ENIGMA THOYIBAH

Gambar diambil dari sini


Di kelas, Thoyibah seperti bayangan yang hanya sekadar ada. Ia duduk di bangku pojok dekat jendela, lebih banyak menunduk, tenggelam dalam catatan atau sekadar melamun. Tak banyak yang tahu isi pikirannya. Ia tak cerewet, tak suka berbincang panjang lebar, tapi di balik keheningannya, ada keisengan kecil yang hanya segelintir orang sadari.

Kadang, di grup WhatsApp kelas, tiba-tiba muncul foto seseorang yang tengah serius mendengarkan pelajaran, diambil dari sudut yang diam-diam. Ada yang tengah menguap, ada yang menatap kosong ke depan, bahkan ada yang setengah tidur dengan mata setengah tertutup. Tidak ada banyak yang menyadari hal itu, tapi saya dengan penuh kesadaran cukup bingung dengan ulah Thoyibah tersebut.

Namun, tak ada yang pernah benar-benar marah padanya. Mungkin karena ia melakukannya dengan begitu halus, atau mungkin karena ia tetap menjadi gadis yang tak banyak bicara, seolah kehadirannya sendiri tak berpengaruh dalam dinamika kelas.

Masa lalunya bukan rahasia bagi saya yang kadang berbincang dengannya. Orang tuanya meninggal sejak ia kecil. Sejak itu, ia lebih banyak diam. Sepeninggal mereka, ia tinggal bersama pamannya di sebuah desa, Bayan namanya. Ia tumbuh dengan luka yang tak pernah benar-benar diceritakan, tapi juga dengan ketangguhan yang perlahan membentuknya.

Selepas kuliah di Universitas Mataram, ia memilih kembali ke desanya. Bukan untuk melarikan diri dari dunia, tapi justru untuk mengabdikan dirinya di sana. Ia aktif sebagai kader posyandu, mendata anak-anak balita, menimbang berat badan mereka, mengingatkan para ibu tentang jadwal imunisasi. Ia juga menjadi bagian dari program pemberdayaan masyarakat, mendampingi para perempuan desa dalam pelatihan ekonomi kreatif. Ia tak banyak berbicara, tapi tangannya bekerja. Diamnya bukan kebekuan, tapi kedalaman.

Namun, ada sisi lain dari Thoyibah yang tak banyak orang tahu. Di balik sikap pendiamnya, ia memiliki dunia lain—dunia kata-kata. Ia menulis di blog pribadinya. Tulisan-tulisannya sederhana, mengalir seperti arus sungai di musim penghujan, menyentuh hati siapa saja yang membacanya.

Ia mulai menulis sejak SMK. Katanya, ada seseorang yang pernah berkata padanya, "Menulis adalah cara terbaik untuk bersuara tanpa harus berbicara." Kata-kata itu melekat di benaknya. Awalnya, ia hanya menulis liputan kegiatan di sekolah, kemudian berkembang menjadi kisah-kisah kecil tentang kehidupan di desanya. Dari sana, ia menemukan tempatnya.

Banyak yang penasaran, siapa sebenarnya Thoyibah? Mengapa ia memilih diam, tetapi bersuara lewat tulisan? Mungkin hanya dirinya yang tahu jawabannya. Atau mungkin, ia adalah enigma—sebuah teka-teki yang tak perlu dipecahkan, hanya cukup untuk dipahami dengan hati.


Mie Instan dari Ibu Dosen


Mie Instan dari Ibu Dosen

 

Sabtu itu, udara pagi di kampus terasa lebih adem dari biasanya. Mahasiswa berjalan santai menuju kelas, beberapa masih setengah mengantuk. Saya melangkah masuk ke ruang listening dengan harapan bisa melewati perkuliahan tanpa banyak kesulitan.

Ada beberapa orang telah berada di sana. Setengah delapan pagi, di depan kelas, Miss Beta sudah berdiri dengan senyumnya yang khas. Saya semalam sempat melihat story Instagram beliau—ada setumpuk kertas di meja. Sepertinya beliau sedang menyiapkan materi untuk hari ini, pikir saya.

