Surat Buat Nona Mathemesi
Matahari
beranjak tua. Tergopoh di ufuk barat dengan sendu. Saya tak pernah berharap
akan warna senja. Debur ombak di lautan. Pantai berpasir putih. Camar yang
menukik turun kemudian naik, menyisakan bunyi kaokannya di atas langit senja. Nyiur yang melambai diterpa angin sepoi. Dan berbagai
kejadian
senja lainnya di pinggir pantai, yang kata orang kebanyakan sebagai keindahan. Saya tak pernah berharap semuanya itu.
Di senja itu. Saya hanya melakukan tindakan bodoh di
sini. Duduk menatap laptop sambil jemari terus menari di atas tuts, merangkai
kata demi kata. Sesekali menyeruput teh yang telah dingin dengan gorengan
pisang yang telah dingin pula. Saya bodoh di sini lantaran memikirkanmu. Ya,
perkara memikirkanmu adalah perkara rutinitas. Entah apa yang membuat otak ini
tak berhenti untuk terus memikirkanmu. Padahal sudah dengan isyarat dan
kata-kata yang tepat di sebuah tengah hari, engkau menolak saya. Menolak dengan
kalimat, saya hanya berharap kita sebagai teman. Penolakan paling klasik dari semua
perempuan. Padahal, saya berpikir, seandainya menolak, paling tidak, engkau
dengan bermuka sedih mengatakan, “beri saya waktu, kaka”
Perkara menyukaimu adalah perkara luar biasa, sebab selama
ini saya tak pernah secara gamblang menyatakan cinta terhadap seseorang, apa
lagi di depan banyak orang. Saya yang lugu dan sedikit gila ini, hanya bisa
menyatakan dalam diam kemudian menjadi hancur, karena tahu perempuan yang
ditaksir itu telah menjadi milik orang lain. Saya selalu terlambat. Pernah ada
kejadian yang lebih menyakitkan lagi, ketika seseorang yang saya sukai dan
perjuangkan setengah mati, malah saya relakan untuk menjadi pacar sahabat saya.
Ketololan macam apa itu? Kemudian oleh teman-teman dengan bijak mengatakan,
bukan jodohmu.
Nona Mathemesi yang
saya sukai dan saya cintai setengah mati. Saya berusaha menulis surat ini,
sebagai penanda bahwa saya pernah dan mungkin akan terus menyukai dan mencintai
anda dalam hati saya. Saya tidak tahu, sampai kapan rasa ini menghilang.
Terakhir kali kita berbincang lewat media sosial. Ada semacam rasa lega dan
rasa sakit yang secara bersamaan mendera hati ini. Saya menuliskan lagi
percakapan itu di sini.
“……………..”
“……………”
“Saya suka kamu”
“Terima kasih”
“Mau jadi pacar saya?”
“Tidak mau”
“Alasan?”
“Saya sudah terlanjur menyayangi orang lain”
“Oke. Terima kasih”
“Iya, Kaka. Jangan marah”
“Tidak marah. Saya cuma mau jujur saja”
“Saya sudah jujur. Saya sayang satu frater. Saya suka dia
sudah lama sekali. Tahun depan dia dithabiskan menjadi diakon. Saya cukup sayang
dia tanpa harus bersama dia”
“Frater itu tahu?”
“Dia tahu. Tapi, katanya, jangan marah. Dia sudah berniat
jadi imam. Saya tidak mau jadi bebannya. Saya cukup mencintainya. Saya bahagia
hanya dengan menyayanginya tanpa harus menuntut balasan”
“Tidak apa-apa. Kita punya pilihan masing-masing”
“Iya, Kaka. Terima kasih”
“Semoga mendapatkan yang terbaik”
“Amin, kaka. Semoga kaka juga mendapatkan yang terbaik”
Setelah kalimat terakhir yang engkau kirimkan ini, saya semakin
bingung. Saya berusaha menyalin ulang dan membacanya kembali, rasa sakit itu
menjalar perlahan. Tahu tidak, satu hal yang paling tidak saya sukai dalam
hidup ini ialah mendapatkan seorang perempuan terlalu intim dengan para calon
Imam apalagi menyukai mereka. Entah kenapa, itu salah satu hal yang sangat
tidak saya sukai. Alasannya sederhana saja. Saya tidak mau perempuan itu
menjadi hawa baru, yang menggoda mereka untuk memakan buah terlarang itu.
Walaupun dalam beberapa kali diskusi dengan teman-teman sebenarnya yang salah
adalah kedua belah pihak. Namun, entah kenapa, saya lebih banyak menyalahkan
pihak perempuan. Oke, ini pendapat saya. Setiap orang boleh berpendapat, bukan?
Nona Mathemesi yang selalu tersenyum dalam ingatanku. Engkau beda.
Itu salah satu alasan yang membuat saya suka padamu. Sekali lagi, saya
mendapatkan banyak hal yang beda pada dirimu. Caramu menjawabi setiap percakapan
yang saya bangun, selalu beda dengan apa yang saya pikirkan. Seperti jawabanmu
yang cukup menohok tentang ajakan saya untuk kita pacaran. Atau mungkin, saya
salah, sebab anda sekarang mencari suami, bukan pacar. Ah, tapi bukankah
langkah awal untuk menuju pelaminan itu ialah dengan berpacaran? Sama halnya
dengan pepatah klasik, setiap perjalanan seberapa jauhnya itu, pasti dimulai
dari langkah pertama.
Nona Mathemesi yang
baik dan yang katanya moody. Nona Mathemesi… Mathemesi. Terpaksa saya harus memanggil namamu
berulang kali untuk memulai paragraf baru surat ini. Mungkin saya telah jatuh
pada keadaan dan situasi yang salah. Saya jatuh cinta pada orang yang tidak
tepat. Engkau telah memberi isyarat, bahkan secara gamblang menyatakannya.
Namun, semuanya tetap tak mampu membuat saya berhenti dan berpaling dari
hadapan mungilmu yang menggoda. Dari hadapan kacamata dengan mata yang
senantiasa berkedip. Dari senyummu yang kadang dipaksa. Dari cara tertawamu
yang juga kadang dipaksa. Tentu masih ingat dengan kalimat ini. “lucu e, mari
kita ketawa”
Saya terkadang menjadi sangat melankolis mengingat semuanya
ini. Menempatkan hati yang berasa cinta pada orang yang salah. Aneh dan sungguh
sangat aneh lantaran masih tetap berharap bahkan semakin berasa walaupun sudah
pasti engkau tolak. Harus dibuang ke mana rasa ini. Tolong, bantu saya
menempatkan pada tempat yang tepat. Mungkin di tempat sampah atau apalah yang
penting bisa menghilangkan rasa cinta kepadamu.
Maubasa, Akhir Juli 2015
2 komentar
Write komentarIzin share boleh ??
ReplyBoleh di share, Echy Pasha.
ReplyTerima kasih sudah bertamu di blog saya. Jangan bosan bertamu ya!!