BERPIKIR DEMI KEMANUSIAAN

Mei 10, 2013 0 Comments A+ a-

Refleksi Terhadap Legenda Ia, Meja dan Wongge

Apabila anda masuk ke Kota Ende dari arah selatan entah menggunakan kapal laut atau pesawat terbang, anda tentu akan tercengang menyaksikan beberapa pulau dan gunung yang seakan kokoh memagari Kota Ende dari berbagai serangan dari Laut Selatan itu. Ada Pulau Ende, Pulau Koa yang kecil, Gunung Meja, Gunung Wongge dan Gunung Ia yang berapi itu, yang kadang mengeluarkan asap. Dan beberapa pulau dan gunung itu memiliki legenda tersendiri.
Dikisahkan bahwa di sebuah perkampungan nelayan, hiduplah seorang gadis yang cantik jelita. Kecantikannya itu membuat setiap lelaki tak nyenyak tidur memikirkannya. Kepastian selanjutnya tentu ingin memperistrinya. Di situ ada juga dua pemuda yang juga tertarik pada gadis yang bernama Iya itu. Kedua pemuda itu sangat berbeda karakter dan rupa. Yang bernama Wongge ialah lelaki kasar yang berwajah buruk, sedangkan lelaki yang bernama Meja adalah lelaki yang berperilaku halus dan rupawan. Sang bunga desa lebih tertarik kepada lelaki yang bernama Meja dan menerima cintanya. Hal ini berbanding terbalik dengan perlakuannya kepada Wongge. Iya bahkan dengan acuh menolak cinta Wongge.
Mendengar dan melihat tingkah Iya yang cuek terhadap dirinya, Wongge tidak menyambut baik. Dia yang terlanjur sakit hati karena kalah persaingan cinta dan juga cintanya bertepuk sebelah tangan, memikirkan hal paling tidak manusiawi untuk mengakhiri kemelut cinta untuk dirinya sendiri dan juga bagi Iya dan Meja.
Suatu malam dengan dada yang panas, Dia mendatangi rumah Meja. Sebuah parang Dia bawa serta. Di sana Dia mengakhiri sebuah kehidupan. Kepala Meja dipenggal saat orang tersebut lelap dalam tidurnya. Jatuh terpelanting ke laut. Parangnya juga Dia buang ke lautan sebagai salah satu cara penghilangan barang bukti. Dia kemudian berlari menjauh kampungnya. Inilah kisah cinta yang sungguh tragis.
Akhir ceritanya adalah semua pelaku dalam cerita ini menjelma menjadi gunung dan pulau. Wongge menjadi Gunung bernama dirinya. Begitupun Meja dan Iya. Sedangkan kepala Meja menjelma menjadi sebuan pulau bernama Koa, serta parang dari Wongge menjelma menjadi Pulau Ende.

Pesan Dongeng Sebelum Tidur

Legenda itu patut dipertanyakan kebenarannya berdasarkan kacamata ilmiah. Secara logis kita pasti berpikir bahwa cerita ini hanya bualan belaka. Hanya akal-akalan orang dahulu sebagai sebuah dongeng untuk menina bobokan anak mereka, yang kemudian berhasil diadaptasi dari mulut ke mulut secara luas sesuai gaya bahaya dan persepsi mereka.
Tidak ada manusia yang bisa berubah rupa menjadi bentuk lain. Demikianpun benda tak mungkin merubah wujudnya menjadi manusia. Manusia hanya berusaha untuk hidup aman dan tentram di samping proses adaptasi dan sosialisasinya. Di sinilah letak sebuah kebohongan telah dimulai. Manusia yang melihat sesuatu mulai berimajinasi kreatif untuk menghasilkan sebuah bentuk lain dalam cerita. Ketika memandang sebuah gunung yang ujungnya rata bak meja, mereka lalu berimajinasi, sama halnya dengan Pulau Karang (Pulau Koa) yang menyerupai kepala manusia dan Pulau Ende yang mirip sebilah parang bila dilihat dari atas. Dan jadilah cerita ini sebagai dongeng ataupun sebagai bahan mengisi waktu luang ketika menunggu makan malam.
Seperti layaknya sebuah dongeng, tentu ada hal positif yang mau disampaikan, baik secara tersirat maupun secara tersurat. Di sinilah sebuah penambahan esensinya selain sebagai cerita penghantar tidur. Meminjam apa yang dikatakan Horace: “dulce et utile- sebuah karya ‘cerita yang baik’ harus memiliki sifat menghibur dan mengajarkan sesuatu”. Dan kita telah diajarkan bahwa senantiasa bersyukur pada apa yang kita miliki sambil berupaya untuk meraih impian dengan tindakan dan pemikiran yang tentunya positif.
Lebih dari itu, kita tentu diingatkan agar tidak menerima keadaan sebagai sebuah kekalahan. Berpikir dan bertindak yang benar. Jangan menganggap sebuah bentuk penolakan atau belum berhasilnya usaha kita sebagai sebuah penghinaan. Kita tentu bercermin diri sejauh mana usaha dan kemampuan kita. Sehingga perbuatan kita selalu terkontrol.
Hal lainnya ialah, kita diusahakan untuk senantiasa membuka diri. Saling berinteraksi. Dengan begitu setiap persoalan dapat diketahui dan dicari solusi yang terbaik demi kebaikan bersama. “no man is alone like an island”. Bersosialisasilah, maka segala sesuatu akan kita terima dan pertimbangkan.