Di dalam kelas Listening.  Dingin karena AC membikin saya duduk di bangku tengah, kali ini mencoba fokus pada suara native speaker yang diputar melalui speaker di depan ruangan. Kata-kata mereka mengalir cepat, nyaris tak memberi ruang bagi otak saya untuk mencernanya. Saya menghela napas, merasa kepala ini semakin berat.

Di depan kelas, Ibu Dosen terus menjelaskan dengan suara lembutnya. Ia memang bukan tipe pengajar yang galak, tapi juga bukan yang mudah didekati. Saya selalu merasa beliau punya aura misterius—mungkin karena sorot matanya yang intens tapi penuh perhatian.

Saat kelas hampir selesai, beliau tiba-tiba berhenti berbicara dan mengarahkan pandangannya ke arah Dedi.

“Miss Beta ke mana?” ada yang bertanya.

Seng tahu.” yang lain menimpali.

Kami terkejut. Tidak menyangka dari luar ruangan, Miss Beta kembali ke dalam kelas bersama Dedi yang menjinjing sebuah kresek besar berwarna putih.

“Hari ini saya ingin berbagi sedikit rezeki,” katanya.

“Bulan puasa ini pasti berat buat kalian, apalagi kalau sedang sibuk tugas dan tidak sempat sahur. Jadi, saya ingin memberi kalian sedikit hadiah.”

Kami semua terdiam sesaat, lalu kelas riuh dengan gumaman syukur dan tawa kecil. Satu per satu, kami maju ke depan untuk menerima mie instan dari beliau. Saat saya mengambil milik saya, saya melihat ada selembar kertas kecil berwarna kuning tertempel di depan plastiknya. Saya membacanya pelan dalam hati;

“Maaf lahir dan batin.”

Saya tersenyum. Sederhana, tapi hangat. Seperti sepotong perhatian di tengah kesibukan kuliah dan tugas yang  sedikit dan dibilang menumpuk (Biar ada Drama2nya. Heheheheee).

Malam sebelumnya, saya berpikir bahwa Ibu Beta mungkin sedang sibuk menyiapkan materi perkuliahan. Ternyata, beliau juga sedang menyiapkan sesuatu yang lebih dari itu—sebuah bentuk kepedulian kecil yang menghangatkan hati kami semua.

“Terima kasih, Bu,” hanya itu yang bisa saya ucapkan.

Mie instan itu mungkin hanya sebungkus kecil, tapi di mata saya saat itu, ia adalah kehangatan, perhatian, dan kepedulian dalam bentuk yang paling sederhana. Dan itu lebih dari cukup.




Perjalanan Senja: Dari Jebres ke Yogyakarta, Mengantar Teman Pulang ke Kei

 


Senja jatuh pelan di ufuk barat ketika saya melangkah ke Tower UNS, menunggu Mey dan Maya. Ya, dua orang ini yang kadang spontan ikut ketika saya mengajak mereka. Entah, ke Alun-alun atau menonton film dan beberapa tempat lainnya di Solo. Kali ini mereka hendak ikut ke Jogja, karena kami bermufakat untuk mengantar teman kami, Angel, kembali ke Kei, Maluku untuk beberapa saat. Ayahandanya meninggal dan dia harus mengantar Beliau ke tempat peristirahatan terakhir.

Kereta Rel Listrik (KRL) tujuan Yogyakarta sudah terjadwal berangkat dalam beberapa menit. Membuat saya sedikit cemas takut terlambat. Udara sore itu sejuk, angin tipis-tipis menyelinap di antara bangunan tua stasiun yang masih mempertahankan arsitektur lokalnya. Tiba di Stasiun, kami mencari beberapa teman lagi sembari menunggu Angel yang kabarnya lewat WA Grup, masih dalam perjalanan. Perjalanan ke timur masih panjang baginya—dari Yogyakarta, ia akan melanjutkan ke Makassar, lalu terbang ke Ambon sebelum akhirnya tiba di tanah kelahirannya. Tapi untuk saat ini, tugas saya sederhana: mengantarnya hingga Stasiun Yogyakarta.

Saat KRL datang, pintunya terbuka otomatis, dan kami bergegas masuk. Gerbong sore itu terlampau penuh. Mayoritas penumpang adalah pekerja yang pulang dari Solo ke Klaten atau Yogyakarta, beberapa mahasiswa dengan ransel di punggung, dan sepasang turis asing yang tampak asyik mengobrol dengan seorang pria lokal.

