Malam Itu
![]() |
Ilustrasi gambar dari: https://www.istockphoto.com/id/ |
Sore tadi tubuh saya benar-benar remuk. Bukan hanya karena kuliah yang menuntut konsentrasi penuh, tetapi juga karena obrolan panjang dengan Mbak Syifa di kelas lantai lima setelah kuliah usai. Kami bercakap sampai senja menetes pelan di balik gedung fakultas. Setelah itu saya pulang dengan langkah berat, kantuk seperti menumpuk di pelupuk.
Setiba
di kos, saya hanya sempat meletakkan tas, membuka sepatu, menyalakan AC lalu
menjatuhkan badan ke kasur. Begitu kepala menempel di bantal, dunia terasa
menjauh. Saya terlelap, begitu lelap hingga rasanya jiwa ini ditarik turun ke
dasar lautan.
Lalu
sesuatu membangunkan saya dari tidur.
Kring…
kring… kring…
Suara
telepon berdering.
Saya
menggeliat, meraba ponsel di sisi bantal. Aneh. Layar kosong, tidak ada
panggilan tak terjawab. Tidak ada riwayat panggilan. Padahal jelas sekali
bunyinya. Saya menarik napas, mencoba menenangkan diri. Mungkin hanya mimpi.
Saya
kembali membenamkan wajah di bantal. Kantuk datang lagi, menutup mata perlahan.
Namun
tak lama, kring… kring… kring… ponsel itu berdering lagi.
Saya
terlonjak, jantung berdegup kencang. Kali ini lebih keras, lebih nyata. Saya
meraih layar, tetap sama: kosong, tidak ada panggilan masuk. Hanya bayangan
wajah pucat saya sendiri yang memantul di permukaan layar ponsel.
Saya
melirik jam digital di layar. Jarum waktu menunjuk 11 malam. Perut terasa
kosong, ternyata saya belum makan malam. Ke warung pun rasanya malas. Lagi pula,
warung terdekat sudah tutup jam 10 malam. Saya hanya menenggak air dari botol,
lalu merebahkan tubuh kembali.
Gelap
menyelimuti. Kantuk datang lebih pekat.
Namun
belum lama mata terpejam,
"tok,
tok, tok"
Suara
keras menghantam pintu kamar.
Saya
sadar sempurna. Merinding. Ingatan saya melayang ke cerita mas penjaga pos di
depan kompleks malam minggu kemarin. Katanya, ia pernah melihat sesuatu yang
membuat bulu kuduk berdiri. Sebuah kepala tanpa badan terguling sendiri di
jalan, menggelinding di tengah malam. Gelindingan kepala itu, katanya, selalu
menuju ke arah kos kami bagian belakang, tempat kamar saya berada.
Saya
menelan ludah. Dada sesak, telinga terasa panas.
Saya
duduk di tepi kasur, menajamkan telinga. Suara burung malam melengking panjang,
terdengar begitu dekat di atap. Dari lantai bawah, kucing kampung meraung
keras, bersahutan, seakan melihat sesuatu yang tidak bisa saya lihat.
Hikhihihikkkkkkkk
…
Tiba-tiba
terdengar suara cekikikan nenek-nenek. Pelan, namun jelas.
Saya
meringkuk, mencoba menyelipkan tubuh di pojok kamar, terjepit antara tembok dan
lemari. Saya ingin menghilang, sekecil mungkin, seolah dinding bisa menelan
saya bulat-bulat. Ponsel segera saya matikan, takut bunyinya justru memancing
perhatian makhluk yang berkeliaran malam itu.
Lalu,
byurr…
byurr… byurr…
Dari
kamar mandi terdengar suara air. Sepertinya ada yang mandi.
Saya
terpaku. Bagaimana bisa? Sejak sore tadi saya tidak membuka keran. Kos ini pun
sepi, sebagian penghuni tak tampak batang hidungnya ketika saya pulang tadi.
Seharusnya hanya saya seorang di lantai atas.
Air
terus mengalir, bercampur suara cipratan, seolah seseorang tengah menyiram
tubuhnya. Jantung saya berdentam tak karuan.
Kemudian,
dari dalam kamar mandi, terdengar suara perempuan. Lembut, tapi dingin menusuk.
“Mas Djho… tolong ambilkan handuk…”
Saya
membeku. Suara itu memanggil nama saya. Dua kali. Nada suaranya mendayu, seakan
datang dari seseorang yang sangat mengenal saya. Tapi siapa?
Saya
ingin menjawab, tapi mulut terkunci. Ingin lari keluar, tapi kaki seperti
terpaku di lantai.
Air
masih mengucur. Suara itu mengulang.
“Mas
Djho… handuknya…”
Kali
ini lebih dekat. Lebih jelas.
