KUPANG WAKTU HUJAN

April 13, 2013 0 Comments A+ a-


gambar sebagai ilustrasi

Hari kamis. Pada suatu kota yang kering dan berbatu. Karang. Kupang, orang sering menamainya. Menyebutnya bahkan berteriaknya kondektur mikrolet. Saat pertama kali aku ke kota ini.  Dan kupang di hari itu, aku bingung. Gelisah dengan langit mendung. Alam yang tak bersahabat. Sebentar lagi pasti hujan. Berbagai pikiran menyusup di batok kepalaku ini. Aku harus segera pulang ke hotel tempat aku menginap, sebelum hujan membasahi bumi yang dipenuhi karang ini.
Kuberlari ke halte terdekat. Lima meter dari tempat aku melaporkan diri untuk pelatihan keesokan harinya. Kantor cabang yang merupakan kantor perusahan kami. Seorang pengendara sepeda motor mengumpat dengan logat kupang yang kental. Aku hanya bisa pasrah. Lagipula aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena setelah mengumpat, ia berlari menjauh. Coba dia berhenti, pasti akan kuhajar sampai babak belur, aku membatin.
Masih di halte itu. Aku menunggu mikrolet yang lewat. Teman sekantorku yang dulu pernah kuliah di kota ini telah berpesan. Menanti mikrolet sesuai dengan linenya. Lampu, bahasa kupangnya. Kupang itu kota yang keren. Mikrolet berjalan sesuai dengan jalur dan warnanya. Tidak macam kita di sini. Terlalu sembarang. Ngawur, semaunya. Begitulah ia bercerita tentang kupang, ketika aku bertanya sebelum ke sini.
Hujan rintik perlahan semakin besar. Sementara mikrolet yang ditunggu belum aku tumpangi. Memang, beberapa mikrolet yang lewat sesuai dengan jalur yang aku tuju, tetapi selalu terpenuh oleh penumpang. Terpaksa aku harus menunggu. Menanti dengan harapan agar mikrolet yang lewat berikut bisa aku tumpangi.
Tiga orang gadis berlari mendekat ke halte tempat aku berteduh. Berlari sambil tertawa. ‘Mungkin menertawai diri mereka yang seperti anak kecil di kampungku, berlari dengan telanjang (tapi mereka tidak telanjang sekarang.) mandi hujan. Mungkin juga tertawa akan kelucuan sebelum hujan menemani perjalanan mereka.’ Seorang gadis lagi datang mendekat. Memarkir sepeda motornya di sebelah, di dekat halte itu, lalu menyusul di samping ke tiga gadis tadi. Aku masih mematung di sudut. Diam. Bahkan dingin, sedingin udara siang itu.
Di halte yang cukup kecil ini. Aku mematung. Sementara hujan mulai berlaku aneh. Dipengaruhi oleh angin, tetes-tetes air dari langit itu mulai berterbangan dari arah belakangku. Pertama mulai membasahi tumit sepatu. Lama-lama semakin liar. Naik sampai di betis. Aku masih tak peduli. Tetap mematung. Padahal setengah celana jeans-ku telah basah kuyup. Tak beringsut sedikitpun. Di sampingku, ketiga gadis tadi mulai mengeluh. Mengoceh dengan nada aneh. Tak sedap didengar.
Beberapa mikrolet berlalu. Bukan mikrolet tujuanku. Ketiga gadis tadi menumpang. Meninggalkan renyah tawa tersisa ditelingaku. Mereka begitu bersemangat. Bercerita tanpa putusnya. Kadang menceritakan hal yang sama-sama mereka lakukan. Aneh, sudah sama-sama tahu tetapi, masih saling bercerita.
Tinggal seorang gadis. Aku perlahan ke bagian tengah halte. Menghindari air hujan yang semakin asyik membasahi kaki-kakiku. Gadis tadi juga melakukan hal yang sama. Bergeser ke tengah. Takut basah juga dia rupanya, aku terus membatin.
