KUPANG WAKTU HUJAN
gambar sebagai ilustrasi |
Hari kamis. Pada suatu kota yang kering dan
berbatu. Karang. Kupang, orang sering menamainya. Menyebutnya bahkan
berteriaknya kondektur mikrolet. Saat pertama kali aku ke kota ini. Dan kupang di hari itu, aku bingung. Gelisah
dengan langit mendung. Alam yang tak bersahabat. Sebentar lagi pasti hujan.
Berbagai pikiran menyusup di batok kepalaku ini. Aku harus segera pulang ke
hotel tempat aku menginap, sebelum hujan membasahi bumi yang dipenuhi karang
ini.
Kuberlari ke halte terdekat. Lima meter dari
tempat aku melaporkan diri untuk pelatihan keesokan harinya. Kantor cabang yang
merupakan kantor perusahan kami. Seorang pengendara sepeda motor mengumpat
dengan logat kupang yang kental. Aku hanya bisa pasrah. Lagipula aku tidak bisa
berbuat apa-apa, karena setelah mengumpat, ia berlari menjauh. Coba dia
berhenti, pasti akan kuhajar sampai babak belur, aku membatin.
Masih di halte itu. Aku menunggu mikrolet yang
lewat. Teman sekantorku yang dulu pernah kuliah di kota ini telah berpesan. Menanti
mikrolet sesuai dengan linenya. Lampu, bahasa
kupangnya. Kupang itu kota yang keren. Mikrolet berjalan sesuai dengan jalur
dan warnanya. Tidak macam kita di sini. Terlalu sembarang. Ngawur, semaunya.
Begitulah ia bercerita tentang kupang, ketika aku bertanya sebelum ke sini.
Hujan rintik perlahan semakin besar. Sementara
mikrolet yang ditunggu belum aku tumpangi. Memang, beberapa mikrolet yang lewat
sesuai dengan jalur yang aku tuju, tetapi selalu terpenuh oleh penumpang.
Terpaksa aku harus menunggu. Menanti dengan harapan agar mikrolet yang lewat
berikut bisa aku tumpangi.
Tiga orang gadis berlari mendekat ke halte
tempat aku berteduh. Berlari sambil tertawa. ‘Mungkin menertawai diri mereka
yang seperti anak kecil di kampungku, berlari dengan telanjang (tapi mereka
tidak telanjang sekarang.) mandi hujan. Mungkin juga tertawa akan kelucuan
sebelum hujan menemani perjalanan mereka.’ Seorang gadis lagi datang mendekat. Memarkir
sepeda motornya di sebelah, di dekat halte itu, lalu menyusul di samping ke
tiga gadis tadi. Aku masih mematung di sudut. Diam. Bahkan dingin, sedingin
udara siang itu.
Di halte yang cukup kecil ini. Aku mematung.
Sementara hujan mulai berlaku aneh. Dipengaruhi oleh angin, tetes-tetes air
dari langit itu mulai berterbangan dari arah belakangku. Pertama mulai
membasahi tumit sepatu. Lama-lama semakin liar. Naik sampai di betis. Aku masih
tak peduli. Tetap mematung. Padahal setengah celana jeans-ku telah basah kuyup. Tak beringsut sedikitpun. Di sampingku,
ketiga gadis tadi mulai mengeluh. Mengoceh dengan nada aneh. Tak sedap
didengar.
Beberapa mikrolet berlalu. Bukan mikrolet
tujuanku. Ketiga gadis tadi menumpang. Meninggalkan renyah tawa tersisa
ditelingaku. Mereka begitu bersemangat. Bercerita tanpa putusnya. Kadang
menceritakan hal yang sama-sama mereka lakukan. Aneh, sudah sama-sama tahu
tetapi, masih saling bercerita.
Tinggal seorang gadis. Aku perlahan ke bagian
tengah halte. Menghindari air hujan yang semakin asyik membasahi kaki-kakiku.
Gadis tadi juga melakukan hal yang sama. Bergeser ke tengah. Takut basah juga
dia rupanya, aku terus membatin.
Sesekali aku melirik ke arahnya. Melihat
kegelisahan yang tergambar jelas di wajahnya. Mungkin, gelisah karena takut
terlambat ke suatu tempat yang hendak ia tuju. Mungkin juga rasa lapar yang
mendera. Tahu sendiri. Dingin begini rasanya terus ingin makan dan makan. Ya,
dingin selalu menghadirkan rasa lapar. Membuat kita tak mempertimbangkan waktu
makan yang biasa ditaati tiap hari. Lagi-lagi aku membatin.
