Ngawu (Harta Kekayaan)
Kehidupan sosial masyarakat selalu ada ukuran yang
membandingkan antara seseorang dengan yang lainnya atau antara keluarga yang
satu dengan yang lainnya. Entah sebagai alasan apa, hal ini juga berlaku di
masyarakat Rajawawo. Suatu kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan
kabupaten Ende bagian barat di daerah Flores bagian tengah. Secara administratif adat Rajawawo juga dikenal sebagai Tana Rhorho (zozo) yang menyebar dari
Nangge re’e (Nangaba) sampai Paroze’e (Nangaroro).
Salah satu ukuran yang paling jelas berlaku dan menjadi
bahan cerita di masyarakat ialah menyangkut tingkat keberadaan atau kekayaan
(Ngawu). Ngawu menjadi salah satu poin penting yang menentukan status sosial masyarakat. Secara umum ngawu dilihat dari tiga aspek yang berlaku
dalam urusan adat.
(1)
Gading (toko).
Gading adalah benda paling pretisius
dalam ukuran adat. Berdasarkan ukuran panjangnya, gading memiliki beberapa
nama. Toko, sue, minu ae, wesa secara umum gading juga bisa juga
dikenal dengan nama lain nopo kaju.
Menurut sejarah yang beredar gading
gajah tersebut sebenarnya bukan berasal dari flores karena berdasarkan peta
persebaran flora dan fauna di Indonesia, Wallace membaginya menjadi tiga
wilayah. Wilayah barat, tengah dan
timur Dengan
binatang dan tumbuhan masing-masing. Flores yang termasuk
wilayah tengah yang jelas tak memiliki gajah, sebab gajah hanya
berada di wilayah barat. Namun, ada beberapa tulisan yang menyatakan bahwa ditemukan
fosil gajah purba.
Di lihat dari perkembangan peradaban
yang dipengaruhi oleh pendudukan bangsa asing, disinyalir bahwa gading
sesungguhnya berasal dari Tanjung Harapan, Afrika. Gading tersebut banyak
diambil dan dibawa oleh bangsa portugis dalam pelayaran mereka. Ketika sampai di
Flores, mereka mendiami ujung timur flores yakni daerah flores timur, solor dan
adonara. Di tengah flores mereka mendiami pulau ende dan kemudian masuk ke flores
melalui numba dan mempengaruhi daerah pegungunangan sekitar 5 km numba yakni
rajawawo.
Diyakini bahwa gadin yang dibawa bertujuan untuk dibuatkan
benteng karena kuat dan tahan terhadap cuaca. Setelah berakhirnya penjajahan
portugis, gading itu dilihat sebagai benda yang bernilai tinggi, maka jadilah
mahar untuk wilayah rajawawo.
(2)
Emas (wéa)
Emas dan perhiasan dari berbagai bahan tembaga, perak,
perunggu maupun emas juga memiliki nilai ekonomis dan prestise di kalangan
masyarakat rajawawo. Orang yang memakai berbagai perhiasan dinilai memiliki
kekayaan dan berpengaruh terhadap status sosial si pemakai tersebut.
Ada berbagai perhiasan yang biasanya dipakai oleh perempuan
juga laki-laki. Ada ozo penu (Kalung)
yang dipakaikan di leher. Ngguru dan geza yang masing-masing dipakaikan di
jari dan pergelangan tangan. Keriu (anting-anting)
yang dipakaikan di telinga. Dan juga berbagai perhiasaan dari bebatuan yakni mbutu (manik-manik) yang dibuat dan
dipakaikan untuk perhiasan gelang maupun kalung.
(3)
Ternak (éko).
Ternak yang ditemukan di wilayah rajawawo berupa ternak kecil
dan ternak besar. Ada ayam, babi, anjing, kambing, sapi, kerbau, dan kuda. Biasanya
yang memiliki nilai lebih besar adalah babi, kuda, sapi dan kerbau. Keempat jenis
ternak ini biasanya dipakai untuk urusan adat. Sebagai belis (mahar). Memiliki ternak yang banyak memberi nilai tersendiri bagi pemiliknya. Pada zaman dahulu, orang biasanya membiarkan saja ternaknya di padang dan dikontrol sesekali. Namun, saat ini seiring dengan pengetahuan pertannian modern yang bertambah orang memprioritaskan pada pertanian dengan tanaman komoditi seperti kelapa, kakao dan kemiri. Ternak-ternak tadi dinilai sebagai hama maka mesti diikat agar tak mengganggu perkebunan rakyat.
Inilah tiga hal yang dilihat sebagai bentuk kekayaan bagi masyarakat rajawawo. Memiliki ketiganya tersebut akan berpengaruh terhadap status sosial.