SEPI SEPIRING : Sebuah Monolog
(Lukisan
buram pengungsi Rokatenda)
Foto sebagai ilustrasi dari: bloggerntt.org |
Lamat-lamat
suasana sebuah ruangan yang gelap dan pengap, seperti seolah disinari. Dari balik
celah-celah gubuk yang reot. Cahaya mulai memaksa masuk dengan kecepatannya
yang super. Seorang bocah terdiam. Duduk menyamping seorang bocah lain yang
sedang tidur pulas. Nampak kain sarung yang robek sana-sini, tikar yang bolong
serta bantal yang sudah tercerai berai kapuknya. Sang bocah yang sedang duduk
tadi mulai bersuara.
Wahai, kalian semua
yang wahai, alangkah wahai kalian yang semua.
Adikku ini, tertidur. Belum
makan semalaman (raut sedih, seperti
meringis kesakitan)
Kalian tahu kenapa?? (berteriak
membentak. Seperti menunjuk ke orang yang tak ada di depannya).
Ladang kami telah
berbuah nasib. Nasib pahit seperti mencecapi debu-debu musim kemarau yang
getir. Debu dan kumpulan kerikil maupun batu jahaman itu, telah
memporak-porandakan semuanya.
Semuanya! (berteriak).
Jagung yang sedang
asyik mempertemukan serbuk dan putiknya telah memar sebelum bermekaran. Aduhai,
alangkah sakitnya. Sakit yang mahasakit karena cinta diretas sebelum
benar-benar mencinta. Jagung tak berbulir lagi.
Padi, kelapa, pisang
diladang kami. Seperti busung lapar yang menggerogoti sisa usia mereka. Tak ada
nafas. Hanya tinggal sengal duka menuju kematian dengan penuh luka.
Kami makan, apa? Air saja
susah. Benar-benar membenarkan hipotesis bahwa air itu sumber kehidupan.
Kami ingin berteriak
membantah. Biarlah semuanya berlalu tanpa ada bencana ini. Aman seperti sediakala. Tapi tak bisa. Kami telah menjadi pilihan oleh Sang Khalik akan bencana
ini sebagai sebuah ujian akan iman dan silih dosa kami.
Kami hanya meratap. Akupun
turut serta dengan orang dewasa lainnya. Mama-mama. Meratap hingga air mata
kami, kami hirup lagi dengan asin getirnya untuk menyambung lagi hidup kami
yang tersisa.
Mau meminta, pada
siapa? Kami lupa cara menadahkan tangan yang benar dari pintu ke pintu, dari
hati ke hati, karena berita tentang duka kami saja kalah dengan guyonan cerdas
para elite politik dalam memperebutkan kekuasaan.
Koran kebanggaan negeri
tercinta ini saja, telah menjadi sebuah wadah untuk mengkalkulasikan kalah
menang, untung tidaknya para pejabat dalam mendapatkan kedudukan.
Kemarin, ketika hendak
memproklamirkan diri mereka sebagai calon pemimpin yang beradab, mereka sungguh
telah dengan rendah hati masuk ke kehidupan kami yang paling sahaya. Mereka benar-benar
seperti saudara. Berkelakar, tertawa, riang gembira bersama kami. Bahkan dengan
girangnya mereka asyik bermain lumpur bersamaku dan teman-teman di lapangan
miring desa kami senja itu.
Kalian tahu? Mereka sungguh,
seperti amat peduli pada kami. Bahkan anjing tetangga yang mati pun mereka
datang bersama untuk melayat. Sungguh di atas perikemanusian seorang manusia. Sekarang
nyatanya?
Dan kalian-kalian ini,
yag sedang menontonku dengan perasaan iba yang palsu. Jangan pernah lagi
memandangku dengan kasihan yang tak berhingga. Kalian hanyalah semata
reinkarnasi peradaban yang kalian pinjam dari sudut-sudut kebun binatang. Enyalah
kalian dari hadapanku.
Biarlah kesusahanku
menjadi lambang ketegaranku melawan penderitaan. Aku tak mau berkeluh kesah
kepada telinga yang hanya mendengar tanpa meresap ke hati yang terdalam.
Kalian diam? (agar
bergetar)
Benarkan (setengah
berteriak)
Jawab?? (lebih keras)
Hahahahahahaaaa....
Kalian hanya pembeo. Ayo
terbang saja ke mana kalian suka. Toh, kalian bangsa unggas!
(Terderang
piring-piring berdentingan di luar rumah.
Sang
kakak tadi membangunkan adiknya)
Ayo,..
Bangun dik!
Tu orang sudah pada
membunyikan piring, seperti ritual kecil ketika bapa hendak memberi makan nenek
moyang. Bangun, nanti keburu habis nasinya, diburu sama anak-anak tetangga. Ayo..
Atau kau ingin, kaka
saya yang menyuapimu. Ayo. Pilih yang mana. Wah, di luar ada nasi goreng, ayam
goreng, ada juga susu yang baru habis di perah dari kandang milik om djebe. Ayo..
ayolah...
Hey, bangun! Jangan tidur
saja kerjamu (sedikit keras ke adik di sampingnya yang masih pulas.)
Biar, biar kaka saja
yang mengambilnya.
(Membunyikan
piring dengan sendoknya...)
Aku datang. Hey tukang
nasi goreng. (memanggil petugas yang
membagikan jatah makan pagi di luar)
(Masih
nampak ruang yang sama. Musik mengalun dengan miris. Beberapa menit kemudian
sang kakak masuk lagi)
Nasi... nasi... siapa
mau??
Sepi.
Sang adik masih asyik mengayun dengan mimpinya.
Hhmmm... jangan buat
kaka marah di pagi ini. Bangun sudah. Ini ada nasi dengan sayur. Daun ubi. Wah,
enak sekali. Ayo.. makan.
(Sang
kakak, sepertinya tak bisa menahan geram. Menggoyangkan tubuh adiknya dengan
keras)
Bangun...
(Masih
kaku. Seperti beku)
Tubuhmu dingin (seperti berbisik ke diri sendiri)
Bangun!
Bangun!
(Tubuh
itu masih saja kaku)
Hah??
(Piring
berdenting, airmata jatuh)
Tolonggggg.....
Rumah senja, 8 april 2013