Surat Buat Mathemesi Tentang Perempuan dalam Bingkai Kenangan yang Mungkin Juga adalah Mathemesi Itu Sendiri.
Selamat sore Mathemesi.
Senja dengan langit yang kelam dan hujan disertai angin ini,
membuat kuingin menuliskan surat untukmu. Surat untuk kesekian kalinya yang
belum pernah dibalas. Mungkin, kau telah lupa alamat kantor pos atau surat ini
tak pernah sampai diberanda rumahmu. Eh, salahku sendiri, mengirimnya lewat fesbuk, yang barangkali tak kaubuka lagi
setelah terakhir kali kaubuka setahun yang lalu. Ah, aku terlalu berkhayal
hingga terus menduga.
Mathemesi, perihal hujan yang membikin rindu, aku jadi
teringat pada sebuah permulaan cerita. Tepatnya tentang perjumpaan untuk
kesekian kalinya cinta yang datang. Aku mungkin terlampau berlebihan menamakan
itu cinta padahal membuat dia tersenyum saja susahnya minta ampun. Inilah awal
kisahnya.
Kisah yang mungkin cinta. Cinta
adalah sebuah, sesuatu, sebentuk, seberapa pantas kaumemikirkannya saat
kapanpun dan tersadar bahwa ia telah menjadi milik orang lain. Cinta itu adalah
pertemuan dalam ruang kesibukan yang tak luas. Kemudian kalian, kau dan aku
mulai berkenalan. Bercerita. Menukar nomor handphone dan mulai saling menyukai,
namun masih dipendam ego dan memikirkan hal lain yang juga kalian cintai. Cinta itu
seperti aku yang mengirimimu puisi dan kau tak pernah membacanya.
Sebut saja namanya November, gadis berjilbab yang murah
senyum. Datang setelah beberapa hari aku mengikuti trainning di kantor itu. Ia
nampak semangat. Membangun minat kami untuk bekerja. Begitu tekun. Hal yang
paling membikin aku merindu. Ia bertanya beberapa hal. Sampai pada film
kesukaan dan mengapa agama ada.
Ini sekedar perjumpaan awal, karena selebihnya kami saling
jatuh cinta. Dalam diam tentunya. Kami cenderung mengagungkan sunyi sehingga
tak ada kata-kata cinta untuk dinyatakan dalam ruang perjumpaan. Hanya sunyi
sekali lagi sunyi.
Kamu tahu hal paling payah yang aku miliki? Setelah dia
menikah, aku baru tersadar bahwa bunga yang mekar merekah itu telah dipetik
oleh orang lain. Lalu dengan melankolisnya, aku mulai bercerita sampai
menyatakan cinta kepadanya pada sebuah siang dengan dada sesak dan beberapa
airmata yang cepat dihapus lantaran takut dilihat teman kamar sebelah.
Ah, Mathemesi. Daripada aku
mengulang lagi kisah yang mengharu biru ini, lebih baik kusudahi saja
surat kali ini. Biar airmata tak dibuang percuma. Sebenarnya tadi aku ingin
menuliskan puisi untukmu, tapi jadinya begini.
Dari lelaki yang telah kehilangan akal sehat hanya karena
jatuh cinta pada seorang Mathemesi yang tengah asyik dengan dunianya sendiri.
YD