Catatan #4: Buat Buah Hatiku

Diilustrasi dengan AI dari Foto Asli

Lagu “Home” dan Perjalanan Bapa Pulang

Halo anakku, sekarang sudah bertiga, dua gadis dan Si Bungsu lelaki. Sore ini Bapa menulis lagi untukmu, Si Sulung, setelah bertahun-tahun Bapa seperti kehilangan gairah dan ide buat menulis, di kamar kecil Bapa di Maubasa, yang sunyi seperti saku yang kehilangan surat. Ini adalah kenangan yang Bapa simpan dalam dada, tapi kini ingin Bapa tuangkan di sini, agar kelak kamu tahu: sebelum kamu lahir, dunia sudah memintamu bersabar. Bapa menulisnya setelah mendengar sebuah lagu yang sangat memorable.

Tahun 2018, Bapa menikahi Mamamu. Hari itu bukan pesta besar, bukan juga perayaan mewah seperti yang sering dilihat di film-film. Tapi justru dalam kesederhanaan itu, Bapa merasa bahwa semesta menyaksikan kami: dua orang yang bersatu karena cinta yang dipelihara dalam diam, dalam doa, dan dalam janji untuk saling menjaga, tak peduli seberapa jauh kehidupan akan menyeret kami nantinya.

Dan benar saja, tak lama setelah ucap janji dan doa restu di depan Altar, Bapa harus mengantar kembali Mamamu ke Kupang. Tugas negara, begitulah kira-kira. Tapi di balik penugasan itu, Bapa tahu telah meninggalkan sesuatu yang tak bisa diganti oleh gaji atau kehormatan: kehadiran Bapa di sisi Mamamu, yang saat itu mulai belajar menjadi seorang istri. Lalu tak lama, menjadi seorang calon mama.

Mamamu tetap di Kupang, di rumah kecil yang baru kami sewa. Rumah itu sudah beberapa bulan kami tempati bersama. Bahkan sabun dan handuk kami pun masih seperti tamu yang belum sempat benar-benar dibereskan. Tapi ia bertahan. Dengan perut yang perlahan membulat, ia menjalani hari-hari yang berat sendirian.

Kupang dan Ende, sejauh apa sih sebenarnya? Jika naik pesawat, hanya satu jam lebih sedikit. Tapi percayalah, rindu tak pernah punya ukuran waktu. Satu jam bisa terasa seperti satu musim kemarau, dan satu malam bisa seperti seumur hidup. Terlebih bagi Mamamu, yang harus tidur tanpa Bapa menggenggam tangannya, dan makan siang tanpa Bapa membantunya menuang air.

Ada malam-malam di mana Bapa hanya bisa mendengar isaknya dari balik ponsel. Sinyal di Maubasa tak selalu ramah. Kadang wajahnya beku di layar, kadang suaranya terputus-putus, seperti doa yang terganggu angin. Tapi satu kalimat selalu sampai dengan utuh:
“Kapan datang?”

Bapa selalu menjawab dengan senyum yang dipaksakan: “Sebentar lagi.” Padahal Bapa tahu, sebentar lagi bisa berarti minggu depan, atau bahkan bulan depan. Namun Bapa belajar, bahwa kadang kebohongan kecil dibutuhkan untuk menjaga hati orang yang Bapa cintai tetap utuh. Dan Mamamu, ia terlalu kuat untuk diruntuhkan oleh kejujuran yang terburu-buru.

Bapa akhirnya pulang juga. Sekali waktu, saat cuti datang seperti hadiah yang tak disangka-sangka. Atau kadang izin tak tertulis, untungnya waktu itu pimpinan Bapa sangat pengertian. Bapa beli tiket pesawat ke Kupang, menyusun koper seperti anak-anak menyusun mainan, sambil membayangkan wajah Mamamu saat membuka pintu. Dan saat Bapa tiba, ia menyambut dengan senyum dan peluk yang membuat semua lelah lenyap begitu saja.