Saya
menahan kencing. Tubuh gemetar hebat. Kedua tangan menggenggam erat, berdoa
dalam diam. Bapa Kami, Salam Maria, dan Aku Percaya bercampur tak tahu lagi rumusannya
yang benar.
Sekilas
saya teringat Mbak Syifa. Suaranya yang lembut dengan medok sunda, hampir mirip
dengan suara yang sekarang memanggil. Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin ia
berada di kamar mandi kos saya.
Keringat
dingin menetes di pelipis.
Suara
itu berhenti. Tinggal sisa tetesan air, tik… tik… tik… jatuh ke lantai kamar
mandi.
Sunyi.
Sunyi yang menekan.
Saya
menutup telinga, tapi tetap mendengar suara lain: langkah kecil, menyeret
pelan, mendekat dari arah kamar mandi ke pintu kamar.
Srek…
srek… srek…
Seperti
kain basah diseret.
Saya
gemetar hebat. Tidak berani menoleh.
Pintu
kamar mandi perlahan terdorong, berdecit pelan.
Krieeet…
Cahaya
lampu dari dalam kamar mandi menembus tipis, keluar dari pintu yang tak ditutup
rapat. Tapi yang membuat napas saya terhenti bukanlah cahaya itu, melainkan
bayangan hitam panjang yang ikut masuk, menempel di lantai tanpa wujud tubuh.
Bayangan
itu meluncur perlahan ke dalam kamar, berhenti tepat di depan lemari tempat
saya meringkuk.
Saya
memejamkan mata erat. Bibir bergetar, doa berdesakan di mulut.
Tiba-tiba,
bisikan itu kembali. Dekat sekali di telinga.
“Mas
Djho… handuknya…”
Saya
terpaksa membuka mata. Dan hampir menjerit.
Di
ujung kasur berdiri sosok perempuan berambut panjang, basah kuyup, tetes air
jatuh dari helaian rambutnya. Wajahnya menunduk, rambut menutupi muka.
Tangannya menggenggam sesuatu.
Bukan
handuk. Melainkan kepala manusia.
Kepala
itu menatap saya, mata melotot, lidah terjulur, darah menetes dari leher
putusnya.
Saya
nyaris pingsan. Tubuh seakan terlepas dari jiwa.
Sosok
itu melangkah pelan, air menetes mengikuti jejaknya. Semakin dekat. Saya ingin
berteriak, tapi suara tak keluar.
Akhirnya
saya hanya bisa menutup mata lagi, menggigil, menahan tangis. Saya tidak tahu
berapa lama waktu berjalan.
Saat
membuka mata, ruangan sudah sunyi. Pintu kamar kembali tertutup rapat. Kamar
mandi kering, seakan tak pernah ada yang mandi. Tidak ada sosok perempuan,
tidak ada kepala terguling.
Hanya
saya, terjebak di pojok, tubuh lemas, seperti selesai diperas habis-habisan.
Saya
menghidupkan kembali ponsel saya. Jam ponsel menunjukkan pukul 3 dini hari.
Saya
tidak berani tidur lagi.
Dari
luar, cahaya mulai merambat lewat gorden yang tak ditutup rapat, tanda fajar
akan datang. Saya menunggu cahaya matahari benar-benar terang masuk lewat
jendela. Baru setelah itu, dengan langkah gemetar, saya berani keluar kamar.
Lorong
kos tampak biasa saja. Namun jejak air masih tersisa di lantai, pintu kamar
mandi tertutup rapat dan terkunci dari luar.
Saya
tercekat. Tubuh mendadak ringan, seperti terangkat.
Saat
mata saya terbuka lebar, cahaya pagi sudah memenuhi kamar. Ponsel di samping
bantal menunjukkan pukul 07.15. Saya masih memakai baju yang sama, tas kuliah
tergeletak di lantai.
Tidak
ada jejak air. Tidak ada bekas pintu digedor. Tidak ada suara perempuan.
Semua
hening.
Saya
tersadar… Kejadian barusan ternyata hanyalah mimpi.
Waduh.
Terlambat ke kampus. Saya bergegas ke kamar mandi.
Ah,
lupa handuk.
Ketika
itu juga suara perempuan memanggil dari luar.
“Mas
Djho… handuknya…”
“Mas
Djho… handuknya…”
“Kemarin
lupa aku isikan bersama cucian lainnya yang sudah diantar” suara Ibu langganan
laundry saya.
“Aku
taruh di kursi depan kamarmu ya...”
Saya tersadar. Ternyata masih sore.
“Ah, hampir saja saya ke kampus lagi” gerutu saya keluar dari kamar mandi, lalu kembali tidur lagi.