Kereta mulai bergerak. Melalui jendela besar yang bersih, pemandangan Solo mulai berganti—rumah-rumah penduduk, lapangan, hingga hamparan sawah yang luas di perbatasan kota. Langit senja menciptakan semburat jingga keemasan, memantul di rel yang seakan memandu perjalanan ini.

Di perjalanan, kami mengobrol santai. Teman saya bercerita tentang sepatu yang baru dibelinya, tentang komunitas literasinya dan tentang semangatnya membangun komunitas untuk pendidikan luar sekolah. Sementara beberapa jarak dari mata saya, Angel berdiri tegar, mungkin memikirkan laut yang biru sejernih kaca, pasir sehalus tepung, dan kehidupan di pulaunya yang jauh dari hadapannya sekarang.

Stasiun demi stasiun terlewati: Solo Balapan, Purwosari, Gawok, Delanggu, Ceper, Klaten, Srowot, Maguwo. Setiap pemberhentian menghadirkan wajah-wajah baru yang masuk dan keluar, masing-masing membawa kisahnya sendiri. Di Klaten, seorang ibu naik dengan anak kecil yang langsung duduk di kursi prioritas. Si bocah menempelkan wajahnya ke jendela, matanya berbinar melihat rel yang berkelok di kejauhan.

Ketika kereta mendekati Stasiun Maguwo, langit semakin gelap, dan lampu-lampu jalan mulai menyala. Tak lama, pengumuman dari pengeras suara mengabarkan bahwa KRL segera tiba di tujuan akhir: Yogyakarta.

Stasiun Tugu menyambut dengan hiruk-pikuknya. Penumpang turun, sebagian bergegas ke peron untuk mengejar kereta lanjutan. Di kejauhan, aroma gudeg dan angkringan menyeruak dari luar stasiun, menggoda perut yang mulai lapar.

Kami berjalan keluar, menyeret langkah di lantai peron yang dingin. Di sini, perjalanan saya berakhir, tetapi bagi teman saya, perjalanan ke Kei baru akan dimulai. Kami berjabat tangan, lalu berpisah di antara riuh rendah stasiun yang tak pernah benar-benar tidur.

Senja telah berubah menjadi malam. Dan perjalanan, seperti hidup, selalu tentang perpisahan dan pertemuan. Dalam perjalanan tadi, saya mulai berimajinasi, melihat beberapa wajah dan dengan iseng menempatkan mereka dalam sebuah puisi.

 

KRL Solo Jogja Suatu Sore

 

Di dalam gerbong nan tua yang letih

orang-orang menggantungkan rindu di jendela

langit berlari membikin kota mengecil

sementara detik-detik jatuh di antara rel

 

Seorang perempuan mengimpit tas

matanya kabut mengejar waktu

di rumah jauh di ujung samudera

seseorang telah pergi ke haribaan-Nya

dan ia tak sempat mengucap selamat tinggal

 

Di sudut lain seorang perempuan

menyeka sisa pelukan dari pipinya

di stasiun yang lalu cinta telah turun

meninggalkannya sendirian dengan hujan

 

Laki-laki tua memegang kantung kosong

sebutir nasib buruk: ayamnya hilang!

Ia mengutuk kereta yang terlalu cepat

atau mungkin takdir yang terlalu rakus

Sementara di bangku paling depan

seorang pemuda tersenyum kecil

di saku doanya ada email mengendap

dan janji hari pertama bekerja

 

Ada yang bersandar dengan luka

tertusuk janji yang tak sempat sembuh

ada yang berbisik pulang dengan bahagia

karena rumah adalah nyanyian yang tetap menunggu

 

Gerbong melaju

menghimpun kisah-kisah rapuh

menyerahkan semuanya pada malam

yang diam-diam mencatat perjalanan


Tulisan Terbaru

ENIGMA THOYIBAH

Gambar diambil dari sini Di kelas, Thoyibah seperti bayangan yang hanya sekadar ada. Ia duduk di bangku pojok dekat jendela, lebih banyak me...