Sesekali aku melirik ke arahnya. Melihat kegelisahan yang tergambar jelas di wajahnya. Mungkin, gelisah karena takut terlambat ke suatu tempat yang hendak ia tuju. Mungkin juga rasa lapar yang mendera. Tahu sendiri. Dingin begini rasanya terus ingin makan dan makan. Ya, dingin selalu menghadirkan rasa lapar. Membuat kita tak mempertimbangkan waktu makan yang biasa ditaati tiap hari. Lagi-lagi aku membatin.
Ekor mataku belum lepas benar dari wajah gadis itu. Aku langsung dengan cepat memalingkan wajahku ke arah lain, begitu ia berusaha melirikku. Kami saling mencuri pandang. Melirik apabila ada kesempatan. Setelah itu pura-pura acuh, begitu bola mata kami hendak saling beradu. Sebuah kebiasaan manusiawi yang sering kulakukan begitu melihat makhluk yang bernama perempuan. Ini termasuk dalam kebiasaan buruk atau baik, aku sendiri juga tak mampu menilai. Individu tak mampu menilai dirinya sendiri.
ilustrasi
Entah siapa yang salah. Pada saat bersamaan mata kami saling beradu. Saling melihat. Muka ke muka. Telak. Aku sedikit kikuk. Menyadari perilakuku sejak beberapa menit yang lalu diketahui orang lain. Wah, tertangkap basah namanya. Kami berdua menjadi kaku. Tak tahu harus berbuat apa. Dia kemudian tersenyum padaku. Menampakan gingsulnya di sebelah kiri deretan giginya yang putih rapi. Aku masih antara ragu, malu dan kaku. Membalas senyumannya.
“Belum pulang???” aku bertanya. Ia mengangguk. Setelahnya, aku baru sadar. Ternyata itu pertanyaan paling tolol. Pertanyaan yang seharusnya tidak mesti ditanyakan. Pertanyaan semacam ini, sungguh bukan pertanyaan. Anak SD sekalipun tak akan melakukan basa-basi seperti ini. Sudah tahu, sekarang hujan. Masih deras. Ah, sungguh pertanyaan tolol. Ia kembali bertanya tujuanku. Menjelaskan sedikit tentang kendaraan yang harus aku tumpangi, begitu aku mengatakan bahwa aku orang baru. Baru sehari di kotanya.
Beberapa mikrolet yang yang sesuai tujuanku berlalu. Aku masih tak hendak menumpanginya. Padahal hanya ada beberapa penumpang di dalamnya. Aku masih mau di sini. Gadis tadi melihat ke arahku. Menganggukan kepalanya begitu mikrolet itu berhenti tepat di depanku. Aku menggelengkan kepala.
“Kenapa tidak numpang??” ia bertanya. Karena sudah tiga mikrolet yang lewat.
“Masih ingin di sini.” Kujawab sekenanya sambil tersenyum. Padahal dalam hati aku ingin lebih lama bersamanya. Bercerita. Saling tanya jawab. Berharap ada celah. Agar perkenalan ini tidak hanya sampai di sini. Mungkin bisa berlanjut. Mendapatkan nomor hape. Saling sms. Saling mengingatkan. Saling telepon. Pendekatan. Mengajak jalan-jalan. Berpacaran dan berakhir di tenda biru. Menikah.
Lagi pula aku mau sok perhatian. Menunggunya sampai hujan reda. Mengantarnya pulang. Setelah itu aku boleh kembali ke penginapanku. Ya, aku hendak bersikap seperti lelaki yang ada di novel-novel yang pernah aku baca.
Dalam batok kepalaku aku mengkawatirkan yang bukan-bukan. Aku takut, setelah aku pulang. Segerombol pria mabuk datang ditengah hujan. Menculik gadis itu. Mebawanya ke suatu tempat. Melucuti semua pakaian yang ia kenakan. Lalu menggilirnya satu per satu. Setelah itu, tubuhnya yang sudah tak berdaya, dimutilasi. Dipotong tak berukuran. Dan dibuang ke laut.
Aku berharap pemuda mabuk itu melakukannya dihadapanku. Maka, aku akan menghajar mereka satu per satu sampai babak belur. Aku yakin. Mereka akan menyerah. Berlari meninggalkan kami dengan sempoyongan. Dan setelah mereka sadar dari mabuknya mereka akan sangat menyesal. Mungkin juga dengan keberadaanku di sini. Mereka akan mengurungkan niat jahatnya.
