Moke, Sedikit Rekaman Budaya
Pesta sambut baru
semalam membuat saya sampai pagi ini merasakan pusing yang sangat. Ini bukan
masalah karena menikmati menu pesta yang serba daging atau kekenyangan
menyantapnya. Ini kisah lain bagaimana anak muda menikmati secara lain. Ya,
pesta bagi orang Ende tak terlepas dari moke. Moke ialah minuman keras yang
rasanya pesta akan kehilangan momentum bila tak ada dia. Moke telah menjadi
tradisi dengan cerita lokalitasnya. Bagaimana seorang perempuan bersedia
menjadi pohon moke demi kebutuhan Para Mosalaki.
Kembali ke cerita tadi,
di pesta semalam saya juga turut meneguk minuman yang memabukan tersebut.
Selain sebagai minuman persahabatan, karena setelah duduk melingkar, kita akan
berkenalan dengan orang baru. Entah berapa botol, kami harus menghabiskannya.
Sensasinya berbeda. Diawali rasa nikmat, kemudian pusing memabukan dan terakhir
muntah dan terkapar di tempat tidur. Mungkin karena saya tidak terbiasa maka
terjadi hal seperti ini.
Apa pun anggapan orang
tentang minuman ini, itu menjadi bagian dari persepsinya. Pada kesempatan ini, saya
mau menuliskan beberapa hal tentang moke.
1.
Legenda Moke.
Dalam
suatu pesta adat, semua penduduk kampung telah berkumpul. Membawa serta beras,
ayam, babi, sayur mayur dan pealatan serta perlengkapan masak lainnya. Pada pertengahan
pesta. Mosalaki atau pemuka kampung merasa ada yang kurang. Persta terasa
hambar. Setelah melakukan ritual, akhirnya mosalaki mendapatkan petunjuk dari
leluhur bahwa harus ada satu minuman yang mesti dihadirkan dalam pesta itu.
Tapi, mesti ada seseorang yang bersedia menjadi pohon, bakal muasal minuman
tersebut.
Adalah seorang gadis bernama Wea, anak dari keluarga Watu Wula. Ia bersedia menyanggupi permintaan leluhur tersebut. Syaratnya keluarganya harus ikhlas menyayanginya. Maka, sebagai penghormatan kepadanya mereka memberikannya pakaian yang indah. Sarung, baju dan berbagai perhiasan untuk dipakainya.
Adalah seorang gadis bernama Wea, anak dari keluarga Watu Wula. Ia bersedia menyanggupi permintaan leluhur tersebut. Syaratnya keluarganya harus ikhlas menyayanginya. Maka, sebagai penghormatan kepadanya mereka memberikannya pakaian yang indah. Sarung, baju dan berbagai perhiasan untuk dipakainya.
Pada
tengah malam. Ketika semua terlelap dalam mimpi, ia keluar menuju pintu masuk
kampung lagu mengucapkan:
Aku mo’o basa bhisa more bani, rina
mina oso masa
Leka du’a kau, du’a bapu
Du’a eo mera leta lulu wula, ngga’e
eo ghale wena tana
Ju sai tebo aku dau mbale moke
Mo’o nosi ji’e gare pawe
Leka miu du’a ria fai ngga’e
Leka du’a kau du’a bapu, eo tau ju
pije
Mo’o ngama ngala welu aji ana
Eo muri mera leka tana watu ina
Tiba-tiba
setelah ia melantunkan kalimat itu, ia berubah menjadi pohon. Keesokan harinya
orang gempar. Wea, sang gadis desa itu tak pernah ditemukan lagi. Mereka
mencarinya. Bahkan ada yang menangis akan kehilangannya. Mereka terus mencari
tapi tak ditemukannya. Di ujung kampuang, di pintu masuk kampung tersebut ada
sebuah pohon yang tak mereka tahu selama ini. Pohon tersebut mereka namakan
moke. Mo dalam yang berarti Lelah dan
Ke yang berarti menangis. Mereka
lelah dan menangis mencarinya.
Inilah
cerita asal muasal moke menurut kepercayaan orang Ende-Lio.
2.
Beberapa Hal Teknis Menikmati Moke.
Karena
diyakini moke adalah jelmaan manusia. Maka, dalam melakukan penyadapan. Ada
beberapa ritual yang dilakukan oleh seseorang yang melakukannya. Mungkin, ini
menjadi tulisan saya di kesempatan lain, karena saya mesti menambahkan atau
mencari tahu beberapa referensinya. Berikut ini, saya mau menuliskan beberapa
hal teknis yang saya lihat dalam pengolahan moke.
Rasa
moke sangat dipengaruhi oleh wadah dan cara penyadapan dan penyulingannya. Ada
yang dikenal dengan moke bakar menyala. Yaitu, moke dengan kadar alkohol yang
tinggi. Bagi yang belum biasa bisa langsung tertidur atau pun mabuk walaupun
hanya meminum sesendok.
Penyadapan
moke biasanya dilakukan dengan wadah bambu, yang dibuat menyerupai tabung. Ini
berguna untuk menampung air sadapan. Biasanya rasa air pertama yang disadap
dari ayang enau atau pohon moke ini manis. Kemudian ada ruas bambu yang lebih
panjang lagi, untuk menampung air sadapan. Tiga sampai lima hari kemudian, air
sadapan ini dimasak menggunakan periuk tanah. Di sini kualitas moke ditentukan.
Dalam satu kali masak di sebuah periuk tanah yang besar, air hasil
penyulingannya diukur. Untuk mendapatkan hasil yang bagus, biasanya dalam satu
periuk hanya menampung uap sebanyak tiga botol. Sedangkan untuk moke bakar
menyala, uap air hasil dari penyulingan tadi dimasak lagi seperti semula.
Kualitas
dan rasa moke yang lebih enak apabila wadahnya menggunakan botol. Rasa dari
wadah penyimpanan yang plastik sedikit kurang nikmat dibandingkan dengan rasa
dari wadah penyimpanan yang menggunakan botol atau tempayan.
Jadi,
jika anda ingin menikmati moke, belilah yang tersimpan di tempayan dan botol
kaca atau keramik. Jangan menggunakan botol plastik. Dan jika anda yang berada
dari daerah luar NTT, bila sesekali mampir ke Ende, nikmatilah segelas moke
maka anda akan menjadi bagian dari orang Ende. Moke juga menjadi bentuk
hospitalitas orang Ende dan Flores umumnya.