Menambahkan Trias Politica-nya Om John Locke
-Sebuah catatan iseng
Pagi yang cerah. Matahari
bersinar gemilang. Seperti anak kecil, ia mulai mengintip dari ujung tengu manu.
Menunjukkan sinar kuning keemasannya yang begitu menawan hati. Terbangun saya di
pagi hari, bersama kokokan ayam dan suara adzan subuh yang begitu menyentuh dan
menentramkan hati. Saya bergegas dari tempat tidur.
Sebagai manusia yang hidup di era
sekarang, saya akui, saya sudah mulai terbuai tawaran kecanggihan teknologi.
Khususnya ponsel pintar atau yang disebut android atau nama lainnya gadget.
Saya merasa, bahwa bangun pagi menjadi hampa, apa bila tidak langsung memegang
ponsel. Biar kekinian. Padahal itu tidaklah amat penting dan tidak penting
amat.
Hal pertama setelah memegang ponsel
ialah, membuka beberapa notifikasi akun media sosial saya. Selain komentar
tidak penting untuk status tidak penting saya, saya mendapatkan sebuah komentar
di Grup Facebook Antah Berantah –untuk tidak menyebut nama sebenarnya-. Seorang
anggota grup, dengan begitu antusias dan bersemangat menuliskan sekelumit kisah
tentang biaya transportasi sepeda untuk merujuk pasien ke rumah sakit di
ibukota kabupaten. Sungguh, sebuah kejadian langka, lantaran di era sekarang
ini, banyak anak muda yang antipati terhadap perkembangan dan kemajuan
daerahnya. (Walaupun tidak semua. Ini cuma pandangan saya). Saya yakin dia
tidak melakukan cross check. Lalu ia
dengan kerennya menulis tentang instansi yang diduga pungli, hanya karena
membaca status facebook terdahulu.
Kenyataannya, status yang dibuat
tersebut tidak benar. Orang yang menulis status berada jauh. Bahkan beribu mil
dan berbeda pulau pulau. Seperti kata chairil, cintaku jauh di pulau. Hehee...
hanya karena mendapat informasi keliru dari keluarganya. Ia menilai adanya
pungutan untuk biaya perjalanan, padahal tidak sama sekali. Hal ini langsung
direspon cepat dan masalahnya selesai.
Di luar dugaan. Ada orang yang
merasa sungguh perhatian dengan tanah kelahirannya sehingga perlu mengawasi walaupun
dia jauh. Sungguh, perbuatan mulia. Ia dengan amat yakin menulis tentang dugaan
pungutan liar, padahal dia tengah asyik memungut kata-kata dengan liar untuk
menuliskan statusnya, walau status itu perlu dipertanyakan.
Anggota grup tersebut menyadari
betul bahwa kinerja aparatur kerajaan mesti diawasi dan dikontrol oleh
masyarakat. Biar jauh di tanah seberang, hati tetap di tanah kelahiran
tentunya. Kita harus berkomentar dengan sesuatu yang kita rasakan ada
ketimpangan. Selanjutnya entah itu terbukti atau tidak urusan kemudian. Yang
penting kita berkomentar sebagai fungsi kontrol. menganalogikan burung, harus
tetap berkicau walaupun, bisa saja suara mereka didengar sambil lalu saja.
Saya jadi teringat akan pelajaran
tata negara ketika SMA. Tentang bagaimana negara itu diatur pembagian tugasnya
agar masing-masing aspek dalam pemerintahan memiliki porsi tugas dan kewenangan
yang sama rata. Namanya, Trias Politica. Pada tahun 1690, Om John Locke mencetus
ide dasarnya dalam buku Magnum opus
–Karya Agung-. Karya agung tersebut kemudian disempurnakan Om Montesquieu di
tahun 1748 dalam Spirits of The Laws.
Pembagian kekuasaan tersebut
dibagi dalam tiga (Trias) aspek besar dalam pemerintahan. Ada Eksekutif yang
bertanggungjawab dalam menjalankan roda pemerintahan. Kemudian Legislatif sebagai
fungsi kontrol dan Yudikatif yang mengurusi hukum (Law). Hemat saya, di era modern ini. Di mana sudah begitu
berkembangnya teknologi, Om John Locke harusnya bangkit kembali untuk lebih
jeli melihat persoalan. Ia harus menamhkan elemen lain untuk karya agungnya.
