menyudut di lorong kota tua. Di sana kupungut serpihan-sepihan
senyum dari sebuah keluarga. Senyum bapaknya yang tulus kepada istri dan
anak-anaknya sebelum berangkat kerja. Senyum penuh arti baginya dan penuh harap
bagi anggota keluarganya. Ada juga senyum istri yang setia menunggu pagi.
Menyiapkan sarapan buat keluarganya. Kekasih hatinya. Senyum yang membuat semua
agar cepat kembali ke rumah jika hari telah benderang atau meredup di ufuk
barat. Senyum anak-anak yang ceria mengarungi hari. Membumbung asa pada batok
kepala mereka.
Sang
mama memberikan bekal masing-masing buah hatinya. “ ini bekal kamu, jangan
nakal di sekolah ya..!!” pesan yang penuh arti kasih sayang. “kog, kasih pakai
tangan kiri??” si bungsu protes. “Sayang, nanti suatu saat kamu akan mengerti,
mengapa mama memakai tangan kiri.” Semuanya berlalu ke tempat tujuan
masing-masing. Sang mama mematung sejenak membiarkan bayangan anak-anaknya
menghilang di balik tembok tinggi rumah tetangga. Ia tersenyum, lalu kembali
melanjutkan rutinitasnya di dapur.
Kami
terus mengikuti keluarga yang menjadi target kami hari ini. Kami berbagi tugas.
Sebagian kawan ke kantor tempat sang bapak itu bertugas, sebagian ke sekolah
dan sisanya tetap di rumah itu. Dan aku mendapat tugas untuk ke sekolah
anak-anak itu. Sungguh sekolah sekarang sudah berubah. Sekolah yang dicanangkan
sebagai tempat menimba ilmu sudah multifungsi. Pendidikan berkarakter kata
orang-orang dan yang lebih ironis lagi sudah ada embel-embel standar
internasional. Sebuah kamuflase yang dibuat padahal hasil yang diperoleh sama
sekali jauh dari apa yang dirumuskan.
Di
pintu gerbang sekolah, aku mulai mengamati. Seragam sekolah yang katanya untuk
mencegah terjadinya kecemburuan sosial sudah berubah. Tergambar ada yang
memakai celana panjang dengan model “botol”
ada pula para remaja putri memakai rok panjang sampai mata kaki dengan baju
dengan baju ngepres membentuk bagian
tubuh tertentu. Yang lain memakai rok pendek kira-kira tujuh senti di atas
lutut. Sungguh suatu bentuk dari ketidaksadaran manusia bahwa sesungguhnya ia
telah mengekploitasikan dirinya sendiri. Kupungut potongan senyum tak tulus
dari berbagai bibir.
Aku
terus memaksa masuk lebih jauh. Di sudut yang kurang diperhatikan pihak
sekolah. Beberapa siswanya begitu asyik memainkan asap dari batang-batang
rokok. Semua seolah menikmati batang yang resiko mematikannya besar itu. Tak
lupa cerita tentang mengahbiskan minuman keras semalam. Mereka seolah bangga
bisa menghabiskan minuman keras dari berbagai merek. Tak ada yang berdiskusi
tentang pelajaran sekolah. Potret kehidupan anak muda yang telah terpengaruh
oleh berbagai dimnesi sosial masyarakat. Potongan senyum kebebasan yang
sebenarnya memenjarakan jiwa mereka tergambar jelas.
Sudut
taman yang indah si bungsu yang masih kelas satu SMA mengintip kakak kelasnya
yang sedang berpacaran. Ia tersenyum nakal. Terdengar bisikan olehnya.
“ sayang, kenapa kamu
selalu memeluk aku dengan tangan kiri. Padahal kata mamaku itu tidak baik”
cewek dengan mimik serius.
“ Masa sih..?? berarti
mamamu tak tahu artinya!!” cowok dengan senyum.
“ Hmmm.. kalau begitu
artiya apa??”
“ Kamu tahu kan, kalau
tulang rusukku yang di ambil itu bagian kiri untuk menciptakan kamu??”
“ Iya, terus..???”
“ Aku mau kau tetap
menjadi tulang rusukku. Tak tergantikan. Lagi pula, jantung hatiku berada di
bagian kiri, jadi aku mau engkau selalu dekat dengan jantung hatiku” Senyum
keduanya mekar. Tak ada lagi bayangan mengenai pelajaran sekolah. Hanya cinta
saja. Si bungsu terhentak sadar. Ia menyadarinya, ternyata kiri lebih dekat
dengan denyut kehidupan. Jantung hati. Senyum terus terangkai. Aku memungutnya.
Mengumpulkan dalam bejana ini.
Di sebuah kelas, seorang guru senior tertunduk syahdu. Ia
tak tersenyum. Cuma bibirnya komat-kamit sambil kedua tangan mengatup. Ia
sedang berdoa. Agar siswanya bisa mengerjakan materi ulangan yang telah ia
berikan. Karena ia sadar bahwa ia tak sempurna, pelajaran yang telah ia
jelaskan bagi siswanya belum sepenuhnya dipahami mereka. Setiap orang memiliki
tingkat pemahaman dan persepsi yang berbeda terhadap sesuatu atau objek. Dan
untuk itulah doa, sebab Ia yakin kerja selalu beriringan dengan doa.
*****
“ Ah, dia berbohong ma..” kakak pertamanya mencela
“ Paling baru pulang pacaran..” kakak kedua ikut. Seakan
takut ketinggalan.
“ Benar” gadis hitam manis itu membela diri
“ Bohong!!!” kedua kakaknya serempak
“ Benar”
“ Bohong”
“ Betul”
“ Tipu”
“ Betul.. benar..”
“ Sudah.. sudah..” mama mereka mulai melerai
“ Betul toh ma??” gadis mungil itu meminta bantuan
“ Iya..” mamanya tersenyum lembut
“ Mama curang. Tidak adil” kakak pertama mulai lagi
“ Sudah. Sekarang waktunya makan malam..”
“ Asyik.. ayam goreng ada toh, ma??” gadis mungil menagih
“ Iya..”
Mereka pun menikmati
makan malam dengan penuh kehangatan kasih. Udara di luar yang sedikit dingin
tidak menyurutkan semangat anak-anak dengan potongan ayam goreng masing-masing.
Damai yang mengiringi. Di kejauhan terdengar sayup-sayup “hadapi dengan senyuman” miliknya
DEWA di radio tetangga. Potongan senyum bertebaran di rumah itu.
Awal Desember 2011