PADI, MENURUT PERSPEKTIF MITOLOGI MASYARAKAT LIO-ENDE DAN GIZINYA
flickr.com |
orangflores.com |
Padi sudah sering dikenal luas pada
masyarakat indonesia. Bahkan masyarakat kita sendiri menjadikan padi, dalam hal
ini beras sebagai makanan pokok utama selain jagung dan umbi-umbian. Dalam
masyarakat suku lio-ende, Nusa Tenggara Timur padi juga sudah dikenal sejak
zaman nenek moyang. Bahakan sejarah mengenai padi ini sudah diwariskan secara
turun temurun dalam sebuah mitos yang sering diceritakan orangtua kepada
anaknya.
Mitos tersebut berkembang dari masa ke masa
dengan berbagai versi sesuai dengan penutur, sehingga kadang menjadi lebih
dramatik dan tragis. Mitos tentang asal muasal padi itu sering dikenal dalam
masyarakat lokal sebagai ine pare.
b.
Mitos Asal Muasal
Padi Menurut Tradisi Lio-Ende
Ada dua bersaudara
bernama Bobi dan Nombi. Keduanya yatim-piatu dan tunawisma. Untuk menyambung
hidup keduanya mengemis ke sana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru
beriba hati lalu merawat kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu
dipelihara dan dimanjakan oleh Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri. Tibalah
musim kemarau yang amat panjang. Oleh karena lamanya musim kemarau itu, banyak
orang terancam kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu dipertanyakan oleh
masyarakat kepada Mosalaki sebagai ketua adat. Kemudian disimpulkan pula oleh
masyarakat bahwa kemarau panjang yang mengancam itu akibat adanya kesalahan dan
dosa warga masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling
krusial yang berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan
yang berkepanjangan itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi
dan Nombi-lah yang karena hidup secara liar itu telah melakukan perbuatan mesum
(incest), padahal keduanya merupakan saudara sekandung. Pembelaan janda Ndoi
pun tak membuahkan hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan Nombi.
Atas perintah Mosalaki (tuan tanah), Bobi dan Nombi
segera ditangkap. Namun entah kenapa kedua anak itu tiba-tiba saja menghilang
bak ditelan bumi. Masyarakat pun terus mencari kedua anak itu ke berbagai
penjuru kampung. Beberapa hari kemudian, masyarakat menemukan kedua anak itu
dibawah lereng Gunung Kelinida dan mengejar kedua anak itu secara bersama-sama
sambil menghunuskan senjata tajam seperti, parang, panah dan lain sebagainya.
Beberapa saat setelah pengejaran, kedua anak itu pun ditangkap dalam keadaan
bersimba darah akibat terkena senjata tajam. Lalu masyarakat membawa kedua anak
itu menuju ke puncak Gunung Kelinida,
sebuah gunung yang terkesan angker dan jarang didatangi orang. Bobi ditempatkan
di bagian timur sedangkan Nombi ditempatkan di sisi barat. Perjaka dan dara yatim
piatu itu dibunuh dan dicincang sebagai silih dan tebusan atas dosa dan
kenistaan mereka dengan harapan hujan segera turun membasahi bumi yang sedang
gersang itu. Namun, setelah lama mengorbankan kedua anak yatim piatu itu, hujan
tak kunjung datang jua. Bahkan kemarau semakin garang saja. Mosalaki (Tuan Tanah) beserta seluruh
warga kampung semakin gelisah. Mereka semua kwatir, jangan sampai Bobi dan
Nombi yang tidak berdosa itu hidup kembali.
Pada suatu hari Mosalaki memanggil seluruh warga untuk
bermusyawarah lagi. Mereka bersepakat untuk melihat kembali jenazah Bobi dan
Nombi yang dicincang di puncak Gunung Kelinida. Sebab, mereka semakin bingung
saja karena hujan pun tak kunjung datang. Berangkatlah orang-orang sekampung ke
puncak Gunung Kelinida. Setibanya di puncak Gunung Kelinida yang datar itu,
tampaklah hamparan tanaman serupa ilalang yang berbuah lebat dan menguning
matang. Tanaman itu tepat di lokasi pembunuhan Bobi dan Nombi. Tanaman sejenis
itu belum pernah mereka lihat. Akhirnya, mereka sepakat untuk membawa pulang
dan merahasiakan "bulir-bulir rumput ilalang" itu. Setelah dikupas
oleh Ndale dan Sera, tampaklah biji-bijian yang berwarna putih dan merah yang
diasosiasikan oleh mereka penjelmaan daging dan darah Bobi dan Nombi.