Pikiranku sebagai lelaki hebat. Yang senantiasa ada ketika para gadis berada dalam bahaya berterbangan kian kemari. Aku akan menjadi sosok yang sangat digandrungi semua gadis. Pahlawan. Pelindung para perawan.
Sebuah sepeda motor dengan bunyi racing, meraung. Mengagetkanku dari pikiran yang bersiliweran. Suara mendekat dan dengan kasar ia memarkirkan motornya di depan halte. Pengemudinya dalam keadaan basah kuyub. Dalam sekejap saja sesuatu yang tak kubayangkan terjadi. Tanpa ada suara sedikitpun, pemuda itu menampar pipi gadis yang sedari tadi berdiri di halte bersamaku.
“Pulang sekarang!!!” masih dengan kasarnya.
“Tidak mau!!!” gadis itu meladeni. Kasar pula.
Lelaki tadi mengumpat. Memarahi dengan seribu cara. Mereka saling beradu mulut tanpa mempedulikanku yang juga ada di situ. Kali ini sebuah tamparan balasan dari gadis itu. Sementara aku sudah mengatur sedikit jarak. Menggeserkan badanku sedikit ke kanan. Menyudut di halte. Tidak enak juga mendengar orang lain bertengkar.
Mereka saling mengatai. Menuding dan membongkar kesalahan. Rupanya mereka berdua dalam sebuah masalah keluarga. Aku hanya mendengar pertengkaran mereka. Semua lamunanku tentang lelaki sejati, pahlawan bagi kaum perempuan sirna tak berbekas. Tak berkutik dengan masalah seperti ini. Ah, aku lupa mengimpikan bagaimana menyelesaikan maslah seperti ini.
Dengan terisak gadis itu pulang. Mengemudi sepeda motornya. Lelaki yang bertengkar dengannya tadi mengekor dari belakang. Mukanya masih dengan penuh amarah. Mereka lalu menghilang dibalik hujan yang masih deras. Aku tersenyum. Lucu dengan lamunanku yang tak sesuai kenyataan.
Sebuah mikrolet berhenti lagi di depanku. Menawari aku sesuai jalur yang mereka lewati. Dengan sigap aku menumpanginya. Duduk pada bangku paling belakang. Menghindari diriku agar tidak membasahi orang lain. Mikroletpun melaju perlahan menerobos hujan yang perlahan menampakan tanda-tanda reda.
Aku mengintip lewat kaca belakang. Melihat, barangkali sudah dekat dengan tujuanku. Beberapa penumpang yang ada bersamaku, telah turun. Tinggal dua orang saja. Mikrolet yang kutumpangi berhenti. Seseorang hendak menumpang. Aku masih mengintip dari kaca belakang. Tak menghiraukan keadaan di sekeliling. Seseorang yang baru menumpang menginjak sepatuku. Dengan refleks aku menarik kakiku. Melihat siapa gerangan yang telah mengotori sepatuku. Ah, seorang gadis. Aku jelas melihat wajahnya ketika ia duduk tepat berhadapan denganku.
Gadis itu tersenyum. Aku kaget. Gadis yang di halte tadi. Nampak matanya masih merah. Air mata masih, hendak keluar dari matanya. Ketika aku hendak bicara, ia menyodorkan tangannya.
“Ariny!!” katanya dengan suara serak.
Aku tersenyum. Mengkerutkan dahiku. Melepaskan salaman tadi.
“Jhona”
“Itu tadi suamiku. Kami dalam suatu masalah” ia mulai bercerita.
Aku masih ingin mendengar ceritanya. Sayang, aku telah sampai ditujuanku.
“maaf, tidak bisa mendengarkan ceritamu lebih lama. Aku harus turun sekarang” kataku sambil memberi tanda supaya mikrolet berhenti.
“tunggu!!!” “ini nomorku handphoneku!” katanya ketika aku beranjak turun.
Aku meraih ponselku. Mencatat nomor yang ia bisikan.
“sampai ketemu!” aku menuruni mikrolet.
Ia masih melihatku dari dalam mikrolet. Melambaikan tangannya lewat jendela. Sementara aku nampak belum yakin dengan peristiwa tadi. Kubaca berulang nomor yang kucacat. Mikrolet menjauh. Menghilang. Gadis itu belum hilang dari ingatanku.

Naikolan, Awal Mei 2012

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...