Musibah Air yang Harus Diakali
Ilustrasi |
Kali ini saya mencoba menuliskan sebuah cerita tentang
musibah air. Ini bukan cerita heroik tentang Nabi Nuh yang membuat kapal besar
untuk menyelamatkan dunia dari air bah. Bukan cerita tentang banjir bandang
yang akhir-akhir ini banyak diberitakan. Bukan tentang seseorang yang tanpa
sengaja tersiram air panas. Bukan cerita tentang hujan yang membuat orang
melankolis. Ini cerita tentang air di bak mandi.
Seorang teman pernah menuliskan tentang musibah yang
dialaminya. Musibah kecil yang jika tidak ditanggulangi akan berisiko besar.
Teman saya itu menuliskan pada sebuah akun jejaring sosialnya. Telinganya
kemasukan air, sudah dari beberapa jam yang lalu, dan rasanya seperti pekak. Ia
berharap ada usul dan saran dari teman sepermainan di dunia maya, lewat
komentar di akunnya.
Saya kemudian berpikiran lebih terperinci tentang hal
tersebut. Ia mandi kemudian tanpa ia kehendaki air masuk ke dalam telingganya
dan bermukim di situ. Sudah ada upaya yang ia lakukan, tapi belum membuahkan
hasil. Pilihan ke dokter mungkin belum ia pikirkan.
Dengan enteng saya mengomentarinya berdasarkan pengalaman
masa kecil saya. Bila telinga kemasukan air dan airnya tidak keluar, masukan
lagi air. Maka air akan keluar dengan sendirinya setelah kita memiringkan
kepala kita.
Ini sebenarnya hal sederhana yang biasa kami lakukan waktu
kami kecil dulu, ketika bersama-sama dengan teman-teman mandi di sungai.
Setelah saya menuliskannya, saya kemudian menyadari ternyata ini sebenarnya
bisa dijelaskan secara sederhana berdasarkan sifat air. Salah satu sifat dasar air
ialah mengalir dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan
rendah dan dalam jumlah yang tertentu pula.
Pengalaman air tidak mau keluar dari telinga mungkin saja
karena air yang berada di dalam telinga hanya sedikit saja, sehingga ia mesti ditambahkan
untuk dia bebas mengalir keluar. Hal ini juga, bertalian erat dengan kehidupan
manusia. Kita tak pernah akan berjalan sendiri di dunia ini. Mesti ada orang
lain. Sesama. Tapi kita cenderung memperlakukan sesama kita menurut ukuran
manusia kita yang tak pernah sama. Padahal sesama yang sejatinya harus sama.