Perutnya sudah besar saat itu. Kamu, buah hatiku, sudah mulai menendang-nendang dunia dari dalam. Bapa letakkan telinga di perut Mamamu, dan Bapa dengar denyut yang kecil, cepat, tapi tegas, seperti suara dari dunia lain yang sedang menyapa. Bapa mencium perut itu, dan berbisik:

“Tunggu ya, Nak. Bapa akan kembali lagi.”

Tapi waktu, seperti biasa, terlalu cepat berlari. Cuti tak pernah cukup lama untuk menebus semua hari yang tertinggal. Bapa harus kembali lagi ke Ende. Penerbangan pagi dari El Tari menjemput Bapa dengan sepi yang berat. Mamamu mengantar sampai ke ruang keberangkatan, menggenggam tangan Bapa tanpa berkata banyak. Tapi Bapa tahu, air matanya menyimpan ribuan kata yang tak sempat terucap.

Di pesawat Garuda, Bapa duduk di kursi 12A. Setelah mendarat di Bandara H. Hasan Aroeboesman, pilot memutar lagu:

“Home” — Michael Bublé.

Dan di sanalah Bapa patah. Lagu itu menyayat seperti pisau dari langit. Liriknya tentang seseorang yang ingin pulang, tapi terus terlempar jauh dari rumahnya.

“Another summer day has come and gone away In Paris and Rome, but I wanna go home...”

Bapa tutup mata. Tapi justru di balik kelopak mata itulah Bapa melihat segalanya lebih jelas: wajah Mamamu, senyumnya yang menahan rindu, tangan kecilnya di atas perut, dan kamu, yang belum lahir, tapi sudah membuat Bapa merasa menjadi ayah sepenuhnya.

Anakku, jika suatu hari kamu membaca ini dan bertanya,

“Di mana Bapa saat saya tumbuh dalam perut Mama?”

Maka bacalah pelan-pelan: Bapa ada di langit, terbang dengan doa yang belum selesai, membawa cinta yang tak pernah tinggal di satu kota. Bapa ada di Ende, tapi hatinya selalu di Kupang. Bapa menulis namamu di tiap sudut kamar, menyebutmu dalam tiap doa,
dan membayangkan bagaimana rasanya memelukmu untuk pertama kali. Jarak memang kejam. Tapi jarak juga mengajarkan kami, bahwa cinta bukan soal siapa yang hadir setiap hari, melainkan siapa yang tetap tinggal di hati meski tak bisa disentuh.

Mamamu, anakku, adalah perempuan terkuat yang pernah Bapa kenal. Ia mengandungmu dengan kesabaran yang tak bisa Bapa ukur. Ia menahan tangisnya setiap Bapa pamit. Ia memeluk perutnya sendiri saat malam terlalu sunyi. Ia tidur dengan satu bantal tambahan, seolah itu adalah Bapa yang sedang menjaganya dari jauh.

Dan kamu, adalah alasan kami bertahan. Kamu adalah lagu “Home” itu sendiri. Tempat kami ingin pulang, meski terbang sejauh apa pun, kami tetap akan kembali padamu. Sekarang kamu sudah tumbuh. Sudah mulai belajar membaca ini, menulis dan lumayan lincah dalam berhitung. Dan saat kamu tahu kisah ini, Bapa hanya ingin satu hal: agar kamu selalu ingat bahwa hidup memang tak selalu memberi kita kemudahan, tapi ia selalu memberi alasan untuk berjuang.

Dan cinta, buah hatiku, bukan hanya pelukan dan kehadiran fisik. Cinta adalah keberanian untuk terus kembali, meski harus berulang kali berpisah. Di langit Kupang dan Ende,
di udara yang kami hirup di kota berbeda, di doa yang kami bisikkan dalam bahasa yang sama, kamu tumbuh. Dan kami menunggumu, dengan sabar yang penuh luka tapi juga penuh harap.

