WATU TEGUH
Watu Teguh di Kepi (Wawo) |
Kehidupan bermasyarakat selalu berubah. Perubahan itu mempunyai dinamika
tersendiri, yang bedampak pada berbagai macam permasalahan sosial. Pada
hakikatnya masyarakat tradisional kita juga mengalami hal yang sama. Salah satu
kecenderungan manusia untuk berpikir mebawa perubahan tersendiri pada
kehidupannya.
Sejarah peradaban manusia memberikan berbagai tahapan terhadap aspek
kehidupan yang dilalui. Dari awal manusia masih sendiri-sendiri di gua-gua
sampai pada tahap manusia berusaha untuk membentuk suatu perkumpulan. Dari
perkumpulan itu, berlaku hukum rimba.yang terkuatlah yang memimpin. Sehingga
muncullah segala bentuk kerajaan dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Kerajaan di Flores sendiri termasuk ende, belum bisa dikategorikan sebagai
kerajaan utuh karena hanya berlaku berdasarkan suku.
Kemudian terjadi perubahan besar di wilayah ende, setelah masuknya penjajah dari bangsa portugis sekitar abad ke
15. Pengaruh baratpun masuk dan memberikan banyak kontribusi dari segala aspek.
Termasuk aspek kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (di sini sebenarnya
awal terjadi inkulturasi budaya). Bertambah lagi dengan masuknya pedagang dari
kerajaan Goa sulawesi pada abad yang sama. Hal ini bisa dilihat dari munculnya
kerajaan di Ende (raja ende) dan berbagai peninggalan kebudayaan seperti zambu (baju bodo) serta aksara lota. keduanya ini berasal dari
kerajaan Goa.1Tidak terlepas dari pengaruh peradaban lain, di rajawawo secara umumnya,
muncul berbagai penguasa kampung (mosalaki). Berdasarkan cerita-cerita orang
tua di kampung kepi, zaman dahulu ada seorang penguasa di kampung kepi yang
bernama Teguh. Ia seorang yang cukup berada dari segi ekonomi dan memiliki
kharisma. Teguh menjadi orang terpandang. Melalui kedudukannya tersebut maka ia
berhak memerintah dan mlakukan hal apa saja yang menurutnya berguna bagi
kehidupan masyarakat di kampung kepi.
Dari situ, dilakukan sebuah kegiatan untuk membuat singgasananya.
Masyarakat seluruh kampung berbondong datang untuk menarik batu yang nantinya
digunakan sebagai tempat duduk atau singgasana untuk penguasa mereka. Maka
sampai sekarang jika kita ke kampung kepi, kita melihat ada dua buah batu datar
yang cukup besar, berada di tengah kampung. Batu tersebut sebenarnya tempat
duduk untuk penguasa (ata mere nua) mereka yang bernama Teguh. Samapi sekarang
orang menamai batu itu watu (Batu) teguh (Teguh: nama penguasa waktu itu).2
Teguh senantiasa duduk di atas batu itu dalam kesehariannya sebagai
penguasa kampung. Adapun beberapa penggalan lagu yang dinyanyikan oleh
orang-orang pada saat menarik batu. Nyanyian ini sebagai sebuah sugesti untuk
membangkitkan semangat mereka.
Wira jo Oo….
Hela e…
Hela!
Hela!3
__________________________________
Catatan:
1 sumbernya diambil
dari : http://watuneso.blogspot.com
2 Nara sumber Bapak
Andreas Gande pada tanggal 29 Januari 2013 dan Bapak Bonefasius Bume pada
tanggal 5 Februari 2013.