Walaupun demikian,
ketika mereka tiba di kampung, tidak seorang pun yang berani menyantapnya.
Setelah bermusyawarah kembali bersama Mosalaki,
mereka sepakat agar "makanan" baru yang sudah dikupas itu diuji coba
makan oleh janda saja. Dasar perhitungannya, jikalau si janda itu nanti mati
keracunan "makanan" baru itu, niscaya kecil resiko dan tidak ada
orang yang menuntutnya. Janda Pare pun dipanggil. Pada mulanya Pare enggan dan
menolak makan karena ia juga takut mati. Namun, karena ia diancam oleh Mosalaki dan warga kampung itu, pada
akhirnya Pare pasrah dan rela makan dengan syarat, biji-bijian itu harus
dikupas dalam jumlah banyak. Dengan demikian, seandainya ia harus mati, ia
telah cukup puas menyantapnya. Dengan perasaan yang sangat cemas, percobaan
menyantap biji-bijian yang dilakukan oleh Pare disaksikan oleh semua orang.
Usai mencicipi segenggam, dua genggam, tiga, bahkan sampai beberapa genggam,
wajah Pare justru berseri-seri. Percobaan selanjutnya diikuti oleh Wole, juga
janda sebatang kara yang memang meminta dan menikmati biji-bijian baru itu.
Menyaksikan Pare dan Wole makan dengan penuh gembira, orang-orang sekampung itu
berminat keras untuk turut menikmati makanan baru itu. Jadilah biji-bijian yang
baru itu "menjelma" menjadi makanan utama bagi seluruh masyarakat
kampung itu. Kemudian, disusul pula dengan amanat agar tanaman itu ditanam
melalui ritual atau upacara khusus sebagai penghormatan dan rasa syukur serta
harus diwariskan kepada anak cucu.
Dari berbagai versi
sejarah yang masih samar juga menyebutkan secara rinci bahwa; Darah yang
berasal dari Bobi dan Nombi menjelma menjadi Beras merah (Pu'u Pare) yang mewakili setiap ritual adat Lio, sedangkan tulang
belulangnya menjelma menjadi Ubi kayu dan ubi jalar atau umbi-umbian (uwi kaju dan ndora, rose dan lain-lain),
giginya menjelma menjadi jagung (jawa),
rambutnya menjelma menjadi jagung solor (lolo
wete) serta jantungnya menjelma menjadi pisang (muku) dan lain sebagainya. Gunung Kelinida yang menjadi saksi
sejarah itu juga sering disebut kelindota karena di gunung (keli) ini telah terjadi pembunuhan
terhadap kedua anak manusia dengan cara dicincang (Ndota) menjadi onggokan daging sehingga menjelma menjadi makanan
pokok masyarakat Lio-Ende.
c.
Nilai Yang
Terkandung
Dari kisah mitos tersebut, mengisahkan
kepada kita secara tersirat bahwa sesungguh hidup harus memiliki suatu manfaat,
entah itu bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Artinya kita harus
menjalani dan mengerti jalan hidup kita itu hendak berjalan kemana. Sehingga
ada beberapa nilai yang bisa kita petik.
1) Pengorbanan untuk
orang lain
Dari mitos ini,
kita bisa melihat betapa dahsyatnya pengorbanan yang dilakukan oleh Bobi dan
Ndoi. Mereka berani merelakan nyawanya sekalipun untuk kehidupan orang banyak.
Karena dinilai sebagai orang yang menyebabkan terjadinya musibah (kemarau
panjang). Tetapi walaupun tak terbukti secara sah menurut hukum adat, mereka
tetap menerima hukumannya. Suatu pengorbanan yang luar biasa yang sulit untuk
ditemukan dalam masyarakat moderen saat ini.
2) Keberanian mengambil
risiko
Keberanian untuk
menghadapi berbagai ancaman dari luar ataupun pemimpin sungguh ditantang oleh
seorang janda. Ine pare berani mati
terhadap apa yang ingin dijalani. Ia mau saja memakan biji dari tanaman yang
tak dikenal.
3) Kekuatan cinta
Faktor yang membuat
manusia semakin tumbuh dan berkembang di dunia ini adalah cinta kasih. Apapun
masalah dan derita hidup ini bila dijalani atas dasar cinta, otomatis akan
membawa perubahan besar dalam keseharian hidup kita. Kita akan merasa penuh
dengan keajaiban yang mengalir tiada henti karena kita saling mencintai.
