Saya dan Komunitas SARE
Berbicara atau mendiskusikan sastra di bumi Indonesia
adalah sebuah kesedihan. Orang cenderung apatis dengan topik yang ingin dibicarakan. Sastra adalah sebuah ilmu pengetahuan yang tidak
diperhitungkan. Apalagi cerita mengenai baca puisi di tempat
umum. Anda akan dicap orang gila, dicibir, mungkin juga diusir karena
mengganggu ketenangan orang.
Saya adalah seseorang yang entah dirasuki apa, tertarik
sejak SMA untuk menulis puisi atau pun cerita pendek. Kemudian setelah masa
kuliah, saya mulai berkenalan dengan media yang memuat karya, sehingga tulisan
saya masuk dalam beberapa Koran lokal pada rubrik sastranya. Akibat terus ketagihan untuk menulis dan bersemangat dengan
topik sastra, saya kemudian bergabung dengan komunitas sastra yang berada di
kota tempat saya menempuh pendidikan.
Saya belajar banyak tentang apa itu karya satra, apa itu
puisi, apa itu sajak, apa itu cerita pendek dan segala macam teori maupun
pendekatan gaya menulis lainnya. Saya mulai berkenalan dengan teman-teman yang
membaca puisi. Cara baca mereka sungguh lain dan kedengaran asyik. Lain hal
dengan cara baca yang cukup tertanam dalam pikiran
saya sejak Sekolah Dasar. Di sana guru mengajarkan cara mendeklamasikan versi
konservatif dengan gerakan tangan. Tanpa memperhitungkan emosi dan kehendak pribadi
untuk mentransfer tulisan itu lewat cara baca puisi
yang sesuai dengan penghayatan pribadi.
Setelah selesai kuliah, saya memilih kembali ke kota
kelahiran saya, Ende. Di sana saya merasa hobi saya dalam berkesenian,
khususnya sastra, harus dilanjutkan. Harus ada komunitas yang menaungi dan
menyatukan semua orang dengan hobi yang sama tentang sastra. Saya ingin
membacakan puisi di taman kecil yang berlatar pembacaan proklamasi,
tepatnya di perlimaan Mautapaga. Saya ingin membacakan puisi di Pante Ria, saya ingin membacakan puisi di atas puncak kelimutu ketika
matahari bermula terbit dan dinginnya udara pagi hari, saya ingin membacakan
puisi di taman renungan Bung Karno, dan berbagai tempat eksotis lainnya di Kabupaten
Ende. Sejauh ini baru beberapa tempat. Semuanya karena kemauan dan kerja keras
teman komunitas.
Terhadap berbagai impian itu, saya kemudian berkenalan
dengan Weta Telly Rohy, dara hitam manis blasteran Ende Sabu itu, dialah yang
mula-mula mengajak saya, lewat pesan di facebook. Kemudian, saya berkenalan
dengan Cece Sofie Kusnadi, yang walaupun kurang berminat terhadap puisi, ia
cukup bersemangat untuk bergabung dengan komunitas, selanjutnya, ada Kesa Frater
Kristo Suhardi, calon imam dari manggarai yang begitu bersemangat untuk
pengembangan komunitas dan terakhir Weta Fauwzya Dean yang ingin sekali saya
dengar suaranya dalam membacakan puisi. Kami semuanya adalah langkah awal sehingga lahirlah Komunitas Sastra Rakyat Ende (SARE).
Semuanya
terus bergandengan tangan. mengadakan ruang terbuka bagi anak muda untuk
berkesenian dan bersastra. Mulai muncul banyak anggota yang bergabung, tapi
sayang setelahnya saya kurang aktif lagi di komunitas. Saya lebih banyak sibuk
sendiri dengan pikiran dan berbagai mimpi jangka panjang saya.
Ada
rasa penyesalan karena harus meninggalkan komunitas dan juga meninggalkan suara
untuk sepenggal puisi, tapi semuanya bukan kehendak rekayasa. Ini semua,
mungkin karena takdir. Di mana saya tidak semestinya bebas merentangkan saya
lalu terbang ke mana suka. Mesti ada beberapa alasan untuk bisa terbang dan
hinggap.
Di
ulang tahunnya yang pertama ini, saya sangat bersyukur, karena komunitas ini
terus berjalan. Menapaki satu demi satu langkah dengan tertatih namun pasti,
hanya demi dirinya sendiri. SARE. Sastra Rakyat Ende.
Selamat
ulang tahun, Komunitas SARE.