SUBJEKTIVITAS KRITIK(US) SASTRA NTT
Oleh: Djho Izmail*
Akhir-akhir ini geliat sastra di Bumi Flobamora makin menunjukan
keseriusannya. Beberapa anak muda NTT berkesempatan mengikuti kegiatan sastra
di tingkat nasional bahkan bertaraf internasional. Beberapa waktu lalu tepatnya
tanggal 10 Oktober 2012, Komunitas Sastra Dusun Flobamora di kupang mengadakan
Diskusi Sastra Internasional. Kegiatan ini bekerjasama dengan Ubud Writers and
Riders Festival (UWRF). Sebuah ajang untuk membuktikan keseriusan anak muda NTT
untuk mengangkat sastra di NTT ke kancah yang lebih tinggi. “Memperkuat Jejaring Sastra Lintas Budaya”
sebuah tema yang diangkat untuk menunjukan kepedulian mereka terhadap budaya,
khususnya budaya Nusa Tenggara Timur.
Terlepas dari itu, beberapa bulan sebelumnya, para peminat sastra di
bumi flobamora ini, tentu pernah mendengar, melihat bahkan membaca sebuah buku
yang ditulis tentang sastra dan satrawan NTT. Kehadiran buku ini dinilai
sebagai sebuah langkah maju yang diambil untuk menelisik dan menelusuri sastra
dan sastrawan di NTT. Disamping itu Masyarakat NTT patut berbangga karena munculnya kritikus untuk menilai sejauh mana perjalanan sastra di
NTT. Namun, selanjutnya dalam isi buku tersebut, saya merasa bahwa penulis
terkesan terlalu subjektif dalam meramu setiap pendapat dan perihal tentang
sastra dan sastrawan di NTT.
Subjektifitas yang didapat
Dari keseluruhan isi buku tersebut, beberapa hal yang dinilai terkesan
berdasarkan pendapat penulis semata, tanpa melihat keberadaan teori sastra yang mumpuni.
Yang pertama, penulis masih merumuskan definisi sastra dan
sastrawan NTT dalam ruang lingkup yang masih sempit dan terbatas. Seyogyanya,
sastra itu universal. Untuk itu alangkah baiknya bila ingin mendefinisikan ini
Yang kedua, keterbatasan media dan sumber rujukan untuk
menampung semua penulis yang dilahirkan maupun berasal dari NTT, juga tentang
orang lain yang menulis tentang NTT. Keterbatasan ini penulis lemah dalam
menelusuri penulis NTT.
Yang ketiga. Penulis cenderung memaksakan kehendak untuk
mengambil tema lokalitas, padahal esensi dari menulis adalah hati. Orang yang
menulis dengan hati semestinya tidak perlu dipengaruhi oleh pihak lain yang
bisa mengganggu kebebasan dalam berproses kreatif.
Yang keempat, kebangkitan sastra di NTT lebih dinilai secara
kuantitas, tanpa melihat dan mepertimbangkan sejauh mana karya tersebut
memenuhi kriteria estetika sastra yang berlaku umum atau tidak.
Kelima, amat disayangkan karena hampir semua isi buku tersebut sudah ada
pada beberapa surat kabar harian di NTT. Serasa penulis kehabisan kreatifitas.
*) penulis adalah
mahasiswa jurusan Gizi Kesmas-FKM Undana dan juga penikmat sastra.