Langkah Maju Untuk Flores
Kraeng Adam bersalaman dengan Bpk. Marsel Petu |
Saya
mendapat telepon dari Ka’e Roman. Mengajak saya untuk turut serta bertemu
seseorang. Dari sedikit ceritanya, saya merasa tertarik dan penasaran. Maka dengan
tidak sabar saya menyetujui, untuk bersamanya sore nanti. Ini sebuah kesempatan
bagi saya, setelah sekian lama, disibukan dengan rutinitas yang bagi saya
pribadi bisa menumpulkan daya pikir saya.
Sorenya
sekitar pukul lima sore (Tanggal, 17 Agustus 2013), saya sudah menunggu di
depan rumah. Tidak berapa lama, Ka’e Roman datang. Kami kemudan meluncur menuju
jalan anggrek. Di kompleks perumahan BTN Ende. Sempat beberapa saat harus
mencari rumah yang tuju. Akhirnya ketemu juga.
Di
situ saya berkenalan dengan Om Saver, dan Kraeng Adam. Awalnya saya masih
bingung. Diam, sambil terus mengikuti arah pembicaraan antara Kraeng Adam dan
Ka’e Roman. Setelah beberapa saat, saya mulai mengerti. Ternyata, mereka dengan
penuh Idealisme memikirkan sebuah pergerakan yang sangat dinanti.
Mereka
telah dengan gagah berani membentuk sebuah wadah. Saling percaya dan berdiskusi
intensif di dunia maya. Media sosiallah yang digunakan sebagai sebuah ruang
yang mampu mempertemukan mereka dengan keterbatasan jarak, tempat dan waktu. Mereka
berdikusi untuk merealisasikan sebuah mimpi masyarakat Flores. Mereka menamainya
P4F. Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Flores.
Setelah
berdiskusi dan menunggu kepastian teman lain yang hadir, kami berempat kemudian
menuju ke kediaman Ketua DPRD Kab. Ende. Bapak Marsel Petu. Di sana, Sang Ketua
P4F, Kraeng Adam, mulai menceritakan maksud dan tujuan serta latar belakang
perjuangan ini. Sebuah rangkaian panjang tentang sebuah perjuangan.
Dari
diskusi ini, kami semua seolah disadari dengan pola pikir lama masyarakat
flores yang membuat perjuangan ini belum menemui hasil. Masyarakat Flores masih
dipenuhi sifat ego dan primodial, sehingga apapun wujud perjuangannya, akan
sia-sia, apabila belum mengkosongkan kembali pola pikir lama itu. Ada beberapa
pokok pikir yang sempat terekam.
Yang
pertama: Sifat ego masyarakat tiap kabupaten.
Bayangkan
saking egonya kita orang Flores, semua kabupaten ada bandara, ada pelabuhan
laut. Pertanyaannya siapa penumpangnya?. Bapak Marsel, memberikan sebuah
pandangan dengan mencontohkan daerah lain di Indonesia. Di Jawa, bila orang
blitar, jember dan sekitarnya ingin naik pesawat terbang, mesti ke Juanda.
Begitupun dengan pelabuhan lautnya, tapi di Flores, yang penduduknya hanya
sekitar 1,7 juta jiwa itu(mungkin seukuran dengan jumlah penduduk satu
kabupaten di Jawa), tiap kabupaten memiliki bandara dan pelabuhan laut.
Saat Berdiskusi Foto: Adrianus |
Yang
kedua: Pembagian sektor.
Negara
ini, cenderung terjadi sentralistik dalam berbagai hal. Bayangkan Jakarta. Sebagai
pusat pemerintahan, pusat pembangunan, pusat indutri. Hal ini yang membuat
semua menumpuk diJakarta, sampai ada isu untuk memindahkan Ibu Kota Negara. Hal
ini seharusnya yang dipikirkan di sini. Jika ingin membangun, seharusnya
dipikirkan bagaimana membagi setiap daerah dengan sektor pembangunan yang ada,
sesuai dengan potensi yang dimiliki tiap sektor itu. Ia mencohkan Kupang.
Kupang itu sebenarnya tidak ada apa-apanya. Ia hanyalah daerah kering dan
gersang, yang disanggah oleh so’e. Setiap pasokan bahan makanan dari so’e, tapi
So’e seolah dilupakan.
Dari
dua pemikiran itu, saya merasa seolah mendapat pengetahuan baru. Betapa kita
terlalu sentralistik dalam berpikir dan bertindak. Semoga perjuangan mewujudkan
Provinsi Flores terlaksana.
Salam
dari Rajawawo-Ende