Bertindak dengan Minimnya Kata

Mendengar Iya menolak cintanya dan melihat Meja bermesraan dengan Iya, Wongge naik pitam. Ia tak mau ada yang memiliki gadis rupawan seperti ia dimiliki orang lain. Niat jahatnya ia pendam untuk suatu saat ia lakukan. Dan memang benar, ia berhasil memenggal kepala Meja ketika orang itu tertidur lelap di malam harinya. Sebuah tindakan dengan diam. Tindakan yang tak menimbang akibat yang akan muncul diakhirnya.
Seharusnya bertindak adalah sebuah proses panjang. Merumuskan dari awal sampai risiko yang akan timbul dari tindakan yang akan dilakukan. Pemikiran yang matang akan memberikan kontribusi yang nyata bagaimana efek yang terjadi nanti. Masyarakat ende, tempat legenda ini diceritakan hendaknya sadar bahwa legenda ini adalah cerminan masyarakat itu sendiri dari teropongan antropologi. Gambaran tentang kurangnya sportivitas seharusnya menjadi semacam sebuah jari yang menunjuk ke hidung kita.
Cerminan cerita adalah segala sesuatu yang diambil dari budaya setempat. Dari lokalitas cerita inilah bisa didapat sejauh mana karakter individu suatu masyarakat tertentu. Cerita cinta terlarang dari Sangkuriang kepada Sumbi yang adalah Ibunya sendiri tentu tidak bisa disamakan dengan legenda ini. Letak persamaannya hanyalah bahwa budaya setempat mempengaruhi hasil olah pikir dan kreativitas itu.

Kemanusiawian Kita

Manusia yang sesungguhnya ialah manusia yang menghargai sebuah kehidupan dan arti yang terkandung di dalamnya. Hidup manusia bukan karena manusia itu sendiri yang meniupkan nafas kehidupan. Ada keberadaan lain yang menganugerahkan kehidupan yang sungguh amat mulia ini. Apabila ada yang sengaja ataupun tidak dalam upaya menghilangkan nyawa orang lain. Itulah sebuah problem. Orang tersebut belum benar menyadari arti hidupnya. Tentu saja kehidupan sesungguhnya yang ia miliki tak diamalkan bagi sesama.
Dari cerita Legenda ini. Wongge sebagai tokoh antagonis, mencerminkan sikap dan tindakan yang tidak terpuji. Ia menilai rendah sebuah kehidupan. Demikian dalam keseharian kita, kadang orang dengan mudah menghilangkan nyawa orang lain demi kepentingan diri semata. Keegoisan menjadi sebuah kesalahan besar bagi orang yang demikian.
Jalan akhir dari kemelut ini bagi saya adalah sikap sportivitas. Menemukan kekurangan diri dan menyadarinya supaya bisa diupayakan untuk memperbaikinya. Menghidupkan dan mematikan seseorang bukan tanggungjawab kita. Kita hanya bertanggungjawab untuk kelangsungan hidupnya. Tindakan juga harus disertai dengan pemikiran yang jernih dan matang.
Semoga masyarakat ende tidak hanya memandang legenda ini sebelah mata, tetapi lebih ke dalam merenung bahwa legenda ini berasal dari lingkungan sendiri yang sudah memasyarakat dan tentunya entah sadar atau tidak sesungguhnya adalah cerminan dari keseharian kita. Upaya kita hanyalah memetik hikmah dibalik semuanya ini.

Tulisan Terbaru

Sera Diri – Salah satu Tahap Perkawinan Tana Zozo.

Ilustrasi dari internet   “saya cintau dengan kau e…” “hmmm… gombal” “Tidak e. Serius” “kalo serius buktinya mana?” “bukti apa? Be...