Fenomena Menjelang Pilkada
Sebuah catatan awam
Genderang Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Ende mulai ditabuh. Bunyinya seakan bertalu
di seluruh pelosok Negeri Kelimutu tercinta. Masyarakat awam mulai
memperbincangkan berbagai nama, status dan profile
Bakal Calon Bupati dan Bakal Calon Wakil Bupati. Masing-masing daerah seolah
telah mendendangkan nama figurnya masing-masing. Dari kemeriahan itu muncul
berbagai semarak lain yang turut memberi sumbangsih pada perubahan pemandangan
sepanjang ruas jalan, di tempat strategis maupun di tengah kota. Ada juga hilir
mudik mobilisasi manusia dalam rentang proses untuk mendukung kegatan yang
berhubungan dengan kegiatan Pilkada ini.
Diskusi warung kopi yang sehari-hari berkisah
tentang masalah hama tanaman perkebunan oleh para petani maupun tentang ikan
yang agak sulit didapat para nelayan berubah dengan cerita tentang figur dengan
berbagai macam propagandanya.
Dari kemeriahan dan berbagai
tawaran yang tengah diperhadapkan ke masyarakat ini, ada beberapa catatan yang
saya temukan (sebagai seorang masyarakat awam yang tidak mengerti tentang apa
itu politik. Bahkan sekedar pengertiannya pun tidak saya mengerti). Sebuah
ironi yang mestinya para politisi lebih merenungkan. Bagaimana pendekatan
sosialisasi yang tepat dan bermanfaat bagi kedua belah pihak. Masyarakat dan Para
Bakal Calon (yang selanjutnya saya menyebutkan dengan kata Mereka) itu sendiri.
Kemeriahan
Kunjungan antarkelompok Masyarakat
Masyarakat wilayah
tertentu sebagai salah satu basis dari Bakal Calon tertentu, berbondong
mendatangi masyarakat lain. Fenomena ini ditemukan saat ini, yang setelah
didalami dan dirunut, diketahui bahwa proses itu adalah sebuah proses
pelamaran. Layaknya budaya melamar bagi pihak lelaki terhadap keluarga
perempuan untuk meminang calon istri bagi sang lelaki itu. Demikian juga akan
muncul semacam ‘balasan’. Pihak bakal calon pertama yang terlebih dahulu
dilamar, akan mengantarkan anak mereka. Sebagai suatu wujud mereka telah
direstui untuk dipersatukan menjadi ‘suami istri’.
Hal lebih lanjut ialah,
pasangan ‘suami istri’ tersebut akan didandan dengan pakaian kebesaran budaya
setempat. Diangkat menjadi ‘ana tana’ oleh persekutuan adat setempat. Sebuah
bentuk instan dalam menindaklanjuti budaya. Hal ini lebih didramatisir.
Masyarakat entah sepenuh hati atau tidak telah mendukung.
Dari kemeriahan
kunjungan ini, secara ekonomi tentu akan memberikan berbagai dampak. Lembaran
rupiah akan mengalir sebagai bayaran untuk berbagai fasilitas mobilisasi maupun
fasilitas dan bahan konsumsi. Merujuk ke hal ini, saya sungguh menyayangkan.
Dengan uang yang dihabiskan itu alangkah lebih terhormat dan mulianya, bila
bakal calon itu berpikir lebih matang.
Dari sosialisasi
tentang visi dan misi, mereka berbicara lantang tentang dana-dana yang nantinya
akan diupayakan untuk kesejahteraan masyarakat. Mereka mulai
mengkalkulasikannya secara matang dengan teori ekonomi dan matematika. Sebuah
hal yang entah sadar atau tidak mereka justru telah menunjukan sifat asli
mereka. Bahwa sesungguhnya mereka telah menghamburkan banyak anggaran untuk
kepentingan diri sendiri mereka. Mereka berpikir untuk sesuatu yang belum
pasti, sedangkan hal yang mereka miliki saat ini belum banyak bersumbangsih
untuk masyarakat banyak. Alangkah lebih baik unag tersebut dugunakan untuk
masyarakat sekarang daripada memikirkan hal ke depan yang belum pasti
Masalah
Lingkungan Baru
Selain turun langsung
ke masyarakat untuk memperkenalkan diri, mereka juga berupaya mencari media
lain yang tepat guna mensosialisasikan diri mereka. Media itu banyak kita temui
sekarang. Ada poster, spanduk, baliho, kartu nama, selebaran dan sebagainya.