Dari Maubasa, Bapa menulis ini dengan cinta yang tak pernah benar-benar pergi. Karena rumah, Anakku, bukan sekadar atap dan dinding. Rumah adalah tempat di mana hatimu menetap. Dan hati Bapa, sejak lama, telah menetap padamu dan Mamamu.


Eri, Buku, dan Para Korea



Pagi itu, di kelas structure-nya Mr. Nababan, seseorang memanggil saya dari belakang, sementara cahaya matahari telah benar menyoroti ruang 307 lantai 3 Pusat Bahasa UNS. Seorang pemuda bernama Eri datang membawa dua hal: senyum yang seperti setengah mengejek, dan sebuah buku yang dengan cover dominan putih. Lelaki itu—keturunan Jawa yang tumbuh besar di Medan—memiliki gaya bicara yang cepat, kadang melompat-lompat seperti radio rusak, tapi justru itulah yang membuatnya sukar dilupakan.

Eri memulai dengan celetukan khasnya, "Kau ini terlalu serius hidup, perlu disuntik Nietzsche!" Lalu, dari balik tasnya yang kusut, ia mengeluarkan buku yang mengubah arah pagi itu: Syahwat Keabadian, kumpulan puisi Friedrich Nietzsche yang diterjemahkan oleh Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono, diterbitkan oleh Diva Press.

"Bacalah," katanya, "ini bukan sekadar puisi. Ini silet dalam bunga. Nietzsche menulis bukan untuk menyenangkan—tapi untuk mengguncang dari dalam." Ada cahaya aneh di matanya, seperti seseorang yang baru saja melihat reruntuhan dirinya dan menertawakannya.

Saya menerimanya, membolak-balik beberapa lembar kemudian meletakkan pada kursi di samping kiri, karena saya belum mau melewatkan kelas dengan ratusan soal latihan structure yang saban hari kian mengendap dalam grup telegram.

Sebelum hari itu, aku hanya mengenal Eri sebagai pemuda usil yang doyan bercanda, layaknya seorang stand up comedian, dia kerap melontarkan candaan khas di dalam kelas, terkadang ia bicara soal politik dan nasib. Ia secara tak sadar pernah menuduhku sebagai "orang yang tersesat di lorong kesepian". Tapi kadang juga, ia berubah menjadi semacam pengkhotbah jalanan, membicarakan soal Komandan Bambang Pacul dengan penuh semangat. Rupanya ia baru saja menamatkan buku "Mentalitet Korea: Jalan Ksatria Komandan Bambang Pacul" karya Puthut EA, yang diterbitkan oleh Mojok.

“Ini bukan soal Korea Selatan, bung,” katanya. “Ini tentang mereka yang dari bawah, yang tak dianggap, tapi menggertak dunia dengan strategi dan keteguhan.” Baginya, Bambang Pacul bukan hanya tokoh. Ia simbol perlawanan kelas, dan buku itu—sebuah risalah tak resmi tentang bagaimana bertahan hidup dengan kepala tegak di tengah dunia yang congkak.

Eri bisa tertawa keras untuk hal remeh, seperti celoteh warung kopi, tapi bisa muram seketika ketika membicarakan makna hidup. Kadang emosional, kadang jenaka. Saya membayangkan jika suatu ketika, Ia melempar sandal ke televisi saat mendengar pidato politisi yang ia benci, lalu mengutip Nietzsche sesaat setelahnya: “Jika kamu menatap terlalu lama ke dalam jurang, maka jurang itu akan menatap balik ke dalam dirimu.”

Itulah Eri—pemuda yang menolak hidup dengan setengah sadar. Ia percaya buku bukan hanya bacaan, melainkan senjata sunyi. Ketika ia memberikan Syahwat Keabadian, ia seakan menyerahkan sebuah peta menuju ketidaktenteraman yang produktif. Nietzsche, katanya, adalah semacam cermin yang memantulkan wajah manusia dalam bentuk paling telanjang dan brutal.