Ekor mataku belum lepas benar dari wajah gadis
itu. Aku langsung
dengan cepat memalingkan wajahku ke arah lain, begitu ia berusaha melirikku.
Kami saling mencuri pandang. Melirik apabila ada kesempatan. Setelah itu
pura-pura acuh, begitu bola mata kami hendak saling beradu. Sebuah kebiasaan
manusiawi yang sering kulakukan begitu melihat makhluk yang bernama perempuan.
Ini termasuk dalam kebiasaan buruk atau baik, aku sendiri juga tak mampu
menilai. Individu tak mampu menilai dirinya sendiri.
ilustrasi |
Entah siapa yang salah. Pada saat bersamaan
mata kami saling beradu. Saling melihat. Muka ke muka. Telak. Aku sedikit
kikuk. Menyadari perilakuku sejak beberapa menit yang lalu diketahui orang
lain. Wah, tertangkap basah namanya. Kami berdua menjadi kaku. Tak tahu harus
berbuat apa. Dia kemudian tersenyum padaku. Menampakan gingsulnya di sebelah
kiri deretan giginya yang putih rapi. Aku masih antara ragu, malu dan kaku.
Membalas senyumannya.
“Belum pulang???” aku bertanya. Ia mengangguk.
Setelahnya, aku baru sadar. Ternyata itu pertanyaan paling tolol. Pertanyaan
yang seharusnya tidak mesti ditanyakan. Pertanyaan semacam ini, sungguh bukan
pertanyaan. Anak SD sekalipun tak akan melakukan basa-basi seperti ini. Sudah
tahu, sekarang hujan. Masih deras. Ah, sungguh pertanyaan tolol. Ia kembali
bertanya tujuanku. Menjelaskan sedikit tentang kendaraan yang harus aku
tumpangi, begitu aku mengatakan bahwa aku orang baru. Baru sehari di kotanya.
Beberapa mikrolet yang yang sesuai tujuanku
berlalu. Aku masih tak hendak menumpanginya. Padahal hanya ada beberapa
penumpang di dalamnya. Aku masih mau di sini. Gadis tadi melihat ke arahku.
Menganggukan kepalanya begitu mikrolet itu berhenti tepat di depanku. Aku
menggelengkan kepala.
“Kenapa tidak numpang??” ia bertanya. Karena
sudah tiga mikrolet yang lewat.
“Masih ingin di sini.” Kujawab sekenanya sambil
tersenyum. Padahal dalam hati aku ingin lebih lama bersamanya. Bercerita.
Saling tanya jawab. Berharap ada celah. Agar perkenalan ini tidak hanya sampai
di sini. Mungkin bisa berlanjut. Mendapatkan nomor hape. Saling sms. Saling
mengingatkan. Saling telepon. Pendekatan. Mengajak jalan-jalan. Berpacaran dan
berakhir di tenda biru. Menikah.
Lagi pula aku mau sok perhatian. Menunggunya
sampai hujan reda. Mengantarnya pulang. Setelah itu aku boleh kembali ke
penginapanku. Ya, aku hendak bersikap seperti lelaki yang ada di novel-novel
yang pernah aku baca.
Dalam batok kepalaku aku mengkawatirkan yang
bukan-bukan. Aku takut, setelah aku pulang. Segerombol pria mabuk datang
ditengah hujan. Menculik gadis itu. Mebawanya ke suatu tempat. Melucuti semua
pakaian yang ia kenakan. Lalu menggilirnya satu per satu. Setelah itu, tubuhnya
yang sudah tak berdaya, dimutilasi. Dipotong tak berukuran. Dan dibuang ke
laut.
Aku berharap pemuda mabuk itu melakukannya dihadapanku.
Maka, aku akan menghajar mereka satu per satu sampai babak belur. Aku yakin.
Mereka akan menyerah. Berlari meninggalkan kami dengan sempoyongan. Dan setelah
mereka sadar dari mabuknya mereka akan sangat menyesal. Mungkin juga dengan keberadaanku
di sini. Mereka akan mengurungkan niat jahatnya.
