Boti Diambang Kehilangan
Pintu Gerbang Menuju Istana Raja Boti |
Sekitar pukul 09. 42 pada tanggal 27 desember 2012, kami sampai di depan Istana Raja Boti. Pintu rumah
belum dibuka, ketika kami sudah duduk disambut Raja Boti. Usif Nama Benu. Baru
beberapa saat setelah kami duduk, pintu dibuka dari dalam oleh keponakan
perempuan Usif Nama Benu. Romo Amanche kemudian memberikan pinang yang kami
bawa serta dari Oenlasi, sambil memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud
kedatangan kami.
Perjalanan yang sedikit melelahkan akibat kondisi jalan yang belum semua
beraspal dan berlubang. Tapi, begitu kami sampai di depan gerbang menuju
istana, kelelahan itu berangsur sirna. Udara sejuk yang berhembus, serta
pemandangan yang masih asri khas masyarakat desa memanjakan mata kami. Dengan
sigap saya mulai membidikan kamera digital ke sana kemari. Mencari objek yang
bisa diabadikan sekaligus sebagai oleh-oleh dan bukti.
Dari beberapa pengamatan saya. Bisa dilihat masyarakat boti yang dulu
katanya sangat ketat dengan aturan mereka menjadi sungguh lain dengan apa yang
didengar selama ini.
Boti Melawan Tantangan Ekstern
Tak bisa dipungkiri semua yang ada di dunia selalu berubah. Perubahan
itu juga yang sekarang nampak pada berbagai segi kehidupan masyarakat boti.
Padahal sebelum kami ke sini, ada beberapa cerita pengalaman dari teman-teman,
bahwa boti adalah sebuah wilayah yang masih mempertahankan peradabannya.
Beberapa hal yang membuat saya berpendapat terjadi pengaruh luar yang
besar karena, nampak Istana Raja tidak lagi menggambarkan keaslian arsitekstur
sesuai dengan filosofi masyarakat setempat. Beratap seng dan kursi-kursi sofa
membuat peradaban lama yang menjadi ciri khas masyarakat boti seolah perlahan
ditinggalkan. Padahal nilai jual wisata yang mau dipamerkan adalah kondisi
asli, dengan kemauan mereka untuk mempertahankan keaslian tersebut.
Campur tangan pemerintah yang setengah-setengah juga menjadi semacam
godaan sekaligus racun mematikan. Dikatakan godaan karena, dengan melihat
berbagai fasilitas modern yang dihadiahkan bisa membuat pola pikir lama
masyarakat boti berubah. Mereka bisa beranjak ke pola modern karena dinilai
lebih mengesankan. Menjadi racun mematikan karena dengan dibukanya akses ke
boti membuat orang semakin banyak berkunjung. Hal ini menjadi sebuah kelunturan
nilai sakral yang menjadi dasar pijak masyarakat boti. Membuat mereka semakin
terbuka dengan berbagai kemungkinan yang ada.
Peradaban yang Akan Hilang
Terlalu naif, apabila saya mengatakan bahwa boti adalah suatu peradaban
yang akan hilang. Tetapi, melihat dengan gencarnya arus modernisme dengan
tawaran yang serba instan dan digital ini bisa jadi pola pikir masyarakat akan
berubah, sebagaimana dengan keinginan masyarakat yang terus berubah. Sebuah
pencarian tentang hidup yang hakiki yang tidak pernah kesampaian.
Beberapa tanda yang mulai nampak seperti beberapa rumah beratapkan seng.
Serta mulai memperkenalkan tembok semen. Menjadi persoalan yang seharusnya
tidak dianggap sepele oleh berbagai pihak. Pemerintah dalam hal ini yang
bekerja untuk mengatur kesejahteraan masyarakat seharusnya lebih peka.
Hal lain yang cukup mendasar adalah pendidikan. Dengan gencarnya
pemerintah mengkampanyekan pendidikan. Membuat semua masyarakat berusaha
menyekolahkan anak-anak mereka. Memang dampak yang ditimbulkan adalah untuk
mencerdaskan generasi penerus bangsa. Bagi suku boti, hal ini justru menjadi
sebuah ancaman. Di saat anak-anak mereka bersekolah, mereka dituntut untuk
memiliki syarat administrasi yang rumit. Harus memiliki memiliki agama resmi di
indonesia merupakan suatu hal yang sangat
wajib hukumnya. Hal ini membuat anak-anak Boti berada di persimpanagn. Di satu sisi mereka ingin
mengenyam pendidikan, di sisi lain mereka harus rela membangkang terhadap
aturan atau adat istiadat yang telah ditetapkan sejak nenek moyang mereka.
Konkritnya, mereka yang bersekolah akan memilih salah stau agama resmi
di negara ini. Padahal dalam aturan kerajaan boti, mereka harus tetap menjalani
kebudayaan asli mereka. Apabila mereka menganut agama tertentu maka otomatis
mereka harus meninggalkan kepercayaan Halaika
kepada Uis Neno Ma Uis Pah.
Mereka akan dikeluarkan dari peradaban boti. Pemerintah memang mengakui aliran
kepercayaan di indonesia, tetapi munculnya aturan administrasi di sekolah
membuat seolah pengakuan pemerintah akan aliran kepercayaan itu menjadi antara
ada dan tiada.
Bila kepercayaan
dan aturan adat Boti dilanggar, sanksi adat siap diterapkan, seperti dikucilkan
dan tidak diakui sebagai penganut Halaika. Itulah sebuah norma yang membuat banyak anak-anak boti dikeluarkan dari
komunitasnya. Dengan ini, secara tidak langsung pemerintah telah berusaha
menghilangkan sebuah peradaban.
Catatan Akhir
Boti adalah warisan kebudayaan dari salah satu rumpun masyarakat
flobamora yang semestinya harus dipertahankan. Selain untuk menunjukan
kebuadayaan kita kepada masyarakat luar, juga berfungsi sebagai salah satu
objek wisata yang bisa memberikan kontribusi pendapatan daerah. Sayang, di saat
orang mulai meliriknya menjadi salah satu tujan wisata, boti justru masih
tenggelam dalam keangkuhan politis pemerintah. Akses yang belum maksimal,
promosi yang kurang serta campur tangan dalam pembangunan di masyarakat boti
yang setengah hati membuat boti menjadi semacam anak tiri, yang disepelekan.
Perumusan pembangunan peradaban dan kepariwisataan yang belum bersinergi
membuat boti yang dulu dan sekarang tetap sama saja. Ada sebuah lelucon yang saya
lihat di buku tamu kerajaan. Beberapa wisatawan asing menulis tidak tahu untuk
kolom maksud/tujuan ke boti. Sebuah hal biasa yang mesti kita refleksikan
bersama.
Inkulturasi menurut hemat saya yang seharusnya diketengahkan antara
pemerintah daerah dan masyarakat boti. Jalan keluarnya agar keduanya sama-sama
diuntungkan sehingga tidak ada ketimpangan yang terjadi. Semoga pemerintah dan
semua stakeholdernya lebih peka terhadap berbagai masalah yang ada ditengah
masyarakat marginal.
1 komentar:
Write komentarsaatnya anak cucunya yang membangun,,,,
Reply