4) Bekerja keras
Untuk mendapat
sesuatu hasil yang baik tentunya kita harus berusaha. Kerja keras menjadi salah
satu kunci menuju ke sana. Demikian pula apabila kita hendak menikmati
kehidupan ini (dalam hal makanan yang enak dan bergizi). Kita harus berusaha
mendapat harga yang setimpal untuk membayarnya.
5) Jangan otoriter
bila ingin menjadi pemimpin
Kadang kala peimpin
dewasa ini leih banyak memerintah sesuai dengan keinginan dan kepentingan
mereka. Mereka lupa jika sebenarnya mereka menjadi pemimpin karena ada orang
yang dipimpin (masyarakat). Dalam mitos kita cenderung melihat keotoriteran mosalaki, sebagai pemimpin adat. Mereka
menilai semuanya sekehendak hati dengan ancaman dan paksaan apabila tak ada
yang mau mengikutinya.
d.
Jenis Padi Dalam
Istilah Pertanian Lokal
Menurut nama lokal, berikut adalah jenis padi ladang yang
diinventarisasi oleh tim peneliti : Are Rumbu ( desa Sokoria ), Are Sela ( Desa
Kurulimbu ), Are Laka ( Desa Wiwipemo), Are Obo (Desa Sokoria), Are Laka ( Desa
Roga ), Eko Ena ( Desa Ndua Ria), Ekondale (Desa Nggela), Ke’a Ria (Desa
Wiwipemo), Are Mera (desa Tenda), Are Kea Mboa (Desa Pemo), Ampera (Desa Roga).
Masing-masing jenis padi memiliki cirri-ciri yang berbeda tergantung pada
struktur tanah dan iklim daerah dimana tanaman dibudidayakan
e.
Kandungan Zat Gizi
Dalam Padi
Berikut ini digabungkan beberapa jenis beras beserta
kandungan gizinya:
Tabel
Kandungan Gizi Dalam Bebagai Jenis Beras
No
|
Jenis
Beras
|
Energi
(kal)
|
Protein
(g)
|
Lemak
(g)
|
Karbohidrat
(g)
|
1.
|
Beras
Giling
|
360
|
6.0
|
0.7
|
78.9
|
2.
|
Beras
Giling Masak (Nasi)
|
178
|
2.1
|
0.1
|
40.6
|
3.
|
Beras
Ketan Putih
|
362
|
6.7
|
0.7
|
79.4
|
4.
|
Beras
Ketan Putih, Tumbuk
|
361
|
7.4
|
0.8
|
78.4
|
5.
|
Beras
Ketan Putih, Kukus
|
163
|
3.0
|
0.4
|
35.7
|
6.
|
Beras
Ketan Putih, Tape
|
172
|
3.0
|
0.5
|
37.5
|
7.
|
Beras
Ketan Hitam
|
356
|
7.0
|
(0.7)
|
78.0
|
8.
|
Beras
Ketan Hitam, Tumbuk
|
360
|
8.0
|
2.3
|
74.5
|
9.
|
Beras
Ketan Hitam, Kukus
|
181
|
4.0
|
1.2
|
37.3
|
10.
|
Beras
Ketan Hitam, Tape
|
166
|
3.8
|
1.0
|
34.4
|
11.
|
Beras
Menir
|
339
|
7.7
|
4.4
|
73.0
|
12.
|
Beras
Merah Tumbuk
|
359
|
7.5
|
0.9
|
77.6
|
13.
|
Beras
Parboiled
|
364
|
(6.8)
|
0.6
|
80.1
|
14.
|
Beras
Pecah Kulit
|
335
|
7.4
|
1.9
|
76.2
|
15.
|
Beras
Setengah Giling
|
363
|
7.6
|
1.1
|
78.3
|
f.
Pengantar Akhir
Padi adalah salah
satu hasil bumi di indonesia pada umumnya dan Kabupaten Ende khususnya yang
akan diolah menjadi makanan pokok sehari-hari. Untuk itu maka kita harus
bersyukur untuk orang yang berusaha melestarikan dan bekerja untuk menghasilkan
makanan pokok kita ini. Apa jadinya bila padi menjadi musnah? Seberapa kuat
kita bertahan dengan produk olahan yang notabenenya berasal atau bahkan kurang
pas dengan lidah kita.satu hal lagi ialah maslah gizi akan terus meningkat.
m.rimanews.com |