Pikiranku sebagai lelaki hebat. Yang senantiasa
ada ketika para gadis berada dalam bahaya berterbangan kian kemari. Aku akan
menjadi sosok yang sangat digandrungi semua gadis. Pahlawan. Pelindung para
perawan.
Sebuah sepeda motor dengan bunyi racing, meraung. Mengagetkanku dari
pikiran yang bersiliweran. Suara mendekat dan dengan kasar ia memarkirkan
motornya di depan halte. Pengemudinya dalam keadaan basah kuyub. Dalam sekejap
saja sesuatu yang tak kubayangkan terjadi. Tanpa ada suara sedikitpun, pemuda
itu menampar pipi gadis yang sedari tadi berdiri di halte bersamaku.
“Pulang sekarang!!!” masih dengan kasarnya.
“Tidak mau!!!” gadis itu meladeni. Kasar pula.
Lelaki tadi mengumpat. Memarahi dengan seribu
cara. Mereka saling beradu mulut tanpa mempedulikanku yang juga ada di situ. Kali
ini sebuah tamparan balasan dari gadis itu. Sementara aku sudah mengatur
sedikit jarak. Menggeserkan badanku sedikit ke kanan. Menyudut di halte. Tidak
enak juga mendengar orang lain bertengkar.
Mereka saling mengatai. Menuding dan membongkar
kesalahan. Rupanya mereka berdua dalam sebuah masalah keluarga. Aku hanya
mendengar pertengkaran mereka. Semua lamunanku tentang lelaki sejati, pahlawan
bagi kaum perempuan sirna tak berbekas. Tak berkutik dengan masalah seperti
ini. Ah, aku lupa mengimpikan bagaimana menyelesaikan maslah seperti ini.
Dengan terisak gadis itu pulang. Mengemudi
sepeda motornya. Lelaki yang bertengkar dengannya tadi mengekor dari belakang.
Mukanya masih dengan penuh amarah. Mereka lalu menghilang dibalik hujan yang
masih deras. Aku tersenyum. Lucu dengan lamunanku yang tak sesuai kenyataan.
Sebuah mikrolet berhenti lagi di depanku.
Menawari aku sesuai jalur yang mereka lewati. Dengan sigap aku menumpanginya.
Duduk pada bangku paling belakang. Menghindari diriku agar tidak membasahi
orang lain. Mikroletpun melaju perlahan menerobos hujan yang perlahan menampakan tanda-tanda reda.
Aku mengintip lewat kaca belakang. Melihat,
barangkali sudah dekat dengan tujuanku. Beberapa penumpang yang ada bersamaku,
telah turun. Tinggal dua orang saja. Mikrolet yang kutumpangi berhenti. Seseorang
hendak menumpang. Aku masih mengintip dari kaca belakang. Tak menghiraukan
keadaan di sekeliling. Seseorang yang baru menumpang menginjak sepatuku. Dengan
refleks aku menarik kakiku. Melihat siapa gerangan yang telah mengotori
sepatuku. Ah, seorang gadis. Aku jelas melihat wajahnya ketika ia duduk tepat
berhadapan denganku.
Gadis itu tersenyum. Aku kaget. Gadis yang di
halte tadi. Nampak matanya masih merah. Air mata masih, hendak keluar dari
matanya. Ketika aku hendak bicara, ia menyodorkan tangannya.
“Ariny!!” katanya dengan suara serak.
Aku tersenyum. Mengkerutkan dahiku. Melepaskan
salaman tadi.
“Jhona”
“Itu tadi suamiku. Kami dalam suatu masalah” ia
mulai bercerita.
Aku masih ingin mendengar ceritanya. Sayang,
aku telah sampai ditujuanku.
“maaf, tidak bisa mendengarkan ceritamu lebih
lama. Aku harus turun sekarang” kataku sambil memberi tanda supaya mikrolet
berhenti.
“tunggu!!!” “ini nomorku handphoneku!” katanya
ketika aku beranjak turun.
Aku meraih ponselku. Mencatat nomor yang ia
bisikan.
“sampai ketemu!” aku menuruni mikrolet.
Ia masih melihatku dari dalam mikrolet.
Melambaikan tangannya lewat jendela. Sementara aku nampak belum yakin dengan
peristiwa tadi. Kubaca berulang nomor yang kucacat. Mikrolet menjauh.
Menghilang. Gadis itu belum hilang dari ingatanku.
Naikolan, Awal Mei 2012