Ende, Menurut Sudut Pandang Saya
Sejak masuk SMP saya
mesti jauh dari orang tua. Bersekolah di tempat yang jauh dari rumah bahkan
berselisih kabupaten. Kemudian setelah kuliah, malah lebih jauh lagi. Berselisih
pulau. Suka dukanya saya rasakan dan saya jalani. Sejak enam bulan menetap (lagi)
di Ende, saya mengalami berbagai macam perubahan. Mungkin, karena dulu saya masih
kecil sehingga belum mengerti betul apa itu ende dan keadaannya. Saya bahkan
baru sekali, pada bulan agustus lalu ke danau kelimutu yang begitu fenomenal
itu. Ketika saya berada di daerah lain, orang sering bertanya tentang danau
itu. Saya cuma menjawab dengan kalimat “saya belum pernah ke sana”. Bahkan sampai
sekarang saya juga belum pernah mengunjungi Situs Bung Karno. Apa dan
mengapanya biarlah hanya Tuhan dan saya yang tahu.
Cerita yang hendak saya
tuliskan ini, bukan mengenai majestiknya Kabupaten Ende dengan adanya danau
kelimutu, atau historiknya Kota Ende dengan adanya Situs Bung Karno. Ini hanya
cerita realitas yang sering saya temui. Mungkin, dari sekian banyak Orang Ende,
tak ada yang menyadari atau pun mengeluh. Menganggap ini hal lumrah yang biasa
saja. Tapi bagi saya ini sebuah hal fenomenal yang kayaknya harus diketahui
media, disorot, diliput, diberitakan dan pada akhirnya kita semua secara
bersama mencari jalan keluar.
Sekali lagi saya
mengatakan, bahwa ini hanyalah hal sederhana bagi kebanyakan orang. Bagi saya
ini hal yang tidak masuk akal dan mesti direnungi. Oke, saya harus emnuju ke
pokok persoalan yang ingin saya bagikan di sini. Ini mengenai uang. Uang begitu
menjadi penting bagi dunia dan orang yang menghuni dunia. Bahkan sekedar untuk
melakukan hal palig asasi pun kita harus menggunakan uang. Misalnya, jika kita
hendak menggunakan toilet umum, tentu kita harus membayarnya. Dengan uang
membuat apa yang dimaksud menjadi tidak dimaksud dan apa yang tidak dimaksud
menjadi dimaksud. Uang dan uang.
Sebuah fenomena yang
saya temukan di ende mengenai uang ialah:
- Buruknya rupa lembaran uang itu.
Uang
kertas yang ditemui di ende rasanya bukan berwujud uang lagi. Ada berbagai rupa
buruk uang yang kita temui. Sepertinya uang telah kehilangan ketampanan atau
kecantikannya, hanya karena di pegang oleh orang yang tidak tahu memegang uang.
Sejatinya, uang itu milik negara. Kita hanya dipinjamkan sebagai alat
pembayaran yang sah. Tentu untuk sampai ke tangan kita, ada prosedur
ekonominya.
Uang
kertas yang saya temui setiap hari sungguh terlihat tidak normal lagi. Ada berbagai
tambalan. Yang lebih memprihatinkan lagi, uang yang baru kita keluarkan dari
Mesin ATM pun tidak mulus lagi. Saya pernah mengambil uang dari mesin ATM yang
sudah hilang sudutnya seperti akibat terbakar. Bahkan ada juga uang yang
tertuliskan nomor ponsel.
- Perilaku dari sopir dan konjak atau pun ojek.
Bila
kita ingin menumpang kendaraan umum (di Ende dikenal dengan bemo) atau pun
ojek, kita mesti menyiapkan uang yang pas sesuai tarif yang diberlakukan pemerintah.
Pasalnya, mereka akan beralasan sehingga tidak ada uang kembalian untuk ongkos
yang kita bayarkan. Ya, walau Cuma seribu atau dua ribu, ini bukan masalah. Hanya
bagaimana kita berlaku jujur sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan
disepakati. Saya tidak bisa menbayangkan ketika kita mesti selalu belajar tidak
jujur. Hal yang lebih rumit lagi tentu akan terjadi.
- Berbelanja di kios atau pun toko.
Beberapa
perlakuan pula sering saya dapatkan ketika berbelanja. Kurang ramahnya pemilik
atau penjaga toko. Bahkan ketika kita memiliki kembalian lima ratus rupiah pun
dikembalikan dengan permen. Ini sebuah keanehan. Pernah suatu hari, ketika saya
berbelanja, pemilik toko mengembalikan dengan tiga permen. Otomatis saya
menolak. Si pemilik malah bertingkah. “ya sudah. Kalo tidak mau ambil biar saja”.
Saya merasakan bahwa dia mempermalukan saya. Mesti ada pembalasan. “jika besok
saya datang eblanja di sini pake permen om terima tidak?” saya bertanya. Dia tidak
bisa menjawabnya dan mulai naik darah. Saya cuma tersenyum lalu pulang.
Saya menuliskan ini,
sebagai wujud keprihatinan saya terhadap kejadian sederhana di
masyarakat.sebuah pesan penting yang saya dapatkan utnuk diri saya sendiri. Kadang
banyak hal sederhana yang dilakukan lebih membodohkan diri dari pada hal besar
seperti tipu muslihat dan rayuan gomalisasi politikus.