Selamat Pagi di 12-12-13, ingat gempa Flores.
Jam dua siang pada
tanggal dua belas desember tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh dua,
gempa dashyat menimpa Flores tengah. Kala itu saya masih kecil. Baru bisa
jalan, belajar berlari dan sudah bisa bicara dengan lancar. Kala itu saya belum
seratus persen mengingat kejadiannya. Tapi ada beberapa hal yang masih
tersimpan di memori masa kecil saya.
Mama membawa saya dan
adik bersamanya ke kebun. Ya, maklumlah, anak petani di desa yang boleh
dibilang terpencil. Karena tinggal di rumah tak ada yang menjaganya, makanya
kami harus turut serta bersama orang tua ke kebun. Umur saya sekitar empat
tahun dan adik saya dua tahun.
Siang hari yang cerah,
saya sudah memaksa mama untuk segera kembali ke rumah. Selain karena tak betah
oleh nyamuk yang terus membikin gatal badan dan mengiang di telinga, juga semacam
ada firasat lain yang membuat hati kecil saya berkata untuk segera pulang. Mama
masih acuh dengan permintaan saya. Ia masih sibuk menyiangi rumput di sela
tanaman jagung dan padi.
Sebagai anak kecil ada
satu senjata yang paling ampuh (saya tidak habis pikir sampai sekarang). Menangis.
Dengan tangisan, akan mmebuat segala macam permintaan kita diterima atau
dikabulkan. Hal lain mengenai tangisan ini ialah ketika bermain karet gelang
atau apapun dengan kakak-kakak. Jika kalah selalu menangis. Mama atau bapa akan
memaksa kakak untuk mengembaikannya. Sebuah cara yang tidak bagus baru saya
sadari sekarang. Tidak bisa menerima kekalahan dengan lapang dada. Oke, kembali
lagi ke cerita tadi. Karena saya menangis. Mama akhirnya bersepakat untuk
pulang. Sebelum pulang, kami mandi di mata air dekat kebun.
Saya sudah selesai
mandi, sementara mama masih memandikan adik saya. Tiba-tiba ada guncangan. Pertama
saya mengira angin yang mengguncang pondok yang saya tempati. Semakin lama
semakin keras. Saya kaget. Tidak tahu apa sebenarnya, karena baru kali ini
merasakannya. Mama berteriak sambil berlari menggendong adik saya. “Kami zatu... kami zatu....”
Kami
zatu dalam bahasa Ende diartikan sebagai kami ada.dalam
beberapa mitos di kampung saya, diceritakan bahwa, gempa bumi itu disebabkan
oleh seekor kumbang (Banga). Kumbang inilah
yang menggulingkan atau menggoyangkan bumi. Diceritakan bahwa kumbang tersebut bekerja
untuk seorang penguasa bumi (Ngga’e Dewa)
yang tinggal di dunia yang tak bisa dijangkau oleh manusia (ziru meta). Sebuah tempat yang amat jauh
di atas langit.
Penguasa bumi ini tak
mendengar suara sedetik pun dari bumi. Makanya suatu hari ia memanggil kumbang.
Diperintahkannya kumbang untuk turun dan menggoyang bumi. Manusia merasa itu
adalah sebuah isyarat. Lalu berteriak. Kami
zatu... kami zatu. Dipercaya, ketika mendengar teriakan itu, kumbang akan
berhenti menggoyang (Gempa berhenti). Kumbang kembali ke penguasa itu untuk
melaporkan bahwa manusia masih ada di bumi.
Dipercaya juga, gempa
itu sebagai peringatan kepada penghuni bumi karena telah berlaku semena-mena
terhadap makhluk ciptaan yang lain. Secara ilmiah dan berbagai ilmu modern, ini
tidak masuk akal. Tapi, di kampung kami, selalu saja cerita-cerita mitos yang
dipercaya masyarakat.
Mengenai firasat saya
waktu kecil, sampai sekarang orang tua saya masih percaya dengan itu. Ada beberapa
hal yang saya ucapkan pasti akan terjadi. Tapi, saya merasa itu semua Cuma kebetulan.
Tak ada yang istimewa termasuk firasat itu.
Tulisan ini saya buat,
ketika mengingat kembali gempa dashyat itu. Sesuatu yang pertama kali membuat
saya paham, bahwa itulah gempa. Sekarang gempa itu sudah dua puluh satu tahun
yang lalu. Masih ada gempa kecil-kecil yang menimpa. Masih ada teriakan kami zatu di kampung kami.
Catatan tambahan:
Gempa
bumi Flores Desember 1992 ialah gempa bumi berkekuatan 7,8 pada skala
Richter di lepas pantai Flores, Indonesia. Terjadi pada 12 Desember 1992
pada pukul 13:29 WITA. Gempa bumi ini menyebabkan tsunami setinggi 36
meter yang menghancurkan rumah di pesisir pantai Flores, membunuh
setidaknya 2.100 jiwa, 500 orang hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000
orang mengungsi (Sumber: Wikipedia)