Kompiang dan Kopi
Kompiang Manggarai |
Dulu ketika masih
kuliah di Kupang. Saya sering mendapat oleh-oleh dari kawan asal Manggarai ketika
mereka kembali dari liburannya. Baik libur natal atau pun libur panjang (Libur
musim panas). Jika dari Ende saya kadang membawa Ubi Nuabosi untuk kawan-kawan.
Mereka pun demikian. Membawa sesuatu yang khas dari daerahnya. Yang memang
jarang ditemui di daerah lain. Dari kawan asal Manggarai inilah saya pertama
kali mengenal sebuah makanan seperti yang mirip seperti roti. Namanya kompiang.
Kompiang begitu menjadi
idola sebagai buah tangan untuk kami. Kompiang yang saya baru dengar namanya
dan rasakan enaknya itu adalah sejenis roti kering mirip bakpao dengan diameter
sekitar delapan sampai sepuluh sentimeter dan di atasnya ditabur wijen. Kadang beisi
daging. Bisa daging ayam atau sapi. Kompiang ini menjadi begitu nikmat di mulut
kami. Apalagi ketika menjelang senja, kami menyantapnya, dengan ditemani kopi
yang juga menjadi salah ciri khas daerah Manggarai. Kopi Manggarai.
Setelah saya mencoba
mencari tahu kompiang lebih dalam, ternyata kompiang sebenarnya bukan hanya ada
di Manggarai. Di daerah lain, di Indonesia juga ada. Seperti surabaya. Namun,
pasti ada sedikit perbedaan mengenai rasa dan tekstur. Kalau di surabaya
katanya keras, kompiang dari Manggarai ini sedikit lebih empuk. Berbicara mengenai
kompiang ini, ada baiknya saya menuliskan sedikit asal muasalnya.
Kompiang bermula juga
dari negeri tirai bambu pada tahun 1562 pada saat komandan Qi Ji Guan bertempur
melawan perompak Jepang yang amat tangguh. Ji Guan mengamati bahwa perompak
Jepang ini selalu dapat mengendus keberadaan pasukannya dengan mendeteksi aroma
masakan yang dipersiapkan oleh anak buahnya. Sebaliknya mereka tidak dapat
membaui makanan lawan yang dalam bahasa jepang dinamakan onigiri. Untuk
mengimbangi strategi musuhnya, maka Ji Guan memerintahkan agar seluruh anggota
laskarnya membuat ransum menyerupai onigiri juga. Akhirnya Ji Guan berhasil
menaklukkan gerilyawan Jepang ini dan untuk mengenangnya, roti bulat ini diberi
nama guan biang yang bermetamorfosa di tanah air kita menjadi ’kompiang’. (Gustaaf
Kusno dalam Kompasiana.com)
Menikmati kompiang ini,
lebih nikmat lagi apabila ditemani dengan kopi. Tentang kopi ini, Saya juga
jadi teringat kejadian gara-gara kopi Manggarai. Pada sebuah perjalanan liburan ke Kota
Atambua, Kabupaten Belu, kawan saya yang dari Belu sempat memesan kopi di
sebuah rumah makan tempat mereka beristirahat dalam perjalanan. Ia dengan
mantap berkata “Mbak, pesan kopi Manggarai satu”. Mungkin karena ia sering
minum kopi manggarai dari kawan asal Manggarai, membuat ia tak mau melupakan
rasa dan aroma kopi Manggarai tersebut. Karena perkataannya itu, si pemilik
rumah makan sedikit kaget dan bingung. Pasalnya di sana tidak ada kopi Manggarai.
Paling, ada kopi shachet dengan
berbagai merek yang diproduksi dari Jawa.
Saya mengingat dan
menuliskan lagi ini karena kawan saya dari Manggarai mengirimkan saya kopi dan
kompiang. Terima kasih, kawan. Ini membuat saya kembali mengingat masa kuliah kita.
Sore dengan kopi dan kompiang.
2 komentar
Write komentarSaya dulu jg tinggal di kompleks orang maggarai. Klow pulang libur, pasti semua bawa kopiang ini. Hanya saya sendiri yang bawa jagung titi, maklum flotim saya sendiri hehe...
ReplyHahahah... kalo jagung titi campur dengan teh panas. kalo kompiang pasti kopi. enakkkkk
Reply