Kepada Kematian.
Ilustrasi Oleh Ricky Punang |
Perihal kematian ini, semenjak saya dengan setengah rela
menetap di sini, saya menemukan beberapa kematian. Dan sebagian kematian itu,
saya tulis di sini sebagai pertanda bahwa sejarah juga harus menuliskan tentang
kematian agar setiap insan yang telah mati tetap dikenang dalam lembarannya. Betapapun
itu, sejarah dan sekali lagi, kita harus mengengangnya lantaran kita hidup
bertujuan akhir pada kematian, selain aktualisasi diri yang menunjukan kualitas
hidup kita bagi orang lain sebagai homo
socius.
***
Kematian menyisahkan kisah paling redup. Seperti orang yang
dikucilkan di masyarakat dan diberi streotip negatif lalu harus dirawat inap
dan pada akhirnya ia harus meyelesaikan hidupnya di muka bumi ini.
Seorang yang mengalami gangguan jiwa, harus terkapar dengan
aroma amis lantaran luka telah menggerogoti tangan kiri kokohnya yang pernah
difungsikan dalam olahraga adu jotos. Ia tak berdaya setelah sekian lama
dipasung atas kehendak bebas manusia yang katanya berperikemanusian. Ia dikurung
supaya dunia bebas berkehendak sebab, bagi dunia hanya yang waras yang bisa
menguasainya.
Pada dini hari yang beku, dengan terkantuk, kami harus
merelakan ia pergi pada negeri yang tak lagi mengagungkan ego. Ia berpulang
dengan luka dan lupa. Luka yang belum sembuh oleh borgol yang melingkar selama
tiga belas tahun dan lupa bahwa ia pernah berbagi kisah canda tawa di anatara
kita.
Kejadiannya semakin rumit setelah tangisan saudarinya di
keheningan pagi, diselingi ucap yang acap kali membuat kami harus iba dan bersungut. Mau dibawa ke mana ia. Musabab masalah
yang kami sendiri tak mengerti.
***
Kematian lainnya ialah kematian seorang ibu yang memiliki
enam bocah dengan suami yang tak ada di samping. Setelah seminggu harus
dirawat, tepat pada hari terakhir ia diperbolehkan pulang, ia harus menderita
sakit yang mengerikan. Merintih kesakitan. Saat itu, sebagai manusia yang
kadang kehilangan akal sehat, saya mulai menduga yang bukan-bukan. Berbicara seolah
paling bisa menyelami raga seseorang dan bahkan mulai membuat opini miring yang
seharusnya tidak boleh diutarakan.
Setelah sore menjelma malam, saya baru tersadar bahwa perihal
sakit, bukan sebuah permainan petak umpet. Atau sandiwara sinetron masa kini. Ia
datang dengan tetiba bahkan tidak sesuai dan bahkan tidak bisa dijelaskan
sesuai buku saku perawat dan kadang di luar daya jangkau ilmu pengetahuan
ilmiah saat ini. Ia terus mengerang kesakitan. Dan rujuk adalah tindakan bijak
untuk sebuah puskesmas kecil.
Perjalanan ke rumah sakit yang dirujuk adalah perjalanan
gelisah. Telinga terus waspada, bila sesekali erangan kesakitannya tak seirama
lagi. Terlambat barang dua detik dari irama yang sebelumnya. Mata juga
terpasang, sambil sesekali menoleh ke belakang. Memberikan kresek bagi ibu
perawat yang mabuk perjalanan.
Pada rumah sakit yang dituju. Ia harus meninggalkan semua
sakit yang mendera begitu berpindah tempat untuk membaringkan badan. Itulah
kematian seorang anak manusia. Sementara menunggu, listrik juga turut
berbelasungkawa dengan padam untuk beberapa saat dan menyala lagi.
Kematiannya ini menimbulkan banyak perasaan. Saya masih
menyimpan rasa bersalah yang amat.
Senja mendung, Maubasa, 10 Maret 2016 18:06
4 komentar
Write komentarMantap kae..
ReplyHahaha bagaimana mau bantu orang sakit? Perawat jg pake acara mabuk ni haha
:) kisah yang diceritakan dengan unik. Tahnks for share kae, keep posting
ReplyMaklum, perawat juga manusia. Hehehee.
ReplyTerima kasih, sudah berkunjung.
Sama-sama, Ka'e.
Reply