BERPIKIR DEMI KEMANUSIAAN
Refleksi Terhadap Legenda Ia, Meja dan Wongge
Dikisahkan bahwa di
sebuah perkampungan nelayan, hiduplah seorang gadis yang cantik jelita.
Kecantikannya itu membuat setiap lelaki tak nyenyak tidur memikirkannya.
Kepastian selanjutnya tentu ingin memperistrinya. Di situ ada juga dua pemuda
yang juga tertarik pada gadis yang bernama Iya itu. Kedua pemuda itu sangat
berbeda karakter dan rupa. Yang bernama Wongge ialah lelaki kasar yang berwajah
buruk, sedangkan lelaki yang bernama Meja adalah lelaki yang berperilaku halus
dan rupawan. Sang bunga desa lebih tertarik kepada lelaki yang bernama Meja dan
menerima cintanya. Hal ini berbanding terbalik dengan perlakuannya kepada
Wongge. Iya bahkan dengan acuh menolak cinta Wongge.
Mendengar dan melihat
tingkah Iya yang cuek terhadap dirinya, Wongge tidak menyambut baik. Dia yang
terlanjur sakit hati karena kalah persaingan cinta dan juga cintanya bertepuk
sebelah tangan, memikirkan hal paling tidak manusiawi untuk mengakhiri kemelut
cinta untuk dirinya sendiri dan juga bagi Iya dan Meja.
Suatu malam dengan dada
yang panas, Dia mendatangi rumah Meja. Sebuah parang Dia bawa serta. Di sana Dia
mengakhiri sebuah kehidupan. Kepala Meja dipenggal saat orang tersebut lelap
dalam tidurnya. Jatuh terpelanting ke laut. Parangnya juga Dia buang ke lautan
sebagai salah satu cara penghilangan barang bukti. Dia kemudian berlari menjauh
kampungnya. Inilah kisah cinta yang sungguh tragis.
Akhir ceritanya adalah
semua pelaku dalam cerita ini menjelma menjadi gunung dan pulau. Wongge menjadi
Gunung bernama dirinya. Begitupun Meja dan Iya. Sedangkan kepala Meja menjelma
menjadi sebuan pulau bernama Koa, serta parang dari Wongge menjelma menjadi
Pulau Ende.
Pesan
Dongeng Sebelum Tidur
Tidak ada manusia yang
bisa berubah rupa menjadi bentuk lain. Demikianpun benda tak mungkin merubah
wujudnya menjadi manusia. Manusia hanya berusaha untuk hidup aman dan tentram
di samping proses adaptasi dan sosialisasinya. Di sinilah letak sebuah
kebohongan telah dimulai. Manusia yang melihat sesuatu mulai berimajinasi
kreatif untuk menghasilkan sebuah bentuk lain dalam cerita. Ketika memandang
sebuah gunung yang ujungnya rata bak meja, mereka lalu berimajinasi, sama
halnya dengan Pulau Karang (Pulau Koa) yang menyerupai kepala manusia dan Pulau
Ende yang mirip sebilah parang bila dilihat dari atas. Dan jadilah cerita ini
sebagai dongeng ataupun sebagai bahan mengisi waktu luang ketika menunggu makan
malam.
Seperti layaknya sebuah
dongeng, tentu ada hal positif yang mau disampaikan, baik secara tersirat
maupun secara tersurat. Di sinilah sebuah penambahan esensinya selain sebagai
cerita penghantar tidur. Meminjam apa yang dikatakan Horace: “dulce et utile- sebuah
karya ‘cerita yang baik’ harus memiliki sifat menghibur dan mengajarkan sesuatu”.
Dan kita telah diajarkan bahwa senantiasa bersyukur pada apa yang kita miliki
sambil berupaya untuk meraih impian dengan tindakan dan pemikiran yang tentunya
positif.
Lebih dari itu, kita
tentu diingatkan agar tidak menerima keadaan sebagai sebuah kekalahan. Berpikir
dan bertindak yang benar. Jangan menganggap sebuah bentuk penolakan atau belum
berhasilnya usaha kita sebagai sebuah penghinaan. Kita tentu bercermin diri
sejauh mana usaha dan kemampuan kita. Sehingga perbuatan kita selalu
terkontrol.
Hal lainnya ialah, kita
diusahakan untuk senantiasa membuka diri. Saling berinteraksi. Dengan begitu
setiap persoalan dapat diketahui dan dicari solusi yang terbaik demi kebaikan
bersama. “no man is alone like an island”. Bersosialisasilah, maka segala
sesuatu akan kita terima dan pertimbangkan.
Bertindak
dengan Minimnya Kata
Seharusnya bertindak
adalah sebuah proses panjang. Merumuskan dari awal sampai risiko yang akan
timbul dari tindakan yang akan dilakukan. Pemikiran yang matang akan memberikan
kontribusi yang nyata bagaimana efek yang terjadi nanti. Masyarakat ende,
tempat legenda ini diceritakan hendaknya sadar bahwa legenda ini adalah
cerminan masyarakat itu sendiri dari teropongan antropologi. Gambaran tentang
kurangnya sportivitas seharusnya menjadi semacam sebuah jari yang menunjuk ke
hidung kita.
Cerminan cerita adalah
segala sesuatu yang diambil dari budaya setempat. Dari lokalitas cerita inilah
bisa didapat sejauh mana karakter individu suatu masyarakat tertentu. Cerita
cinta terlarang dari Sangkuriang kepada Sumbi yang adalah Ibunya sendiri tentu
tidak bisa disamakan dengan legenda ini. Letak persamaannya hanyalah bahwa
budaya setempat mempengaruhi hasil olah pikir dan kreativitas itu.
Kemanusiawian
Kita
Manusia yang
sesungguhnya ialah manusia yang menghargai sebuah kehidupan dan arti yang
terkandung di dalamnya. Hidup manusia bukan karena manusia itu sendiri yang
meniupkan nafas kehidupan. Ada keberadaan lain yang menganugerahkan kehidupan
yang sungguh amat mulia ini. Apabila ada yang sengaja ataupun tidak dalam upaya
menghilangkan nyawa orang lain. Itulah sebuah problem. Orang tersebut belum
benar menyadari arti hidupnya. Tentu saja kehidupan sesungguhnya yang ia miliki
tak diamalkan bagi sesama.
Dari cerita Legenda
ini. Wongge sebagai tokoh antagonis, mencerminkan sikap dan tindakan yang tidak
terpuji. Ia menilai rendah sebuah kehidupan. Demikian dalam keseharian kita,
kadang orang dengan mudah menghilangkan nyawa orang lain demi kepentingan diri
semata. Keegoisan menjadi sebuah kesalahan besar bagi orang yang demikian.
Jalan akhir dari
kemelut ini bagi saya adalah sikap sportivitas. Menemukan kekurangan diri dan
menyadarinya supaya bisa diupayakan untuk memperbaikinya. Menghidupkan dan
mematikan seseorang bukan tanggungjawab kita. Kita hanya bertanggungjawab untuk
kelangsungan hidupnya. Tindakan juga harus disertai dengan pemikiran yang
jernih dan matang.
Semoga masyarakat ende
tidak hanya memandang legenda ini sebelah mata, tetapi lebih ke dalam merenung
bahwa legenda ini berasal dari lingkungan sendiri yang sudah memasyarakat dan
tentunya entah sadar atau tidak sesungguhnya adalah cerminan dari keseharian
kita. Upaya kita hanyalah memetik hikmah dibalik semuanya ini.