Harus ada aspek lain, yang selama
ini dikesampingkan. Ada aspek masyarakat (People)
dan aspek media (Medium). Kedua aspek
ini harusnya ditambahkan agar masing-masing elemen yang membentuk sebuah negara
merasa tidak dianaktirikan.
Masyarakat yang notabene sebagai
elemen paling dasar dan paling banyak harusnya diperhitungkan. Akibat kurang
diperhitungkannya masyarakat itu, maka ada yang namanya “omong dibelakang”.
Bagaimana tidak, ketiadaan ruang untuk masyarakat memberikan aspirasi atau
kontribusi yang membuat hal demikian. Hal ini bisa jadi menghambat proses
pembangunan. Informasi yang “omong belakang” tadi, bisa jadi cukup penting,
namun karena keterbatasan ruang untuk
menyampaikannya itu, membuat ia menjadi begitu tak bernilai.
Sebenarnya, ada perwakilan
masyarakat yang bernama legislatif tersebut. Namun, terkadang mereka terlalu
banyak mendengar suara masyarakat sehingga terkadang mereka lupa menyampaikan
lagi. Bisa juga karena keterbatasan mulut dan telinga. Mulut yang cuma satu,
tak cukup mengungkapkan banyak persoalan yang disampaikan. Telinga yang cuma dua,
juga tak cukup mendengar dari banyaknya mulut yang bersuara.
Akibat hal ini muncullah sebuah
elemen lain yang mempengaruhi dan mendukung masyarakat untuk menyampaikannya
ujudnya secara langsung. Walau kadang, apa yang disampaikan itu juga
dikategorikan sebagai “omong belakang”. Elemen bernama media. Media yang
berkembang dari bentuk paling tradisional, berubah menjadi bentuk yang modern
dengan tawaran yang lebih efektif dan efisien. Media sosial namanya. Media ini
boleh disuarakan oleh siapa saja, hanya bermodalkan ponsel ataupun komputer dan
sambungan data sebagai jalan masuknya. Salah satunya ialah facebook.
Patutlah, kita berterima kasih
untuk Om Mark yang membuat facebook, sehingga aspirasi kita bisa disampaikan,
walau bisa jadi tidak didengar (Jangan salah paham dulu, facebook kan untuk di
baca, bukan didengar. Kecuali kita membuatnya dalam bentuk audio).
Inilah yang mungkin juga harus
ditambahkan. Aspek Media. Media menjadi sebuah saluran yang cukup mendekatkan.
Media menjadi corong bagi masyarakat (people) untuk menyampaikan pendapatnya.
Dan media sosial (Social media) menjadi cara paling efektif, efisien dan
merakyat, sehingga sampai akar rumput pun media sosial bisa dijangkau.
Adanya media sosial, membuat
segala macam informasi tersampaikan. Namun, sebagai masyarakat, kita tentunya
diajak untuk lebih memahami isi dan isu dari beragam informasi yang disampaikan
tersebut. Tidak semua yang dibaca, terbaca. Dengan kata lain, tidak semua yang
ditulis dipahami atau pun bermakna sama. Bisa jadi, dia memiliki ambiguitas.
Dalam kasus di atas, orang telah
salah menerima informasi sehingga mereka juga salah untuk menyampaikan
informasi yang sama kepada khalayak ramai. Ironis memang, namun apa mau dikata.
Disaat sekarang ini, orang berlomba untuk mengungkapkan. Biar bisa dikatakan
kreatif, padahal belum tentu dia terlihat keren. Bisa saja dia menjiplak dari
orang lain. Lebih fatal lagi, jika hasil jiplakannya itu ternyata salah.
Istilah sederhananya yakni, sudah nyontek, salah pula.
Akhir kata, seharusnya Om John
memperhitungkan itu, biar tidak ada demo dan tidak ada perdebatan tiada akhir
dan tidak ada yang dadanya panas dalam menghadapi sekelumit persoalan. Kita
boleh bekerja namun, akan menjadi sia-sia apabila dalam proses pekerjaan kita
menyinggung atau menyakiti hati sesama. Kita boleh mengawasi dan mengontrol,
namun alangkah bijaknya apabila kita terlebih dahulu menasihatinya di bawah
empat mata, sebelum menyampaikannya secara terbuka. Bila baju saudara kita
robek, mungkin kita menegurnya di rumah. Sebelum ia melangkah lebih jauh ke
tempat pesta.
Catatan:
Ini tulisan saya buat sekenanya tanpa alasan. Tak ada maksud untuk
apapun dan siapapun. Ya, semacam fiktif belaka di FTV.
Salam
Wora Rewo.