Hari itu, Eri tak hanya memberiku buku. Ia memberiku serpihan dari dirinya sendiri—dari luka, tawa, dan pikirannya yang berkelok-kelok. Sejak saat itu, setiap kali aku membaca puisi Nietzsche, aku membayangkan suara Eri yang setengah meledek, setengah menyayangi dunia yang ditertawakannya.





ENIGMA THOYIBAH

Gambar diambil dari sini


Di kelas, Thoyibah seperti bayangan yang hanya sekadar ada. Ia duduk di bangku pojok dekat jendela, lebih banyak menunduk, tenggelam dalam catatan atau sekadar melamun. Tak banyak yang tahu isi pikirannya. Ia tak cerewet, tak suka berbincang panjang lebar, tapi di balik keheningannya, ada keisengan kecil yang hanya segelintir orang sadari.

Kadang, di grup WhatsApp kelas, tiba-tiba muncul foto seseorang yang tengah serius mendengarkan pelajaran, diambil dari sudut yang diam-diam. Ada yang tengah menguap, ada yang menatap kosong ke depan, bahkan ada yang setengah tidur dengan mata setengah tertutup. Tidak ada banyak yang menyadari hal itu, tapi saya dengan penuh kesadaran cukup bingung dengan ulah Thoyibah tersebut.

Namun, tak ada yang pernah benar-benar marah padanya. Mungkin karena ia melakukannya dengan begitu halus, atau mungkin karena ia tetap menjadi gadis yang tak banyak bicara, seolah kehadirannya sendiri tak berpengaruh dalam dinamika kelas.

Masa lalunya bukan rahasia bagi saya yang kadang berbincang dengannya. Orang tuanya meninggal sejak ia kecil. Sejak itu, ia lebih banyak diam. Sepeninggal mereka, ia tinggal bersama pamannya di sebuah desa, Bayan namanya. Ia tumbuh dengan luka yang tak pernah benar-benar diceritakan, tapi juga dengan ketangguhan yang perlahan membentuknya.

Selepas kuliah di Universitas Mataram, ia memilih kembali ke desanya. Bukan untuk melarikan diri dari dunia, tapi justru untuk mengabdikan dirinya di sana. Ia aktif sebagai kader posyandu, mendata anak-anak balita, menimbang berat badan mereka, mengingatkan para ibu tentang jadwal imunisasi. Ia juga menjadi bagian dari program pemberdayaan masyarakat, mendampingi para perempuan desa dalam pelatihan ekonomi kreatif. Ia tak banyak berbicara, tapi tangannya bekerja. Diamnya bukan kebekuan, tapi kedalaman.

Namun, ada sisi lain dari Thoyibah yang tak banyak orang tahu. Di balik sikap pendiamnya, ia memiliki dunia lain—dunia kata-kata. Ia menulis di blog pribadinya. Tulisan-tulisannya sederhana, mengalir seperti arus sungai di musim penghujan, menyentuh hati siapa saja yang membacanya.

Ia mulai menulis sejak SMK. Katanya, ada seseorang yang pernah berkata padanya, "Menulis adalah cara terbaik untuk bersuara tanpa harus berbicara." Kata-kata itu melekat di benaknya. Awalnya, ia hanya menulis liputan kegiatan di sekolah, kemudian berkembang menjadi kisah-kisah kecil tentang kehidupan di desanya. Dari sana, ia menemukan tempatnya.

Banyak yang penasaran, siapa sebenarnya Thoyibah? Mengapa ia memilih diam, tetapi bersuara lewat tulisan? Mungkin hanya dirinya yang tahu jawabannya. Atau mungkin, ia adalah enigma—sebuah teka-teki yang tak perlu dipecahkan, hanya cukup untuk dipahami dengan hati.


Tulisan Terbaru

Catatan #4: Buat Buah Hatiku

Diilustrasi dengan AI dari Foto Asli Lagu “Home” dan Perjalanan Bapa Pulang Halo anakku, sekarang sudah bertiga, dua gadis dan Si Bungsu l...