Media ini banyak kita jumpai sepanjang ruas jalan protokol ataupun di sudut-sudut
kota.
Wajah mereka nampak
sumringah, lengkap dengan bahasa gombalisasi puitis maupun kalimat ajakan.
Beberapa bakal calon juga menambahkan bahasa daerah, yang lainnya menuliskan
bahasa asing. Mereka telah menghiasi wajah kota dan menambah semrawut. Poster,
sticker, dan baliho, baik dalam ukuran kecil hingga berukuran raksasa tersaji
menyemarakan suasana penuh aroma kompetisi ini, yang serta merta menimbulkan
sebuah persepsi baru di tengah situasi penuh dengan janji dan aroma kompetisi,
yaitu persepsi akan seronoknya kota. Terlepas dari itu, Saya mengajak kepada
semua konsumen politik dalam pemilu untuk mengedepankan cita rasa konsumen yang
tulus berdasar nurani dalam mencicipi ‘aroma dan makanan’ yang akan dan sementara
disajikan kepada kita.
Dalam hal pemasangan
media tersebut, pepohonan yang menjadi tumpuan reduksi zat karbon
disalah fungsikan. Pohon pada dasarnya adalah organisme yang secara
langsung tumbuh dan hidup dan merupakan tanggungjawab penghuni bumi untuk
melindunginya, termasuk perkembangannya dengan tidak membiarkan tumbuh
semrawut, tidak menancapkan paku pada batangnya untuk melakukan promosi, tidak
mengelupasi kulit batangnya dengan serampangan (kecuali untuk ramuan obat).
Pepohonan yang ditemui sekarang justru telah dilabeli dengan nama dan foto
mereka. Pohon yang biasanya dilabelisasi dengan istilah tatanama ilmiah
(nomenklatur binomial) temuan Carolus Linaeus, berubah nama menjadi POHON PILKADA
bertuliskan nama bakal calon tertentu, lengkap dengan gombalisasinya.
Entah sampai kapan paku-paku itu
terus menancapinya, lalu berapa waktu kemudian teroksidasi dan paku itu
berkarat lalu menjadi titik mula pembusukkan batang, yang dapat saja mematikan
Si-Pohon itu yang merupakan bagian terpenting untuk proses fotosintesis, yang
kemudian mengubah karbon dioksida (CO2) menjadi oksigen (O2)
yang kita hirup. Sederhananya, Pohon Pilkada ini bisa saja berubah menjadi
Bupati atau Wakil Bupati Pohon Pohon, dimana mereka yang hanya mau di ‘atas’
pohon dan tidak mau turun melihat lingkungan riil tempatnya tumbuh dan
mengakar. Belum dihitung sampah yang dihasilkan dari rangkaian proses tersebut.
Yah, semoga konsumen politis mencermatinya dengan bijak. Perusak alam kok
dipilih?
Lebih
Baik Untuk Rakyat
Mereka telah
berkoar-koar mengatasnamakan rakyat. Mereka bersepakat dan berjanji untuk
membela hak rakyat, bila mereka terpilih nanti. Ini sebenarnya hal terpenting
yang harus masyarakat ketahui. Sesungguhnya masyarakat telah ‘dicucui otak’.
Mereka jelas telah mengakomodir semua lapisan masyarakat hanya untuk gegap
gempita sesaat yang nyatanya merugikan masyarakat.
Bayangkan saja,
seandainya satu jam masyarakat menghasilkan uang lima ribu rupiah. Saat
masyarakat tersebut sibuk bercerita maupun mengikuti segala tetek bengek yang
muncul pada pilkada kali ini, seperti pelamaran, sosialisasi dan deklarasi.
Kotornya saja waktu yang dihabiskan dua belas jam. Otomatis masyarakat telah
kehilangan pendapatan sebesar enampuluh ribu rupiah (Rp 5000 x 12 jam). Betapa
ruginya bagi masyarakat, padahal belum tentu mereka itu dipilih, dan belum
tentu pula mereka bisa merealisasi semua janji muluk mereka.
Sekarang, pilihan ada di
tangan masyarakat. Masih maukah kita terlalu sibuk dengan urusan yang
sesungguhnya bisa membuat kita kehilangan beberapa waktu berharga kita? Masih
maukah kita memilih calon pemimpin yang merusak lingkungan. Masih sanggupkah
kita menatap wajah Para Calon Bupati maupun Wakil Bupati yang sesungguhnya
egois? Pilihan masih berada di tangan masyarakat sekalian. Semoga catatan dari
saya yang awam tentang politik ini bisa mencerahkan.