JERAWAT DI CERMIN PAGI
Gambar hanya Ilustrasi Sahaja |
Pagi yang indah seakan berubah jadi
hari pengadilan terakhir, di mana aku harus dihukum mati dengan seluruh
penghuni bumi. Dunia kiamat. Aku benar-benar ingin memecahkan kaca di hadapanku,
yang telah melukiskan wajahku dengan sebuah jerawat merah dan masak tepat di
ujung indra penciumanku. Aku
yakin wajahku yang mulus dan manis ini pasti tak dipandang sedap lagi oleh
semua makhluk Tuhan yang akan aku jumpai hari ini. Jerawat sialan. Hari ini
telah kuputuskan untuk tidak keluar rumah bahkan kamar sampai pada hari jerawat
ini menghilang dari wajah cantikku. Aku merasa diuntungkan dengan komitmenku
ini karena dua minggu terakhir ini ada liburan menjelang Hari Raya Natal dan
Tahun Baru.
Aku kembali menatap seraut wajah
dengan sebutir jerawat bertengger di puncak hidung. Rasanya wajah ini bukan
milikku lagi. Siapa sangka, ketergesaanku untuk bangun pagi ini membawa petaka.
Hari yang sangat buruk bagiku. Lebih buruk dari sekedar nilai ulangan di
sekolah yang jelek. Andaikan kiamat terjadi hari ini, aku lebih bersyukur. Dari
pada seisi bumi melihat wajahku yang diidolakan berbagai jenis lelaki dari yang
hidung belang sampai yang hidung pesek. Sial, umpatku dalam hati.
Kumelompat ke pembaringan lalu
membenamkan wajahku dengan bantal. Suara sumbang kakakku yang memanggil untuk
sarapan tidak aku hiraukan. Hari ini aku
betul-betul tidak ingin semua orang melihat wajah cantik dengan sebutir jerawat
ini. Aku telah mencoba memencetnya, tapi rasa sakit dengan perihnya membuatku
membatalkannya.
Rasanya tidak bisa tidur dengan
keadaan seperti ini. Aku teringat akan produk-produk yang diiklankan di
televisi untuk menghilangkan jerawat, akan tetapi aku tidak bisa melakukannya.
Aku tidak mungkin keluar kamar menuju minimarket terdekat di ujung jalan ini.
Lagi pula tidak mungkin lansung hilang dengan pakai sekali saja.
Pikiran-pikiran di otakku membuatku tambah pusing. Ku melempar bantal ke
dinding.
Tiba-tiba ada semacam bola lampu
yang menyala di atas kepalaku. Aku mendapat akal. Aku kemudian bergegas ke
kamar mandi dengan sembunyi-sembuyi takut dilihat kakak ataupun orang tuaku.
Dengan memakai mantel tebal dan masker menutupi hidung dan mulutku, aku menuju
minimarket. Semua orang yang berpapasan denganku yang kukenal tidak berkomentar
apa-apa. Mungkin mereka mengira aku tidak enak badan dilihat dari cara
berpakaianku. Aku mencomot sebuah produk menghilangkan jerawat, membayarnya
pada kasir lalu kembali ke rumah.
Kumembolak-balikan produk penghilang
jerawat itu. Aku tidak tahu harus kulakukan sekarang atau tidak. Sudah tiga
kali kubaca aturan pakai dan komposisinya. Rasanya seperti membayangkan memakan
bakso yang terindikasi formalin dan boraks.
Kedua tanganku seolah mengoper benda ini. Tangan kiri berhenti sebentar
kemudian tangan kanan lagi. Aku bingung.
Pukul setengah delapan pagi,
ponselku berdering. Kumengangkatnya dengan lesu. Hari ini jam sembilan pagi ada
latihan paduan suara untuk pelayanan natal bersama hari sabtu. Kata ketua
sambil memutuskan sambungan teleponnya. Aku tidak bisa mengelak lagi, karena
aku ditugaskan menjadi solis untuk salah satu lagu yang akan dinyanyikan nanti.
Jam sembilan pagi semua anggota
paduan suara telah berkumpul. Kami memulai latihan dengan doa. Aku tidak bisa
konsentrasi dengan latihan pagi ini. Pikiran masih dihantui oleh jerawat yang
bertengger di puncak hidungku, padahal semua yang ada disitu tidak
menyadarinya. Setengah jam latihan tanpa sengaja, ekor mataku menangkap dua
butir jerawat di wajah Rena, cewek yang paling manis di kelompok paduan suara
kami. Satu jerawat di pipi, sedangkan satunya lagi di jidat. Aku berhenti
bernyanyi dan melihat ke depan, tampak di wajah pelatih kami yang ganteng itu
dua butir jerawat berdekatan di pipi kirinya.
Pelatih menegurku karena tidak ikut bernyanyi. Aku menyadari ketololanku lalu
memperhatikan partitur yang sedang kupegang. Aku mengikuti latihan lagi tanpa
ada sedikitpun bayangan dalam benakku tentang jerawat sampai latihan berakhir
pada pukul sebelas.
Di kamarku, aku masih memperhatikan produk penghilang jerawat yang aku
beli pagi tadi. Kumembolak-balikan produk penghilang jerawat itu. Aku tidak
tahu harus kulakukan sekarang atau tidak. Sudah tiga kali kubaca aturan pakai
dan komposisinya. Rasanya seperti membayangkan memakan bakso yang terindikasi
formalin dan boraks. Kedua tanganku
seolah mengoper benda ini. Tangan kiri berhenti sebentar kemudian tangan kanan
lagi. Aku bingung.
Produk itu telah aku campakan di tempat sampah di sudut kamar. Aku merasa
yakin akan keputusanku. Dengan ada jerawat ini telah memberikanku pengalaman
baru. Tentang rasa perfeksionisku. Tentang keegoisanku. Ternyata tema-teman
yang lain tetap semangat walaupun jerawat mekar di pipi atau di jidat mereka.
Sedang aku merasanya sebagai akhir zaman bahkan lebih ngeri dari menonton Hantu Jeruk Purut.
Aku tersenyum dalam hati karena telah memenangkannya. Sekarang aku
berusaha untuk lebih berpartisipasi dengan sesama dari sekedar berburu kosmetik
mahal untuk perawatan tubuh. Mungkin uang yang ku punya bisa disisihkan untuk
disumbangkan pada yayasan amal, mungkin juga panti asuhan.
Aku duduk di meja makan siang itu di sebelah kanan Bapa. Mama
tersenyum-senyum sambil mengedipkan matanya ke arah Bapa. Mereka semua tertawa
setelahnya. Aku bingung sambil mengerutkan dahi.
“Sayang kamu berjerawat ya? Aduh Pa anak kita sedang jatuh
cinta!” mama berkomentar.
“ Oh, iya Bapa lupa kalau anak kita sudah kelas tiga SMA, sudah dewasa to Ma??
Semua tertawa. Aku cuma tersenyum. Indah dan rukunnya sebuah keluarga.
Bapa lalu memelukku dan mengusap rambutku. Kami kemudian larut dalam santap
siang. Setelah makan hp-ku berdering. Randy teman sekelasku mengajak bertemu
dengannya di suatu tempat. Ia yang selama ini melakukan pendekatan denganku.
Aku tercengang setelah mengingat kembali komentar Mama. “Sayang kamu berjerawat ya? Aduh Pa anak kita sedang jatuh cinta!”
Rukar-2011